Thursday, July 20, 2006

Kursus Menulis Bahasa Inggris

Beberapa bulan belakangan ini, saya menerima beberapa email atau posting via blog saya, tentang keinginan para pengirim surat tersebut agar Yayasan Pantau bikin kursus menulis esai atau feature dalam Bahasa Inggris.

Budi Putra misalnya, redaktur teknologi Koran Tempo, minta menaruh sebuah esai saya soal bagaimana menulis dalam bahasa Inggris ke situs blog miliknya www.jurnalisme.wordpress.com. Saya tentu senang sekali. Dia sendiri ingin lancar menulis dalam bahasa internasional ini.

Budi juga mengajak saya bertemu di Plasa Senayan. Kami mengobrol dan ia cerita banyak soal beberapa buku karyanya. Tapi rasanya belum afdol kalau belum dalam bahasa Inggris?

Saya anjurkan dia menulis untuk The Jakarta Post. Ia suka dengan ide itu. Ini ajang latihan menulis yang efektif. Disana ada editor yang bisa memberikan feedback dan memperbaiki karyanya.

Minggu lalu, saya lihat byline miliknya muncul di harian ini. Saya ikut senang.

Tapi tak semua orang bisa menulis untuk The Jakarta Post bukan?

"Lia" misalnya usul agar Pantau bikin kursus tersebut. Saya bilang pada Lia bahwa kursus beginian ada beberapa hambatan: sedikitnya tenaga pengajar, proses seleksi untuk mengetahui tata bahasa dan biaya relatif mahal.

Saya sempat menyebut nama Max Lane, kolumnis dari Sidney yang dulu menterjemahkan karya Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer. Max menikah dengan seorang aktivis perempuan Jakarta. Max bersedia mengajar menulis dalam bahasa Inggris dan tinggal di Jakarta agar dekat dengan isterinya.

Tapi Max khan harus bayar pajak sebagai expatriate? Dia harus dapat izin ini dan itu dari dinas-dinas yang berserakan di Jakarta ini. Semua butuh duit. Biaya hidup ganda --kredit rumah di Sidney dan kontrakan di Jakarta-- tentu juga lebih mahal.

Max sebenarnya orang sederhana, hemat dan murah. Tapi hidup sebagai expat cukup repot di negeri ini. Beda dengan Bangkok atau Singapura. Max adalah aktivis damai. Dulu pernah kerja di Kedutaan Australia di Jakarta namun dikeluarkan karena menterjemahkan karya-karya Pramoedya.

Pantau sering bikin kursus dengan biaya antara Rp 2 - 3 juta per paket (12-14 kali pertemuan). Itu sudah cukup mahal. Padahal pengajarnya orang Jakarta (Agus Sopian, Ayu Utami, Budi Setiyono dan sebagainya) atau kalau expatriate (antara lain Janet Steele) ada subsidi entah dari Ford Foundation atau Fulbright Scholarship.

Belum lagi seleksi untuk menyamakan pemahaman soal tata bahasa. Kita toh sulit bila pesertanya kurang rata mengerti English grammar.

Kalau grammar kurang solid, maka kursusnya juga tak bisa hanya 12-14 kali pertemuan. Mungkin harus lebih banyak lagi. Saya ingat dulu ibunya Norman, mantan isteri saya, Retno Wardani, mengambil kursus bahasa Inggris di Harvard Extension School hingga dua semester: seminggu tiga kali.

Belum lagi pengayaan bacaan. Menulis bukan sekedar mencoretkan kata-kata. Standar kolom dalam Bahasa Inggris, karena persaingan internasional, juga lebih rigid daripada kolom Bahasa Indonesia. Tulisan bermutu pasti ada isinya bukan? Budi Putra sudah membuktikan bahwa ia relatif mudah menembus The Jakarta Post karena ia menguasai isu teknologi. Ada isinya.

Anyway, Lia usul bagaimana bila saya menayangkan isu ini ke forum yang lebih besar. Seberapa penting sih untuk kita bisa menulis dalam bahasa Inggris? Seberapa banyak wartawan kita yang ingin sekali bisa bekerja untuk media internasional? Bagaimana dengan minat praktisi jurnalisme (orang non wartawan yang sering menulis untuk media)?

Seberapa perlu bagi praktisi jurnalisme untuk bisa mengirim feature atau kolom dalam bahasa Inggris? Organisasi mana yang bersedia memberikan subsidi agar expat macam Max Lane bisa mengajar di Jakarta?

Kami ingin sekali mendapatkan masukan ini dari Anda. Kalau Anda ingin ikut tukar pikiran, silahkan dikirim ke email saya atau isi comment disini. Kami akan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan internal di Yayasan Pantau.

Kalau memang minat besar, saya percaya selalu ada jalan keluar. Terima kasih.

11 comments:

Anonymous said...

Mas Andreas,

Terimakasih atas dorongannya. Posting ini juga saya tayangkan di Blog Jurnalisme (http://jurnalisme.wordpress.com)agar semakin banyak masukan soal gagasan bikin kursus menulis bahasa Inggris itu.

Best,

Budi Putra

Anonymous said...

Hallo Mas Andreas,

Saya Irma dan pernah isi komen di blog-nya Mas Budi Putra.

Kelas jurnalisnya belum diputuskan jadi dijalankan ya? Mungkin saya bisa bantu (apa saja semampu saya) supaya 'dijadiin' :)

Untuk materi pelajarannya, kalau menurut saya sih dari yang basic aja dulu, yaitu menulis dalam bahasa Inggris yang baik dan benar sesuai kaidahnya. bahasa Inggris ada juga kan kaidahnya? :)

Soal gaya bahasa, nanti akan terbentuk dengan sendirinya... bukan begitu? Wartawan aja suka pindah2 kerja, kan gaya bahasanya tinggal menyesuaikan.

andreasharsono said...

Irma yang baik,

Saya sudah mendekati Australian Volunteers International agar mengutus Max Lane pergi mengajar kursus ini di Jakarta. AVI keberatan. Bukan karena Max tak mampu atau mereka tak punya duit, tapi mereka takut pada pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia ini khan kurang suka kalau Australia "campur tangan" urusan politik Indonesia. Max orang baik yang jujur. Kalau Indonesia bikin salah, Max pasti akan angkat suara. Ini yang dikuatirkan AVI. Dana mereka 100 persen datang dari pemerintah Canberra.

Saya lagi cari cara lain. Persoalannya, memang mencari guru yang baik serta uang untuk subsidi program ini. Terima kasih.

Anonymous said...

Dear Andreas,

Saya termasuk yang setuju dengan kursus ini... Pekerjaan memaksa saya untuk berkorespondensi dalam bahasa Inggris.

So, akan lebih baik kalau saya bisa menulis artikel untuk koran atau majalah dalam bahasa Inggris...

Saya orang pertama yang mendaftarkan diri untuk ikut kursus. Kalau perlu volunteer untuk tetek bengek menyiapakan kursus ini, saya bersedia...

andreasharsono said...

Terima kasih untuk kesediaannya jadi sukarelawan. Kami di Yayasan Pantau masih mengusahakan kursus menulis dalam bahasa Inggris ini. Kami terutama mencari instruktur yang penulis dalam bahasa Inggris. Kalau bisa native speaker atau setidaknya dari background macam penulis India, Hongkong atau Filipina. Ternyata tak mudah lho.

Transdermal Patch said...

Saya sedang belajar grammar melalui Blog http://www.indonesian.in/english
Terima kasih pak Andreas atas informasi dan pembelajaran di Blog-nya.

andreasharsono said...

Dengan hormat,

Terima kasih untuk komentar-komentarnya. Hingga saat ini, Max Lane masih terlalu sibuk untuk bikin silabus dan mengajar kursus ini. Max baru saja menerbitkan buku. Dia sibuk diminta menerangkan isi bukunya.

Saya lagi mendekati seorang wartawan Filipina, yang tinggal di Jakarta, kalau dia bersedia mengajar kursus. Dia bilang oke tapi masih sibuk. Dia juga lagi kuliah master di sebuah universitas Jakarta. Sementara kita tunggu dulu kalau ada instruktur yang bagus, yang bersedia mengajar. Terima kasih.

Ibu said...

Hi Pak Andreas,
Saya sudah lama sekali mencari kursus penulisan bahasa Inggris. Kalau hal ini bisa diwujudkan saya ingin sekali ikut dan bersedia membantu.

andreasharsono said...

Dengan hormat,

Tak terasa sudah hampir dua tahun sejak saya menulis email soal kursus bahasa Inggris. Saya kini tahu betapa sulitnya mencari instruktur menulis dalam bahasa Inggris.

Max Lane maupun Richel Dursin terlalu sibuk untuk bikin silabus dan mengajar kursus ini. Saya percaya Max dan Richel bisa mengajar karena mereka punya background guru. Mereka juga punya background wartawan.

Sementara ini, saya belum berpikir bagaimana cara mengatasinya? Kenalan saya terbatas pada Max dan Richel. Mungkin ada ide lain? Siapa guru sekaligus wartawan yang punya kompetensi mengajar menulis dalam bahasa Inggris? Terima kasih.

Unknown said...

i understand english n also like writing,,but i don't know how to find job by this ability...,,u have input 4 me, tq

henny said...

Pak Andreas yang baik,
Wah, sepertinya saya yang paling ketinggalan kereta deh. Apa kursusnya sudah berlangsung? Online ya? Boleh bergabung? Terima kasih banyak.

-henny-