Monday, August 01, 2005

London Hari Pertama

Senin subuh ini, awak tiba di airport Heathrow dekat London dengan isi kepala awak bakal menikmati "a London summer" --jalan-jalan di Hyde Park, berbaring dekat Trafalgar Square-- tapi, diamput, sontoloyo, di luar ternyata suhunya 14 derajad Celsius.

Buat kulit Cina Betawi gini, ya mana tahan. Apalagi harus segera pontang-panting cari tiket kereta api bawah tanah (orang London panggilnya "the Tube"), tukar dollar ke poundsterling (disebut "Quit"), dan kedinginan mencari rumah Ms. Dilys Harris dekat stasiun Fulham Broadway.

Perlu adaptasi. Perlu belajar karena ini pertama kali awak pergi ke London.

Siapakah Ms. Harris?

Awak juga baru kenal tadi pagi. Ms. Harris 100 persen orang asing buat awak, juga sebaliknya.

Alasannya begini. Kepergian ini, separuhnya biaya sendiri di luar harga tiket dan visa. Awak mau reportase untuk buku awak sambil memanfaatkan undangan sebuah konferensi tentang investigative reporting.

Kalau tidur di hotel, alamak, mesti siap-siap minimal $180 dollar per malam atau sekitar £120. Mahal bukan? Padahal kantong awak ini ya ukuran Betawi. Ini ukuran kawula Indopahit yang berat setengah mati, lha untuk bayar ongkos hidup di Betawi saja susah (bukankah kitorang sering bilang, Indonesia adalah keturunan kerajaan Majapahit? Jadi awak ciptakan nama baru buat olok-olok di kalangan teman-teman awak, ini nama Kerajaan Indopahit)

Maka riset lewat internet, awak jadi kenal dengan Ms. Harris. Ini lewat jasa London Homestead Services yang membantu marketing jasa penginapan.

Ms. Harris seorang pensiunan "child minder" atau di Betawi kita sebut "pengasuh anak" tapi ini anggota kelas menengah Inggris. Ia punya rumah kecil dari batu bata merah, anaknya juga sudah menikah dan punya rumah sendiri, maka kamar anaknya ia sewakan buat kantong Indopahit macam awak. Sewanya murah, £20 per malam (tapi ini akan naik).

Enak, nyaman, bersih, tak kalah dengan hotel. Ms. Harris bahkan super bersih sampai awak agak takut bikin kotor rumahnya. Ia sempat bilang anak-anak bagaimana pun lebih kotor. Makan roti pun, awak kuatir remah-remahnya jatuh di meja.

Lebih dahsyat lagi, kitorang bisa mengenal kehidupan orang London. Ini beda dengan tinggal di kamar hotel. Ms. Harris, pagi-pagi malah mengajar awak logat Cockney --ini slang enak, berat, gurih ala Scotland.

Bagaimana soal bom di tube pada 7 Juli lalu yang bikin mati lebih dari 50 warga London?

Nah, ini juga yang langsung dibicarakan Ms. Harris. Harian dan radio memberikan kewaspadaan pemerintah kota London terhadap kemungkinan bom kedua muncul di tube.

Sekarang tas tangan pun bisa diperiksa polisi. "I consider my handbag my privacy. They cannot open my handbag," katanya. Ms. Harris keberatan. Ia kuatir dengan kebebasan warga London bila kejadian-kejadian ini terulang lagi.

Awak cuma manggut-manggut. Namun jalan-jalan di Hyde Park dan Trafalgar Square menghapus kekuatiran itu.

Enak tuh! Bahkan awak ketika cari toilet dekat Katedral St. Paul, seorang polisi menemani awak mencari toilet terdekat --sekitar 70 meter dari tempatnya berdiri. Dekat Trafalgar Square, seorang polisi yang baru tiba dari Scotland, menyediakan diri meradio teman-temannya ketika awak minta ditunjukkan bar Sherlock Holmes --dia tak tahu karena baru pindah semalam.

Ya beginilah, cerita enteng hari pertama di London.

Seriusnya, awak pergi wawancara Carmel Budiardjo, pendiri organisasi hak asasi manusia Tapol, di daerah Thornton Heath, pinggiran London. Senang juga bertemu dengan Carmel yang sudah berumur dan mendapat kutipan-kutipan yang kritis soal Indopahit.

Carmel pada 1965 hingga 1971 dipenjara rezim militer Orde Baru. Pada 1973, ia mendirikan Tapol, organisasi hak asasi manusia yang memperjuangkan pembebasan para tahanan politik. Tapol belakangan juga banyak kampanye soal kemerdekaan Timor Leste pelanggaran hak asasi manusia di Aceh dan Papua.

Rumahnya kecil. Rumah Carmel juga merangkap kantor Tapol. Dua lantai. Kantor Tapol cuma satu ruang kecil di lantai dua. Awak wawancarai Carmel untuk keperluan buku awak, "From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism."

Capek ah, ini warnet dekat rumah Mrs. Harris ramai dengan orang Filipina, Uganda, Afrika Selatan, Karibia dan lain-lain. London memang multi etnik pada hari pertama ini.

Nanti deh setelah ikut konferensi tentang investigasi, awak akan bagi-bagi bahan ke temen-temen di Betawi. Sekarang awak mau lihat-lihat dulu sejarah London.



Rumah Ms. Dilys Harris, 21 Harold Wilson House, Clem Attlee Court, Fulham, London SW6 7SN. Ia terletak pada dua lantai teratas dekat pintu masuk. Kamar kecil, bersih dan harga bersaing.



Carmel Budiardjo di kamar kerjanya di daerah Thornton Heath, pinggiran kota London. Ia mendapat The Right Livelihood Award pada 1995. Mulanya Carmel memperjuangkan kebebasan para tahanan politik 1965 tapi belakangan ikut kampanye perjuangan hak asasi dan keadilan di Timor Leste, Papua dan Aceh.

No comments: