Monday, March 16, 2009

Sebuah Renungan Merauke

Selama seminggu saya berada di Merauke, sesudah sempat mengadakan training di Jayapura. Tujuannya, bikin wawancara, jalan-jalan, bertemu banyak orang Marind, serta mencium aspirasi kemerdekaan bangsa Papua dari kolonialisme Indonesia. Ini kunjungan kedua ke Merauke. 

Sama dengan kunjungan pertama tiga tahun lalu, saya juga sempat datang ke Monumen Benny Moerdani di daerah Tanah Miring. 

Kapten Moerdani memimpin penerjunan 206 tentara Indonesia, waktu itu disebut Operasi Naga, ke daerah Merauke pada Juni 1962. 

Tujuan mereka adalah menjalankan perintah Presiden Soekarno untuk menggagalkan rencana kerajaan Belanda membikin "negara boneka" di Papua. Mereka hendak memperkuat diplomasi Indonesia di United Nations. 

Penyerbuan ini berakhir dengan New York Agreement pada Agustus 1962 dimana Amerika Serikat, menekan Belanda menyerahkan Papua ke pihak Indonesia. Belanda menyerah. Belanda merasa takkan menang bila perang melawan Indonesia di West Papua. Namun Belanda minta diadakan referendum. 

Orang-orang Papua merasa dikhianati oleh Belanda maupun Amerika Serikat. Sejak awal 1970an, dengan bantuan World Bank, Indonesia mendirikan koloni-koloni di Papua, terutama Merauke, dengan menamakannya sebagai program transmigrasi. Ratusan ribu transmigran dari Jawa didatangkan ke Papua. 

Daerah sekitar Tanah Miring kini adalah daerah mayoritas etnik Jawa. Mereka menjadikan Merauke sebagai koloni Jawa. Saya berbahasa Jawa Ngoko bila belanja di Merauke. Disini juga didirikan beberapa markas batalion Indonesia. Hingga hari ini, orang-orang Papua masih berjuang melawan "penjajahan" Indonesia.
   Di Merauke, saya juga berkunjung ke kampung-kampung Marind. Daerah mereka rawa-rawa. Jalanan rusak. Lubang sebesar kerbau. Masih banyak rumah semut di kampung-kampung Marind. Kampung-kampung mereka berbeda dengan daerah transmigran. 

Di kampung Marind, kalau ada klinik, pastilah tertutup, tanpa dokter, tanpa perawat. Di setiap kampung ada pos penjagaan tentara Indonesia. Mereka biasa bikin gapura dengan angka 17-8-1945. Mereka hendak menciptakan kesan bahwa kemerdekaan Indonesia juga berarti kemerdekaan Papua. 

Di beberapa pos, saya juga baca kalimat, "NKRI Harga Mati." Semboyan militer ini sering sekali saya baca di tanah Papua (termasuk juga slogan "Pakailah Bahasa Indonesia yang baik dan benar"). Orang Papua sering bilang, "NKRI itu dorang punya, kitorang punya ... ya harga mati." 

Birokrat-birokrat bahasa Melayu Indonesia menghambat orang Papua memakai kata "dorang" dan "kitorang." Ini mengingatkan pada film-film Hollywood. Daerah penduduk kulit putih terkesan maju. Daerah kampung orang Indian terkesan tradisional. Banyak orang Marind mati karena terkena virus HIV. 

Beberapa orang Marind maupun Muyu bilang bahwa banyak keluarga mereka mati pelan-pelan sesudah dipukul oleh tentara Indonesia. Biasanya tentara Indonesia memukul kepala bagian belakang atau ulu hati. Tujuh, delapan atau sembilan tahun sesudah pemukulan mereka mati. 

Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers, sering mengatakan bahwa media Jakarta seringkali luput memberitakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua maupun Maluku. Dia menyebut laporan Human Rights Watch belakangan ini, Protest and Punishment: Political Prisoners in Papua serta Out of Sight: Endemic abuse and impunity in Papua's Central Highlands

Dua laporan itu tajam menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Papua oleh aparat keamanan Indonesia. Pada 1962 hingga 1969, Papua menjadi bagian dari Indonesia karena United Nations memakai doktrin uti possidetis juris

Intinya, doktrin ini mengatakan batas-batas negara-bangsa pasca-kolonialisme Eropa sebaiknya mengikuti batas-batas negara kolonial. Alasannya, guna mengurangi munculnya peperangan yang tidak perlu. Batas-batas Indonesia, misalnya, sebaiknya mengikuti batas-batas Hindia Belanda. 

Doktrin ini mencegah restu Belanda untuk mengalihkan kekuasaan kepada bangsa Papua. Belanda diminta mengalihkannya ke Indonesia. Papua tidak jadi merdeka. 

Menurut Michael Freeman dari Essex University, doktrin uti possidetis juris terbukti argumentasi yang cacat. Kebanyakan negara-bangsa pasca-kolonialisme adalah multinasional atau polyethnic. Indonesia misalnya, terdiri dari bangsa Jawa, bangsa Sunda, Melayu, Madura, Acheh, Minangkabao, Bugis dan sebagainya. 

Banyak kelompok menganggap doktrin ini memberikan pembenaran kepada kelompok kuat menindas kelompok-kelompok lemah. Akibatnya, separatisme dan represi terhadap mereka jadi menonjol. 

Negara Indonesia adalah saksi ketidaksempurnaan uti possidetis juris. Indonesia menyaksikan dominasi "bangsa Jawa" dan penindasan terhadap hampir semua kelompok yang melawan dominasi Jawa. Mayoritas tentara Indonesia orang Jawa. 

Dari Acheh hingga Papua, dari Minahasa hingga Ambon, dari Ternate hingga Minangkabao, sejak tahun 1950, sudah mengalami penindasan atau pertikaian dengan tetangganya berkat politik divide et impera Indonesia. Hindia Belanda diganti Indonesia. Kelompok paling kuat menindas kelompok-kelompok minoritas atas nama "nasionalisme Indonesia." 

Inilah kritik terhadap uti possidetis juris. Ia juga terjadi di Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagainya --bekas kolonialisme Eropa. 

19 comments:

information clearing house said...

posting yang menyentuh hati mas andreas.
sudah lama aku tidak membaca or mendengar up date ttg pelanggaran ham di papua.

mengenai doktrin uti possidetis juris, dalam hukum internasional suatu doktrin bisa saja diabaikan bila ada praktek lain yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat internasional.
sbg contoh doktrim premptive yg dikembangkan AS thd negara yg ditengarai akan menyerang kepentingan AS mengalahkan doktrin kedaulatan penuh suatu negara (sovereignty).

lalu ada lagi doktrin self- determination digunakan oleh etnis Kosovo (salah satu provinsi di Serbia) utk melepaskan diri dari negara Serbia (Eks Yugoslavia).

sepertinya Indonesia terlalu besar dan terlalu complicated utk diurus dari jakarta. sudah saatnya mungkin konsep otonomi daerah dievaluasi dan direvitalisasi. mungkin negara federal bisa jadi solusi?

salam

john fresly hutahayan
(pernah jadi murid mas Andreas di kelas narasi/ pantau 2007)

Irma Dana said...

perjalanan yang menyenangkan, melihat Indonesia yang lain...yang jauh di timur.

Anonymous said...
This comment has been removed by the author.
Irto Simbiak said...

mas..kapan ada jadwal ngasih training menulis ke kita2 lagi di papua?

Bima Prakasa said...
This comment has been removed by the author.
Bima Prakasa said...

Laporan HRW yang diposting di link ini, mas yg bikin juga ya...bravo...:
1. http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_%26_Pemerintahan/2009-06-27/38278/Human_Right_Watch:_Capres_Perlu_Janjikan_Investigasi_Kopassus
2. http://matanews.com/2009/06/26/hrw-kekerasan-kopassus-di-papua/
3. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=19165
4. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2153612

Unknown said...

- Hebat jg ya Mas, kunjungan kedua selama seminggu sudah bisa "sangat memahami" orang Marind. Saya yang tinggal selama 11 tahun di Merauke masih belum tahu apa-apa, apalg mencium anti kolonialisme Indonesia spt yg Mas bilang karena setahu saya, sejak dulu orang Marind sangat pro Indonesia. Ini kunjungan kedua ke Merauke.

- Benny Moerdani memimpin terjun ketika berpangkat Mayor (bukan Kapten)dan salah jika disebutkan bertujuan untuk menggagalkan negara boneka Papua karena jelas Belanda sdh membentuk neg boneka Papua tgl 1 Desember 1961.

- Hasil New York Agreement pada Agustus 1962 bukan Amerika Serikat memaksa Belanda menyerahkan Papua ke pihak Indonesia, yg benar adalah keputusan PBB yang mengambil alih persoalan Papua shg Belanda hrs menyerahkannya kpd UNTEA dimana dlm waktu 5 tahun UNTEA hrs sdh bisa melaksanakan Pepera.

- Tujuan transmigrasi adalah pemerataan penduduk, di Merauke warga transmigrasi sangat banyak membantu warga lokal menanam padi dan bercocok tanam. Hasilnya, putra Marind yg dulu hanya menggantungkan hidupnya dr alam dgn berburu rusa, tangkap ikan, makan sagu...tp sekarang : sejak 2008 Merauke sudah dicanangkan sbg lumbung padi nasional.

- Batalyon TNI organik yg ada di Merauke hanya satu yaitu Batalyon 755 ditambah satu Batalyon pengaman perbatasan, tp itu jg msh organik Papua yaitu Batalyon 752 dari Sorong, aneh...Mas lihat beberapa Batalyon di mana ya ?

- Birokrat Melayu menghambat orang Papua dgn kata dorang dan kitorang, masak sih ? Di Merauke saya biasa bicara dengan dialek Merauke, ketika bicara dg warga asli maupun pendatang. Tidak pernah dilarang tuh.
Tapi orang Papua penuh dgn etika, mereka selalu berbhs indonesia walaupun di jauh di pedalaman bila berbicara dgn pendatang. Sama halnya ketika mereka bakar2 daging yg tidak halal bagi Muslim pasti mereka akan memberi tahu.

IDZAKOD KAI IDZAKOD BEKAI
- Papua kembali ke NKRI pd tgl 1 Mei 1969, bukan 1962 s.d 1969 spt dlm tulisan Mas. PBB sudah mengeluarkan deklarasinya atas persutujuan negara-negara anggota. Sangat aneh kl ada individu2 yg mempermasalahkannya lg ?
Btw, terima kasih info perjalanan ke Meraukenya.

andreasharsono said...

Saya kira tinggal 11 tahun di Merauke tak berarti mengetahui sejarah Merauke, apalagi Papua. Tanpa baca buku, tanpa riset, tanpa interview, ya banyak orang, tinggal dimana pun --dari Halifax hingga Tobelo, dari Amsterdam hingga Johanesburg-- ya tak tahu sejarah daerah mereka. Saya sudah 15 tahun tinggal di Jakarta tapi ya tidak tahu Jakarta. Ini wajar dan manusiawi.

Salah satu referensi penting untuk belajar mengetahui Papua adalah buku "Papua Road Map" karya Muridan Widjojo et al. Buku ini penelitian LIPI. Ia mencoba mencerminkan persoalan yang ada di Papua. Buku lain, judulnya, "The United Nations and the Indonesian takeover of West Papua, 1962-1969." Anda perhatikan terminologi yang dipakai "takeover" serta periode "1962-1969." Masih banyak buku lain.

Saya memerlukan waktu tiga tahun, dari kunjungan pertama hingga kedua, guna mengunjungi beberapa daerah di Papua serta membaca mungkin lebih dari 100 referensi soal Papua. Manokwari beda dengan Wamena. Jayapura beda dengan Timika. Kebudayaan daerah ini kaya sekali. Sekarang saya mulai bisa membaca lebih dalam dari sekedar propaganda. Saya harap Anda juga begitu. Terima kasih.

Unknown said...

Itulah saya katakan anda "hebat", hanya dalam beberapa hari dalam dua kali kunjungan anda sudah dapat menyimpulkan banyak hal sebgai hasil riset anda. Sayangnya, anda tidak mengklarifikasi beberapa hal yang menurut saya janggal (tertulis pada comment saya sebelumnya).

Landasan hukum diterimanya hasil Pepera adalah dikeluarkannya Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) tertanggal 19 Nopember 1969. Resolusi ini diusulkan oleh 6 negara dan diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstein. Hal ini menunjukkan bahwa Pepera 1969 diterima oleh masyarakat internasional. Sekali lagi, sangat-sangat mengherankan kalau masih ada individu-individu yang masih mempermasalahkannya ?

But thanks anyway, anda sudah menyatakan akan mulai membaca dengan baik dan menghentikan "sekedar propaganda". Sepertinya kita sudah sepaham bahwa menyelesaikan permasalahan Papua memerlukan iklim yang sejuk dan bersih dari propaganda berbagai kepentingan.

ynot said...

Bethani...terima kasih atas info anda yang lama tinggal di Irian jaya...emang sangat hebat ada manusia yg hanya 2-3 hari udah bisa merangkum dan mengambil kesimpulan serta dianggap paling benar dan pasti benar
kalau bahannya dari bacaan tergantung siapa yg bikin bacaan dan apa tujuan buku itu dibuat
maju Betahni...
Salam dari Surau

ynot said...

Bethani,,,thanks atas komen anda
Anda telah lama tinggal di Irian Jaya tentu tau juga seluk beluk di Irian Jaya bahkan sampai masuk hutan, Gank dllnya
Jika Transmigrasi dianggap sebagai koloni baru maka selamanya Irian Jaya akan kekurangan penduduk dan penyebaran Penduduk utk pembangunan akan sangat susah
Indoensia itu SATU..tak peduli Jawa, Sumatera, Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan saya setuju dgn program TRANSMIGRASI dengan tujuan pemerataan penduduk...peningkata taraf hidup juga pemerataan pembangunan
banyak penduduk asli yg pada akhirnya belajar bercocok tanam dgn baik dan benar dgn para Transmigran
CONTOH nyata di Muara Wahau Kalimantan dimana saya tinggal, sebelum ada Transmigran maka penduduk setempat kalau panen cabai/lombok rawit langsung dicabut seakar akarnya padahal itu cabai bisa berbuah lagi jika hasil memetiknya benar diambil satu persatu bukan dicabut seakar akarnya
Terima kasih untuk anda telah memberi wacana, anda telah lama tinggal di Iian tentu sudah sangat paham dgn tabiat orang disana, sungguh aneh memang jika ada yang 2-3 hari tinggal /domisi bisa mengambil kata FINAL dan pasti benar serta merasa benar akan KESIMPULANnya
Apalagi jika hasil kesimpulannya itu dibantu buku dllnya,,,Buku sangat banyak dibuat dengan segala tujuan dan lain lainya tergantung si pembuat buku mau diapakan buku tersebut dan tujuannya untuk apa
Buat mas Andreas yang sudah tinggal di Jakarta 15 tahun dan tidak paham dengan Jakarta tentunya sangat ANEH bin AJAIBN tapi anda sangat PAHAM tentang Irian Jaya hanya dengan 2 kali kunjungan singkat dgn membaca buku, emang BUKU ttg jakarta juga tidak ada??
SATUKAN Tekad, SATUNGAN TANGAN untuk INDONESIA
INDONESIA itu satu diantara keragamannya
Sekarang Dana OTSUS untuk Irian Jaya adalah 19 T kalau gak salah,,,kalau duit itu bocor tentu kesalahan putera daerah yg nota bene menjadi raja disana dan mengelola uang disana
Seperti kata mas Andreas kalau Transmigrasi adalah KOLONI baru, sebaiknya anda membaca buku kembali untuk apa tujuan Transmigrasi tersebut dan apakah semua Transmigran itu berhasil serta enak hidupnya?
BACA KEMBALI BUKU mas agar anda tau apa makna TRANSMIGRASI dan Tujuan TRANSMIGRASI
buat Bethani...salam dari Belantara Kaltim
Maju Indonesiaku dalam Kenakeragaman
Buat APARAT tolong jangan main kemplang kepada warga...mereka bagian tubuhmu

ynot said...

Mas Andreas yg bikin laporan ke HRW juga ya...HEBAAAAAAAAAAAT mas ditunggu laporan anda ttg Israel yg ngebantai Palestina, USA yg bikin porak poranda Iraq serta Afganistan, Pembantaian Oztrali atas orang orang Obirigin mas
mosok mau makan saja harus jualan negara mas?
Jadi pendekar HAM ok acungan Jempol mas tapi yg balance, lebih baik makan Thiwul mas daripada jualan negara
Aparat suka negmplang dah jadi rahasia umum gak hanya di Irian Jaya mas,,,baiki dari diri sendiri utk perubahan Indonesia yg lebih baik bukan menjual negar dan bangsa hanya untuk sesuap nasi

Ini wartawan poenja blog. said...

Ha ha ha ha..aku lahir di Pontianak, kalbar, 29 tahun di sana tak tahu banyak daerah itu.
Aku katanya orang Indonesia, tapi tak tahu banyak ttg Indonesia. Ada pepatah bilang," kalah bisa karena biasa." Artinya,
bisa ular yang mematikan pun bisa tak terasa karena saking biasa dirasakan dan ditemui. Ini senada artinya dengan: Masalah yang besar dan menggunung di depan mata kita pun tak disadari atau seakan tak masalah saking biasa melihatnya. Jadi tak heran kalau AH datang beberapa kali ke sana bisa menangkap masalah, sementara yang lama di sana tak sadar ada masalah besar.......

Ha ha ha ha...lucu...hari gini masih ada yg mikir kalau ada report ttg kejahatan manusia di negara ini, baik militer, masyarakat maupun pejabatnya, jika itu terekspose di luar negeri berarti menjual negara? Pikiran gila! Kalau namanya kejahatan ya kejahatan.
Pelanggaran HAM ya pelanggaran, harus dibela sampai di manapun. Tak hanya masalah di Papua tentu, di Acheh, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dll.......

Ada ya jual negara buat sesuap nasi?......ha ha ha ha...mau jual negara buat sesuap nasi, sedikit amat seeee........mending menjual negara buat beli pulau, itu baru keren... ha ha ha ha

Btw, gimana sih jual negara itu? Menurut aku sih jual negara itu, kalau BUMN diprivatisasi lalu dimiliki asing, atau negara tunduk pada ketentuan2 asing kala menerima belas kasihan dll sejenisnya. Jadi, mau bertindak tergantung masukan asing...(Nah, ini baru namanya jual negara yg bisa buat beli pulau lo... ha ha ha...).

Kalau laporan ttg kejahatan itu harus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian dan bantuan. Tujuannya tentu menghilangkan pelanggaran HAM itu.

Aduh...negara ini gitu loh, pemerintahnya malah kalle yg udah ngobral dan nawarin diri..pake obral kalle......ha ha ha ha. Jadi, salah besar kalau tulisan atau laporan HAM dituduh jual negara. Kasian amat sih...

Btw.......kalo nulis yang gentle gethooo...Yang jelas identitasnya. Mosok nulis ga jelas siapa, kayak hantu ajah! Ga sportif, ga gentle, sama dengan komentarnya :) :) :) Pisssssssssssssssssssss........

Idham Malik said...

salam kak..
Jika ingin tidak terjadi tindakan separatisasi.. pemerintah harus bijak mengambil tindakan terhadap pemenuhan hak warga..
sudah banyak laporan yang bersifat valid terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia, bukan hanya di papua, tapi juga di belahan Indonesia yang lain..
sebab, hal ini sudah menjadi konflik laten dan terbuka.
Laporan dari lembaga dunia yang tentunya sudah terlebih dahulu diverifikasi kejadiannya oleh wartawan2 di Indonesia harus menjadi bahan pertimbangan untuk merubah pola untuk menguasai suatu wilayah beserta budayanya..

pemerintah atau orang yng berkepentingan dngn papua janganlah memandang papua dari sudut pandang orang luar, yang tahunya hanya berasumsi.. sekali-kali masuk menyelam dan bersdiskusi dengan mereka, apa masalah dan keluhannya.. dengan demikian mereka akan merasa dihargai.

saya salut dengan pendekatan pak Jusuf Kalla dahulu saat menangani Aceh. Pak JK ini berhasil menarik perhatian Aceh dan melakukan perdamaian di sana.

begitu

Luminoso said...

Membaca postingan anda ini saya kok merasakan ada a slightly hatred feeling. Sehingga -maaf- saya tidak melihat ada niat baik anda dalam postingan ini.

FYI Oom saya sudah 15 tahun tinggal di Merauke, sampai sekarang. Dan saya juga sudah beberapa kali kesana. Saya tidak menemukan hal hal yang anda tulis. Tentara di Merauke sampai beberapa batalion ? Anda tahu jumlah tentara 1 batalion itu berapa ? Lebih banyak tentara didepan gedung DPR/MPR daripada di Merauke.

Anda katakan: "Birokrat-birokrat bahasa Melayu Indonesia menghambat orang Papua memakai kata "dorang" dan "kitorang" ?
Darimana anda baca hal ini ? Atau daerah Merauke mana yang anda datangi dalam "penelitian" anda ? Karena yang saya lihat di Merauke bebas saja berbahasa, bahkan orang non-Papua malah mengikuti gaya berbahasa mereka.
Kalau bicara nasionalisme, sampai kepelosok Papua terdalam pun anda dengan mudah bisa menemukan orang Papua yang bisa berbahasa Indonesia. Apakah hal seperti itu akan anda katakan itu indoktrinasi pemerintah di Papua ?

"Hingga hari ini, orang-orang Papua masih berjuang melawan kolonialisme Indonesia" Orang Papua mana ? Jangan anda samakan OPM dengan orang Papua, atau GAM dengan rakyat Aceh.

Transmigrasi sebagai program kolonisasi? Apa dasar anda mengatakan hal ini? Sebagai "peneliti" anda tentu tahu apa yang mendasari policy pemerintah dahulu mengenai transmigrasi. Atau mungkin buku yang kita baca berbeda sehingga anda menemukan istilah kolonisasi dalam transmigrasi.

"Di Merauke, aku juga berkunjung ke kampung-kampung Marind. Daerah mereka rawa-rawa. Jalanan rusak. Lubang sebesar kerbau. Masih banyak rumah semut di kampung-kampung Marind"

Apa hubungan rumah semut dengan dengan penduduk Merauke ? Apa rumah semut itu melanggar HAM sehingga harus dibasmi ? Semut disana memang kalau bikin sarang bisa lebih tinggi dari manusia, dan mereka juga bikinnya di padang rumput, bukan di kota. Saya tidak melihat relevansi antara rumah semut dengan tulisan anda secara keseluruhan.

"Dari Acheh hingga Papua, dari Minahasa hingga Ambon, dari Ternate hingga Minangkabao, sejak tahun 1950, sudah mengalami penindasan atau pertikaian dengan tetangganya berkat politik divide et impera kolonialisme Indonesia"

Hmm.. maaf kalau saya bilang ini provokasi. Yang anehnya sangat kontras dengan wacana anda tentang Papua Merdeka.
Kalau memang pemerintah melakukan politik divide et impera, harusnya pemerintah senang kalau negara ini terpecah pecah, tapi yang terjadi adalah pemerintah terus mempertahankan keutuhan NKRI.

Juga tolong anda sebutkan daerah daerah mana yang sudah mengalami penindasan dan pertikaian dengan tetangganya yang disebabkan oleh pemerintah.

IMHO : Jurnalime yang baik itu adalah jurnalisme yang bisa bertindak sebagai agent of change, bukan agent provocateur. Anda lebih bertindak sebagai agent provocateur dalam postingan anda ini.

Don't get the wrong impression, saya bukan membela pemerintah Indonesia secara membabi buta. Saya juga banyak yang tidak setuju dengan policy pemerintah yang kadang kadang aneh bin ajaib dan tidak masuk akal.
Maksud saya menulis comment yang mungkin agak "harsh" ini adalah : Sh*t happens, sh*t happens everywhere. Dan alangkah bijaksananya jika kemampuan intelektualitas serta jurnalisme yang anda miliki dimanfaatkan untuk mencari solusi konstruktif dari happened sh*t yang anda temukan, bukannya mempermasalahkan masalah dan melakukan dekonstruksi pemikiran, terutama kepada generasi muda yang banyak menjadi pendengar setia anda, yang bisa saja meletakkan jalan pikiran mereka pada alur dekonstruksi yang anda ciptakan dengan tulisan anda tersebut.
Dan kalau begini, andalah orang yang melakukan divide et impera.

Dan kalau boleh numpang saran, lain kali anda ke Merauke, atau ke daerah Papua mana saja, tolong anda tulis tentang peredaran minuman keras yang merajalela disana, yang jelas jelas merusak masyarakat serta dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak pihak yang memiliki kepentingan di Papua.

Peace.

presiden nusantara said...

Bung Andreas agaknya menyesalkan bentuk Indonesia yang sekarang. Saya tidak sependapat. Perlu kiranya didiskusikan secara terbuka tentang bentuk negara seperti apa yang ideal bagi manusia yang bermukim di kepulauan Nusantara ini. Agar masing-masing tdk saling cemburu dan dengki. Secara saya bukan Jawa loh.

Unknown said...

Terima kasih mas Andreas atas postingan anda, yang saya nilai sangat bagus untuk di kaji.

Semua yang kita ketahui tentang suatu daerah adalah adanya arus informasi, dan bukan berapa lamanya singgah si suatu tempat. Jadi wajar kalo tinggal se-abad di suatu tempat tapi nggak ngerti apa2 tentang daerah sekitar. Ketika anda tinggal di jakarta bertahun2 dan esok hari saya tanya anda tentang suatu nama jalan karena ada pembunuhan di situ, belum tentu anda tau, bahkan mungkin anda akan balik tanya......Oh ya dimana ada penumbuhan, kok saya nggak tau???

Kalo membahas dasar hukum Papua memang dari awal sudah bersengketa pasca kemerdekaan RI. Indonesia mengklaim seluruh wilayah bekas jajahan Belanda adalah otomastis masuk ke teritorial RI. Namun hal ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat Papua yang waktu itu belum tau posisinya ada dimana, karena mereka merasa beda dengan suku2 lain yang ada di Indoenesia terutama dengan suku Jawa, Sumatra dll. Sehingga ketidakstabilan kondisi-pun terjadi yang berujung di ambil alih-nya Papua oleh PBB. Dengan hasil Pepera akhirnya Papua jatuh ke pangkuan RI. Akan tetapi hasil ini juga masih kontroversi adanya intevensi militer karena hasil perolehan suara mayoritas ingin masuk ke RI.

Saya kira apa yang di sampaikan Bung Andreas cukup balance dan nggak tercium sama sekali aroma proganda yang mendiskreditkan RI. Justru sebaliknya membuka citra kita terhadap apa yang sebeanarnya terjadi di sudut wilayah bangsa Indonesia yang selama ini jauh dari sentuhan media.

Tentang keterbelakangan dan pelanggaran HAM di Papua bisa di dukung atas laporan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) : Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future [2008]. Seperti yang kita tau LIPI adalah Lembaga resmi pemerintah yang pendanaanya dari pemerintah.

Unknown said...

funny.... and hillarious...

ngakak saya membaca artikel anda dan komentar dari warga merauke

kok bertolak belakang ya... :)

secara logika tentu saya akan lebih mempercayai testimoni warga merauke sendiri, dibanding artikel anda yang didasari atas riset panjang dan mendalam selama satu minggu (saja) dilapangan :D

Jadi sebaiknya langkah2 nyata apa dong yang harus dilakukan PEMDA PAPUA/MERAUKE untuk bisa meningkatkan taraf hidup rakyatnya???

memang sangat mudah melihat kejelekan, tapi sebagai orang berpendidikan/intelektual/akademisi. seharusnya anda bisa mengeluarkan saran2 nyata untuk perbaikan masyarakat Merauke.

sekarang apakah saran anda itu??? dan tindakan nyata apa yang telah anda lakukan untuk menbangun rakyat Papua/Merauke???

Banyak prajurit TNI yang diperbantukan menjadi guru di perbatasan. Ini adalah salah satu contoh tindakan nyata.

dahulu mungkin ada tindakan2 yang kurang tepat oleh negara. Kalau memang sekarang masih ada laporkan saja toh.
apa susahnya???

ingat bung, sekarang otonomi daerah... kewenangan besar ada didaerah, tergantung apakah Pemimpin Daerah mampu untuk mengelola dengan baik untuk kemakmuran rakyat???

Ps:
maksudnya masih banyak sarang semut opo rek???
menurut saya bagus tuh, artinya alam masih terpelihara.
dan jika dikelola dengan baik bisa saja menjadi objek wisata yang memukau...
seperti foto anda... keren kan :)

pandusamudera said...

Singkat saja Bung Andreas anda contoh putra negeri yang baru tahu sedikit tapi omongannya sudah selangit... Dokrin cinta negeri kayaknya tidak tertanam dalam otak anda, kecuali dokrin jual negara untuk sesuap nasi...