Friday, September 08, 2006

Yayasan Gus Dur dan BIN Melobi AS?

Aboeprijadi Santoso - Radio Nederland

Gus Dur membantah keras bahwa yayasannya bersama badan intelejen negara BIN pernah menyewa sebuah perusahaan lobi di Washington untuk mendesak Amerika Serikat agar memulihkan program pelatihan militer bagi TNI. Badan lobi Collins & Co memoles citra TNI pada saat kalangan Kongres prihatin kasus Aceh, Papua dan kasus Munir tahun silam. Isu itu kini ramai di tengah peringatan dua tahun kasus Munir yang penuh tanda tanya dan keprihatinan karena kasus Munir masih misterius.

Nggak kenal
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kepada Radio Nederland Wereldomroep di Jakarta, membantah keras keterlibatan yayasannya dalam upaya lobi di Amerika itu. "Nggak, kenal aja enggak," katanya tentang perusahaan Collins & Co. Gus Dur mengaku tidak tahu menahu mengenai lobi yang menyebut BIN dalam satu nafas dengan Gus Dur Foundation. Di dalam Wahid Institute memang ada sebuah yayasan bernama Yayasan Gus Dur yang berupaya mendirikan rumah sakit, universitas dan sebagainya, tapi ini tak ada hubungannya dengan BIN, katanya. Tentang tokoh As'ad Said Ali yang disebut-sebut dalam dokumen Collins, Gus Dur membenarkan, dia orang NU dan Wakil Kepala BIN, satu-satunya yang tidak dicopot sejak Kepala BIN Hendropriyono digantikan Syamsir Siregar. Tapi, tandas Gus Dur, dia orang BIN yang bisa saja orang NU atau apa saja.

Tanda tanya baru
Dokumen yang sedianya akan diterbitkan Collins & Co itu menjadi tanda tanya baru. Adakah As'ad Said Ali dan BIN memanipulasi nama Gus Dur Foundation seperti dikesankan Gus Dur, ataukah ada upaya BIN membangun citra baru di dalam dan di luar negeri. Sebab dokumen yang disebut Dokumen FARA itu menyebut Collins berupaya kuat memoles citra TNI di kalangan Kongres Amerika yang waktu itu amat prihatin soal Aceh, Papua dan kasus Munir.

Kasus Munir belum terbongkar
Sementara itu peringatan dua tahun kasus Munir dikabuti pertanyaan publik, mengapa kasus ini belum juga terbongkar? Menurut Gus Dur, "Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sebenarnya memerintahkan pembunuhan Munir, ada di dalam pemerintah." Jadi, lanjutnya, "Ini cuma supaya kasusnya terhenti." Lalu mengapa Presiden SBY sama sekali tidak bertindak, bahkan tidak bersedia menerbitkan Laporan Tim Pencari Fakta Independen yang merupakan tim dengan mandat kepresidenan? Gus Dur ketawa ngakak. "Itu, karena SBY pada dasarnya tidak punya keberanian saja," katanya.

Takut diMunirkan
Ada yang mengatakan, SBY tidak berisiko diguncang para jenderal kalau kasus Munir dibongkar, seperti mereka dulu mengguncang Gus Dur. Tapi yang lain berpendapat, ini kan presiden terpilih rakyat, maka dia kuat. Hanya SBY takut jika pensiun, dia bisa diMunirkan.

"DiMunirkan" sudah menjadi kata kerja baru di Indonesia. Baru-baru kabarnya mantan Kepala BIN Jenderal Hendropriyono yang sering berkampanye untuk PDI-P, sempat kesal tentang prestasi partainya itu, dan di muka kader PDIP sempat keceplosan, "Kalau gini terus, ya saya Munirkan".

Namun, kenyataannya, investigasi TPF maupun polisi tidak memiliki indikasi apa pun menyangkut diri Hendropriyono. Jadi Hendro agaknya bersih. Kalau pun tersangkut, itu hanya karena dia mantan bosnya Mayjen Muchdi Pr yang telepon genggamnya diketahui sampai 41 kali berhubungan dengan HP-nya Pollycarpus, terhukum kasus Munir. Pembela Muchdi menangkis itu tidak membuktikan siapa pengguna HP yang mengadakan kontak itu.

Koordinator Kontras Usman Hamid menunjuk, kalau mau menuntaskan soal ini, mudah saja, silahkan minta presiden RI atau Kapolri meminta Kantor Pusat Telkom di Bandung membuka isi dan suara ke-41 pembicaraan telepon genggam itu. Itu saja masalahnya, jadi publik sempat bingung mengapa SBY maupun Kapolri Jenderal Sutanto tetap bergeming.

Walhasil peringatan kasus Munir yang bertajuk "Keadilan Untuk Munir, Keadilan Untuk Semua" itu tetap prihatin, mulai dari perenungan di Lapangan Tugu Proklamasi sampai peluncuran buku kumpulan tulisan Munir yang berjudul "Membangun Bangsa & Masalah Kemiliteran, Jejak Pikiran Munir". Jejak itu kini membuat 7 September sebagai "Hari Pembela HAM".

No comments: