Friday, October 19, 2007

Sebuah Bahasa, Sebuah Komunitas

Oleh LINDA CHRISTANTY


PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.

KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.



SAYA menjadi akrab dengan Sumpah Pemuda, karena upacara-upacara bendera yang dilaksanakan tiap hari Senin di sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Sumpah Pemuda ketika itu dibacakan sebagai bagian dari prosesi upacara. Bagaimana perasaan saya mendengar dan mengucapkannya? Terus-terang, saya tidak merasakan apa-apa. Saya tidak punya pararelisme pengalaman dengan peristiwa itu, bukan sekadar saya tak hadir pada momen kelahirannya.

Dalam buku sejarah Indonesia disebutkan bahwa Sumpah Pemuda pertama kali dibacakan pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Ia merupakan hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau disebut juga Kongres Pemuda II yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Peserta kongres itu terdiri dari wakil berbagai organisasi pemuda, antara lain Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Sumatranen Bond, dan Jong Batak. Mereka sepakat mengucapkan sumpah bersama dan sekaligus membuktikan bahwa negara Indonesia ini dicetuskan oleh anak-anak muda, bukan kaum tua.

Sebelum itu, pada rapat tanggal 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin mengemukakan gagasan briliannya tentang makna persatuan dan pemuda. Menurut Yamin, ada lima hal penting untuk memperkokoh persatuan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Yamin muda penuh semangat, cerdas, kritis dan independen, meski setelah itu sejarah juga yang mencatat bagaimana dia putar haluan dan terlibat dalam pusaran kekuasaan; menjadi politikus Volksraad, lalu menjabat menteri kebudayaan.

Entah dengan alasan apa, suatu hari terjadi perubahan pada teks Sumpah Pemuda dan setelah itu masih terjadi lagi dan terjadi lagi. Yang paling saya ingat adalah ketika sila ketiga yang berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” menjadi “berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Apakah itu buah dari kebijakan pemerintah Orde Baru atau kreativitas guru di sekolah? Saya tidak tahu. Ketika itu saya tak merasa keberatan. Cara berpikir saya masih sangat sederhana. Kalau tanah air dan bangsa itu satu, artinya bahasa pun sama, pikir saya.

Namun, bertahun-tahun kemudian, saya berpikir ada yang keliru pada kalimat “berbahasa satu”. Bukankah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan empat ratus suku bangsa yang mencerminkan empat ratus lebih pula bahasa? Teks yang asli lebih masuk akal. Artinya, bahasa daerah bisa berbeda, tetapi bahasa persatuan adalah Bahasa Indonesia.

Saya pun menjadi lebih berhati-hati terhadap kalimat “berbangsa yang satu” (kemudian diubah jadi “berbangsa satu”).

Ternyata bangsa Indonesia adalah komunitas khayal atau yang terbayang. Ternyata komunitas ini terbentuk oleh kesepakatan. Dalam bukunya, Imagined Community, Ben Anderson mengurai hal tersebut.

Pemerintah Suharto kemudian melindas tiap perbedaan dan keberagaman dengan mengatasnamakannya, mengatasnamakan bangsa itu.

Gagasan persatuan dimanipulasi secara politik oleh Orde Baru. Dan di tangan pemerintahan yang militeristik, ia menjelma sensor.

Pada suatu hari, di tahun 1994, di tengah aksi buruh dan mahasiswa, saya mendengar seseorang mengucapkan “Sumpah Rakyat”. Bunyinya seperti ini:

Satu, Kami putra-putri Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.

Dua, Kami putra-putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung pada keadilan.

Tiga, Kami putra-putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa kebenaran.


Saat itulah saya baru bisa menjiwai sumpah para pemuda di tahun 1928, saat rasa kebersamaan dibutuhkan untuk melawan kesewenang-wenangan dan penindasan. Kini saya punya pengalaman yang sama dengan mereka di masa tersebut.

Sumpah Pemuda yang disepakati Yamin dan teman-temannya pada 1928 itu masih tetap relevan dengan situasi Indonesia hari ini.

Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau tidak ada Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Setiap daerah menggunakan bahasanya sendiri-sendiri dan bangsa yang satu tak bisa berkomunikasi dengan bangsa yang lain. Semua urusan sederhana menjelma rumit akibat kendala bahasa. Hal sepele bisa jadi sengketa, yang juga mengancam persatuan yang diimpikan Yamin dan para utusan organisasi pemuda waktu itu.

Dulu Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca, terutama dalam perdagangan. Ia tidak hanya digunakan di Malaysia atau Semenanjung, melainkan digunakan juga di Jawa, Borneo, dan Sumatra sejak abad ketujuh masehi. Orang Arab, India, dan Cina juga berbicara dalam bahasa ini. Penjajahan Potugis, Belanda, dan Inggris memperkaya kosa kata Bahasa Melayu. Selanjutnya, Bahasa Inggrislah yang menyumbang begitu banyak kata serapan ke Bahasa Melayu. Namun, Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa ini, ternyata mengalami perkembangan yang semakin jauh dari akarnya.

Seorang teman Malaysia saya menyatakan bahwa Bahasa Indonesia jauh lebih indah dibanding Bahasa Melayu di Malaysia. Mendengar orang berbicara dalam Bahasa Indonesia, seperti mendengar tiap kata dalam puisi, merdu, katanya. Entah benar, entah tidak.

Bahasa Indonesia pula yang kini menyokong terbentuknya komunitas terbayang lain di mana-mana. Cerita dan berita yang saya terima dari Borneo, Celebes, Jawa, Aceh, Palembang, Ternate-Maluku Utara, bahkan Amsterdam dan Hongkong ditulis dalam Bahasa Indonesia, lalu disebar dan dibaca penutur serta pengguna bahasa yang sama, mulai dari Sabang sampai Merauke bahkan Timor Leste. Bahasa ini juga yang membuat perbedaan waktu, tempat, adat-istiadat, kesusastraan, situasi politik dan ekonomi, dan gaya hidup bisa diketahui dan dipelajari orang banyak. Bahasa menjadi pengikat satu sama lain, melintasi batas-batas geografis. Media, suratkabar atau majalah atau televisi atau radio, adalah juga komunitas terbayang yang jangkauan jaraknya bahkan mencapai ribuan mil.

Di Melbourne, Australia, yang tengah mengakhiri musim dinginnya waktu itu, saya terkesima mendengar orang bicara Bahasa Indonesia di jalanan, kafe, trem, toko swalayan, atau telepon umum. Tiap dua belas meter, kamu akan bertemu Bahasa Indonesia. Di mana kita mendengar bahasa itu dituturkan seseorang, apa yang sayup menjadi begitu jelas, begitu dekat. ***


Linda Christanty adalah sastrawan cum wartawan, kini memimpin kantor berita Pantau di Aceh. Tulisan ini sebelumnya dimuat di majalah Eve.

No comments: