Wednesday, February 05, 2014

Menjadi Saksi soal Privatisasi Air Jakarta

Bagaimana liputan 10 tahun lalu kini jadi bahan kesaksian?

Saya memberi kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal privatisasi PAM Jaya. ©Mel Damayanto

KEMARIN saya menjadi saksi dalam gugatan warga terhadap pemerintah Indonesia soal privatisasi Perusahaan Air Minum Jakarta Raya. Kesaksian diberikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hakim ketua Nawawi Pomolango, yang beberapa kali mengadili kasus korupsi dengan banyak pemberitaan, termasuk politikus Luthfi Hasan Ishaaq dari Partai Keadilan Sejahtera.

Ceritanya, November 2012, sekelompok warga dan organisasi masyarakat sipil --termasuk Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium maupun Walhi Jakarta-- menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Direktur Utama PAM Jakarta Raya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dan  PT Aetra Air Jakarta soal privatisasi PAM Jakarta pada 1997-1998.

Anda tentu tahu bahwa sekarang pengelolaan air Jakarta dikuasai perusahaan swasta PT PAM Lyoinnaise Jaya (wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung) dan PT Aetra Air Jakarta (wilayah sebelah timur). PAM Jaya juga masih ada sebagai pihak yang bekerja sama dengan kedua perusahaan swasta tersebut.

Ke-12 penggugat tersebut melakukan citizen law suit dengan kuasa hukum LBH Jakarta. Saya kira materi gugatan ditulis dengan baik sekali. Persoalan air adalah persoalan vital. Hak akan air dan sanitasi adalah hak asasi manusia, menurut Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa.

Intinya, mereka berpendapat privatisasi tersebut cacat hukum dan dibatalkan. Presiden Soeharto tak membuka tender tapi hanya tunjuk Salim Group serta putranya Sigit Hardjojudanto untuk menguasai PAM Jaya.

Penggugat minta pengadilan Jakarta Pusat memerintahkan Gubernur Jakarta ambil alih pengelolaan air dari kedua perusahaan swasta tersebut. Mereka juga minta pemerintah membentuk tim independen untuk evaluasi dan audit terhadap implementasi serta dampak privatisasi.

Saya diminta jadi saksi fakta karena saya pernah menulis tiga laporan soal privatisasi PAM Jaya. Naskah pertama berjudul "Water and politics in the fall of Suharto" (Februari 2003) dalam serial The Water Barons terbitan International Consortium of Investigative Journalists. Naskah kedua berjudul "Dari Thames ke Ciliwung" terbitan majalah Gatra (Mei 2004). Naskah ketiga, "When Water and Political Power Intersect" (2005) terbitan Nieman Reports dari Universitas Harvard.

Nawawi Pomolango
Awal sidang, mula-mula dipertanyakan status saya sebagai "saksi fakta." Pengacara dari pihak tergugat keberatan karena saya dianggap "tidak melihat, tidak mendengar." Namun hakim Nawawi Pomolango mempersilahkan saya menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan dari Arif Maulana, pengacara muda LBH Jakarta, untuk dilihat apakah saya relevan didengar kesaksiannya.

Saya menerangkan bahwa saya riset ketika hendak menulis privatisasi PAM Jaya. Saya baca kontrak PAM Jaya dan kedua perusahaan swasta. Saya juga mencari notulensi rapat-rapat maupun petunjuk Presiden Soeharto kepada Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada Juni 1995 ketika Soeharto minta PAM Jaya diswastakan. Lantas saya mulai lakukan interview.

Saya interview lebih dari 120 orang antara 2002 dan 2005. Saya tentu bertemu dengan semua nara sumber, dari pihak PAM Jaya sampai pihak swasta, dari pejabat pemerintah Jakarta sampai World Bank, yang rekomendasikan privatisasi. Tak ada satu pun nara sumber anonim. Semua pakai identitas lengkap.

Singkat kata, saya diberi kesempatan menerangkan proses privatisasi tersebut, sejak 1992 ketika World Bank berikan pinjaman US$92 juta untuk proyek perbaikan PAM Jaya selama 20 tahun. Namun kinerja PAM Jaya dianggap belum baik. Pada 1995, Soeharto perintahkan privatisasi kepada Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar. Kontrak setebal 600 halaman diteken pada Juni 1997. PAM Jaya serah terima kepada perusahaan swasta pada Februari 1998.

Hakim bertanya padat dan singkat.

Penggugat juga diwakili dua pengacara muda lain, Ahmad Marthin Hadiwinata dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan serta Rachmawati Putri dari LBH Jakarta. Mereka pengacara-pengacara muda bersemangat.

Ketika giliran para pengacara tergugat bertanya, seseorang bertanya apakah saya mengerti "hukum dan kontrak" karena saya "seorang wartawan."

Saya jawab saya punya pengacara buat baca naskah. Mereka membantu saya.

"Dari kantor mana?"

Saya jawab ketika liputan pertama pada 2002-2003, pengacara dari Washington DC karena ia penugasan dari International Consortium of Investigative Journalists.

"Jadi tidak mengerti hukum Indonesia?"

"Kontrak dibuat dalam dua bahasa: Inggris dan Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut juga pakai pengacara internasional."

Saya pribadi pernah ikut kursus singkat soal hukum.

Kuasa hukum perusahaan minta saya melihat apakah saya mengenali kontrak-kontrak serta surat-surat. Saya membenarkan bahwa kontrak-kontrak tersebut --pada zaman Gubernur Soerjadi Soedirdja maupun Gubernur Sutiyoso-- saya kenal. Saya masih ingat disain kontrak 1997: dibuat dalam dua kolom bahasa. Saya tak mengenal surat Gubernur Joko Widodo karena masih baru.

Hakim sempat tanya saya dapat dari mana kontrak tersebut.

"Saya minta saja dari Badan Regulator Air Minum."

Lexy Rambadeta, seorang wartawan yang sedang bikin film soal pelayanan publik, termasuk air, dan merekam sidang, memuji kesaksian saya, "Mas Andreas tampil smart dan memukau. Majelis Hakim yang biasanya 'merendahkan' saksi-saksi, menjadi tercerahkan dan hormat pada saksi di sidang sesi ini."

Sidang berjalan selama dua jam lebih. Seorang warga Jakarta, yang kesal karena dia harus membayar mahal buat air "bocor" dari patahan pipa air PT PAM Lyonnaise Jaya, juga bersaksi. Dia merasa terbebani dengan tarif air terus-menerus naik. Dia merasa mahal bayar Rp 200 sampai Rp 250 ribu per bulan.

Sekarang dia pakai sumur dengan pompa listrik. Lebih murah dari langganan air.

Kata "bocor" lantas dijadikan bahan gurauan oleh hakim Pomolango.

Saya bilang air tanah ada batasnya. Di daerah utara Jakarta, banyak warga sudah tak bisa gali sumur karena airnya payau, tercampur resapan air laut. Polusi air makin tinggi. Daerah sekitar Monumen Nasional, termasuk pertokoan Sarinah, turun permukaan tanahnya karena air disedot banyak.

Hakim Pomolango tanya pengalaman pribadi saya dengan air.

Saya jawab pada 1993 saya tinggal di daerah Senen, langganan PAM Jaya. Air hanya mengalir malam hari. Siang hari tak ada air. Tapi sejak 2003, saya tinggal di Senayan, air mengalir lancar 24 jam sehari dari PT PAM Lyoinnaise Jaya

"Berarti privatisasi menjadi lebih baik?"

Saya bilang memang sekarang lebih baik. Tapi harus dilihat bahwa saya pindah dari Senen ke Senayan. Dua daerah ini punya demografi berbeda. Privatisasi menguntungkan kelas menengah ke atas macam Senayan. Namun pelayanan buat kelas menengah ke bawah, macam daerah Senen, tak begitu baik, seperti kesaksian warga yang menilai air swasta terlalu mahal.

Saya tekankan bahwa privatisasi ini "lahir cacat" (birth defect) karena Presiden Soeharto menunjuk perusahaan kroni-kroninya sebagai pelaku. Banyak orang PAM Jaya tak setuju privatisasi.

Saya tidak anti privatisasi. Ia bisa baik, ia bisa buruk.

Namun persoalan bisnis air adalah ia bisnis yang harus pakai kekuatan politik, antara lain, buat menaikkan harga. Bisnis air selalu memerlukan kekuatan politik karena makna dari air sebagai hajat hidup orang banyak. Semua warga Jakarta tak bisa hidup tanpa air. Privatisasi air bakal selalu bikin banyak perkara.

Saya sungguh hormat kepada ke-12 warga Jakarta yang menggugat pemerintah dan kedua perusahaan swasta tersebut. Beberapa dari mereka mendengarkan sidang dari awal sampai akhir. Saya kira nama mereka harus dikenang dalam perjuangan hak akan air di Jakarta:
  • Nurhidayah, ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan
  • Suhendi Nur, swasta
  • Achmad Djiddan Safwan, swasta
  • Aguswandi Tanjung, wiraswasta
  • Hamong Santono, koordinator nasional Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air
  • Ecih Kusumawati, ibu rumah tangga
  • Wahidah, ibu rumah tangga
  • Abdul Rosid, buruh
  • Risma Umar, ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan
  • Beka Ulung Hapsara, karyawan swasta
  • Edi Saidi, koordinator Urban Poor Consortium
  • Ubaidillah, direktur eksekutif Walhi Jakarta
Saya pribadi senang bisa bersaksi dalam pengadilan Jakarta. Ia jadi bagian dari kewajiban saya sebagai seorang wartawan: ikut membangun debat publik. Saya tak sangka bahwa liputan 10 tahun lalu, kini dijadikan bahan gugatan terhadap privatisasi. Apapun keputusan pengadilan Jakarta Pusat soal privatisasi akan jadi bahan studi menarik.

Capeknya, kami menunggu tiga jam buat sidang dimulai. Arif Maulana minta pada majelis hakim agar sidang berikut bisa mulai tepat waktu. Nawawi Pomolango minta semua pihak disiplin dan tak terlambat.

Sesudah sidang selesai, beberapa pengacara dan penggugat mengajak saya makan Bakmi GM di Gajah Mada Plaza, sebelah gedung pengadilan, sambil mengobrol.

Jakarta sudah sore dan hujan mulai turun.

No comments: