Thursday, March 02, 2006

Militer Tolak RUU Aceh, Akademisi Revisi

Oleh SAMIAJI BINTANG
Sindikasi Pantau, 900 kata

JAKARTA -- Rapat pengesahan RUU Aceh masih panjang dan berliku. Keberatan terhadap pemerintahan otonom Aceh datang dari sejumlah pihak, termasuk empat akademisi dari Jakarta dan Jogjakarta. Tapi gugatan paling kanan berasal dari pensiunan jenderal-jenderal Indonesia dalam dengar pendapat di Senayan Rabu ini.

Total ada 27 pensiunan jenderal datang dalam dengar pendapat ini. Mereka meliputi organisasi macam Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri, Dewan Harian Angkatan 45, Barisan Nasional dan Legiun Veteran. Kharis Suhud, mantan ketua MPR zaman Presiden Soeharto, ikut datang dan bicara sebentar. Kharis datang dengan menggunakan tongkat.

Letjen Purnawirawan Syaiful Sulun dari Forum Komunikasi mengatakan, "Astaghfirullah! Bagaimana bisa negara yang berdaulat berunding dengan kelompok separatis?" Kedudukan NKRI, menurutnya, lebih tinggi dibanding GAM.

Syaiful Sulun seakan-akan hendak mengatakan satu-satunya cara berhadapan dengan GAM ya militer walau cara itu terbukti selama tiga dekade tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan lebih dari 10,000 korban mati di Aceh.

Rekannya, Letjen Bambang Triantoro lebih diplomatis. Bambang bertanya pada sidang DPR, "Apa perlu rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang?"

Bambang usul, "Tolak saja! Susun kembali yang lebih baik! Dari awal Pepabri menolak tegas nota kesepahaman pemerintah dan GAM hingga rancangan undang-undang ini muncul!"

Kharis, Syaiful Sulun dan Bambang Triantoro adalah mantan petinggi ABRI. Syaiful pernah jadi wakil ketua MPR zaman Soeharto. Triantoro pernah jadi tangan kanan almarhum panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani, yang dianggap bertanggungjawab atas pembunuhan massal Timor Timur, Papua dan Tanjung Priok pada 1984. Rombongan ini ikut bertanggungjawab terhadap meratanya fasisme dan militerisme Orde Baru.

Mereka mengatakan nota kesepahaman Helsinki dibuat untuk melepaskan Aceh dari NKRI. "Dari judulnya, ‘Pemerintahan Aceh,’ saya sudah terkaget-kaget. Lebih-lebih ketika membaca isinya. Itu merupakan pengkhianatan terhadap Indonesia," tegas Bambang.

Letjen Soerjadi, mantan wakil Kepala Staf Angkatan Darat, mendukung pendapat senior-seniornya. Dia menyebut isi perjanjian itu, "Memiliki efek domino bagi daerah lain." Kata lainnya, perjanjian Helsinki bisa mendorong etnik-etnik lain di Indonesia menuntut ruang gerak serupa bahkan merdeka.

"Kita sedang menuju platform kenegaraan baru, menuju negara federal," sambung Letjen Kiki Syahnakri.

Kiki sebenarnya seorang buronan. Dia bertanggung jawab atas tewasnya ratusan warga Timor Leste setelah referendum 1999. Kejaksaan Tinggi Timor Leste menerbitkan surat penangkapan atas dirinya sejak Februari 2003 lalu.

Kiki menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menggelar Operasi Rajawali. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 1.216 orang Aceh tewas selama operasi ini digelar pada 2001. Kini Kiki komisaris Bank Artha Graha, mewakili Yayasan Kartika Eka Paksi, salah satu lembaga yang berperan penting dalam menggemukkan pundi-pundi militer di Indonesia.

Kalau para jenderal keberatan dengan suara keras, rasanya tidak mengagetkan. Tapi “pakar ilmu politik” juga bersuara sama. Ichlasul Amal, bekas rektor Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta, pada pertemuan sehari sebelumnya menyatakan bahwa RUU Aceh, yang terdiri atas 38 bab dan 209 pasal itu harus direvisi. "Istilah yang mengundang kontroversi sebaiknya dihapus," katanya.

Sri Soemantri, profesor Universitas Pajajaran, Bandung, menilai isi RUU Aceh banyak yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Contohnya pengaturan hak asasi manusia sebagaimana bunyi bab 33 dalam rancangan tersebut.

Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, yang banyak dilakukan tentara Indonesia, dapat diselesaikan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM. Sayangnya, undang-undang itu tak lebih dari macan kertas. Kasus pembunuhan di Aceh macam Tengku Bantaqiah, Ahmad Kandang atau pembantaian di Simpang Kraft, misalnya, hingga kini belum terkuak.

Sedangkan Ismail Suny, profesor Universitas Indonesia, berpendapat bahwa isi rancangan itu diskriminatif, "Karena hanya mengakomodasi kepentingan orang GAM saja. Padahal Aceh bukan cuma milik GAM. Orang GAM itu hanya 3.000an, sedangkan rakyat Aceh ada 4 juta."

Suny orang Aceh yang tinggal di Jakarta. Tapi tampaknya dia tak tahu banyak soal penyusunan RUU Aceh. Rancangan itu sudah melalui 33 kali pertemuan yang melibatkan akademisi, lembaga nonpemerintah, tokoh dan pemuka agama Aceh.

"Disosialisasikan kepada rakyat Aceh, termasuk melalui roadshow," kata Azhari, yang terlibat pembuatan RUU versi DPRD Aceh.

Penolakan para jenderal Indonesia ini, tak urung membuat telinga legislator asal Aceh di Senayan panas. Ahmad Farhan Hamid, Teuku Muhammad Nurlif, Andi Salahuddin, Sayuti Asyathri (asal Maluku), dan Zainal Abidin secara bergiliran angkat bicara, membantah argumentasi para jenderal-jenderal Jawa itu.

"Yang saya tangkap dari forum ini bahwa berulang-ulang kita dengarkan percikan semangat untuk membela NKRI," Sayuti memprotes. Zaman sudah berubah. Pemahaman terhadap NKRI dulu dan sekarang ikut berubah.

NKRI yang dipahami pada masa lalu lebih pada pemaksaan kehendak militer dan pemerintah di Jawa tanpa mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh dan lainnya.

"Kita juga tidak dapat paksakan orang-orang di daerah untuk selalu menerima yel-yel NKRI kemudian mereka dipaksa untuk hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan terus-menerus. Hanya dikunjungi oleh pusat kemudian datang bicara, 'Perlu bersabar dalam NKRI'. Tidak bisa begitu! Perlu pemaknaan baru terhadap NKRI."

Farhan Hamid bilang ia kecewa mendengar para pensiunan itu. Dia menceritakan rakyat Aceh lebih menderita setelah bergabung dengan Indonesia daripada ketika hidup pada zaman Belanda.

"Kereta api dihilangkan, pabrik gula dihilangkan, pelabuhan ekspor-impornya dihilangkan. Dan kata-kata penolakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat Aceh."

Nurlif juga kecewa. "Selama 30 tahun setiap hari rakyat Aceh melihat empat lima mayat. Hampir 30 tahun yang terganggu bukan hanya perekonomian, tapi juga ibadah. Setiap magrib rakyat tidak bisa keluar rumah. Salat tarawih dijaga," ungkapnya.

Nurlif mengatakan dia punya beban berat di pundaknya. Keenambelas legislator asal Aceh sudah satu suara dalam panitia berjumlah 50 orang ini. "Saya tidak mau teman-teman di Aceh disalahkan. Anggota DPRD, kampus dan orang-orang yang telah membuat rancangan ini. Paling tidak enak kalau kami dicurigai."

Sayangnya, bantahan-bantahan dari orang Aceh, tidak membuat jenderal macam Syaiful Sulun berubah pikiran. Syaiful menyebut RUU Aceh ini identik dengan pembentukan negara Aceh. Seharusnya, kata dia, rancangan ini berjudul RUU Provinsi Aceh.

Langkah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin menandatangani nota kesepahaman itu juga dinilainya: bodoh. “Bagaimana bisa seorang menteri kehakiman berunding dengan (pemimpin GAM) Hasan Tiro yang buron itu?” kata Syaiful, lagi.

Syaiful lupa bahwa beberapa rekan yang duduk di sebelahnya sebenarnya juga buronan internasional.

3 comments:

andreasharsono said...

From: Satrio Arismunandar
Date: Fri Mar 3, 2006 11:47 am

Penggunaan istilah "jenderal-jenderal Jawa" oleh penulis, saya pikir tidak pas dan tendensius. Penulis membuka sebuah persoalan baru, seolah-olah ini kasus orang Jawa vs Aceh, atau bisa itafsirkan begitu.

Sama saja dengan mengatakan, "jenderal-jenderal Islam" dalam konteks Timor Timur...

Kalau penulis mau mengatakan, bahwa oleh (sebagian) orang Aceh, pemerintah pusat selalu diidentikkan dengan "Jawa", hal ini harus dijelaskan dalam narasi.
Tidak semua pembaca tahu hal itu. Tapi, istilah "jenderal Jawa" saya pikir harus dihapus.

Fokuskan saja pada pelanggaran HAM (yang bisa dilakukan oleh siapapun, apapun etnisnya), kalau
memang itu yang dikehendaki penulis.

andreasharsono said...

From: "Fendry Ponomban"
Date: Sat Mar 4, 2006 4:30 am

Salam,

Ini report yang sangat bagus. Membacanya bikin jantung naik turun hehehe.

Ada satu soal mungkin yakni; kenapa kita terlalu pusing dengan para purnawirawan ya? Orang-orang itu kan tidak punya prestasi? Palilng prestasinya ya dalam soal menyengsarakan rakyat itu selama berkuasa. Tapi lalu kenapa masih dikutip-kutip? Meski mereka show ke DPR, saya kira jurnalis juga bisa bikin filter: pantas gak orang ini didengar suaranya oleh publik melalui media saya?

Ini menyebalkan dan seperti absurd karena suara orang-orang jahat seperti mendapat speaker lewat media.

Trima kasih,
fendry

andreasharsono said...

From: "Win Sulubere"
Date: Tue Mar 7, 2006 3:15 pm

Apalagi bagi kami yang warga Aceh, membaca berita seperti ini denyut jantung lebih naik turun lagi, apalagi di kompas hari ini diberitakan kalo' Menhan, Panglima TNI dan beberapa anggota DPR, sudah mulai memanaskan suasana kembali dengan mengatakan mantan anggota GAM punya misi terselubung mendiskreditkan RI di desa-desa, bahkan Panglima TNI mengatakan telah menyiapkan suatu rencana rahasia sebagai cadangan.

Bagi kami di masa lalu pernyataan seperti ini biasanya berarti akan adanya pengerahan militer besar-besaran ke Aceh, artinya akan banyak pelanggaran HAM, akan bertambah banyak Janda dan anak yatim, akan semakin banyak kuburan massal yang tidak jelas identitas penghuninya.

Meskipun saya bukan anggota GAM atau simpatisannya, malah daerah saya kerap disebut-sebut sebagai basis milisi pro Indonesia, tapi ma'af kalau berdasarkan situasi yang berkembang sekarang, saya, seorang suku Gayo yang merupakan bagian dari masyarakat Aceh semakin lama semakin kehilangan simpati dan rasa percaya kepada negara yang bernama Indonesia ini, negara yang telah sukses membuat warga kami sengsara dan merendahkan martabat kami dengan serendah-rendahnya.

Saya jadi teringat kembali pada Airmata Soekarno, janji Habibie dan
Airmata Megawati...apapun jenis janji dan perjanjian yang diucapkan
oleh orang yang mengatasnamakan Indonesia, memang selayaknya harus
tidak boleh dipercaya.

Wassalam
Win Sulubere