Tuesday, December 20, 2005

Program Unesco-Pantau: Liputan Investigasi

Siaran Pers 

JAKARTA, 20 Desember 2005 – Yayasan Pantau bekerja dengan Unesco Jakarta membantu enam orang wartawan untuk mengerjakan liputan mendalam tentang isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan publik. Keenam karya ini akan ditawarkan kepada suratkabar-suratkabar Jakarta maupun provinsi untuk diterbitkan. 

Menurut Agus Sopian, wakil ketua Yayasan Pantau, ide bikin program ini didasari keprihatinan terhadap kecenderungan media mainstream Jakarta untuk tidak menugaskan wartawan mereka melakukan liputan mendalam. 

“Liputan begini butuh waktu relatif lama dan uang yang besar. Media kita ogah tuh,” kata Sopian. Media Jakarta memang kebanyakan lebih memperhatikan pengembangan bisnis mereka atau rutinitas terbit pada situasi dimana persaingan antara media makin ketat pada kehidupan Indonesia pasca-Soeharto. 

Kalau pun ada label investigasi, kebanyakan juga dengan semangat berdagang, tak memberikan waktu dan dana cukup, kepada si reporter. Program ini juga dilengkapi dengan sebuah seminar, "The Latest Development in Investigative Journalism in Indonesia," yang diadakan hari ini di Hotel Cemara, Jakarta. 

Seminar menampilkan dua pembicara: Bambang Harymurti sebagai pemimpin redaksi majalah Tempo dan Bondan Winarno, penulis buku "Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Langit," yang membongkar skandal kematian geolog Michael de Guzman. 

Harymurti mengatakan investigasi sulit berkembang di Indonesia. Perangkat hukum disini mempersulit kerja wartawan. Winarno mengingatkan audiens bahwa investigasi kehilangan makna, seakan-akan kalau belum melakukan investigasi belum jadi wartawan. 


Bambang Harymurti (kanan) dengan moderator Budi Setiyono 

Unesco mendukung program ini dengan memberikan dukungan finansial. Keenam peserta diseleksi setelah ada pengumuman terbuka. 

Arya Gunawan dari Unesco kantor Jakarta mengatakan ada banyak masalah publik yang tidak diliput media. “Program ini seyogyanya mengingatkan kita perlunya melakukan investigasi yang serius,” kata Gunawan. 

Program ini diadakan sejak September lalu dan Desember ini satu per satu akan mulai ditawarkan ke suratkabar. Ada beberapa media Jakarta yang sudah menyatakan ketertarikan mereka untuk menerbitkannya. Kemungkinan karya-karya ini akan terbit hingga bulan Januari –secara tidak bersamaan. 


Bondan Winarno (kanan) membongkar skandal emas Busang 1997 

“Saya baru ngeh kalau semua liputan ini punya muatan ekonomi,” kata Sopian. Program ini dimulai dengan sebuah workshop tentang liputan mendalam bersama George J. Aditjondro dari Palu. 

Aditjondro adalah akademikus-cum-wartawan yang terkenal karena investigasinya terhadap harta kekayaan keluarga Soeharto. Karya keenam wartawan ini belum dipublikasikan karena masih dalam proses penyuntingan. Pantau juga menunggu mereka keluar lewat media masing-masing sebelum menurunkannya dalam situs internet. 

Yayasan Pantau adalah sebuah organisasi nirlaba berpusat di Jakarta dan Banda Aceh. Ia bergerak di bidang pelatihan wartawan, riset media serta sindikasi cerita. 

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization adalah sebuah kantor upaya international di Jakarta. Unesco juga memiliki program pemberdayaan media. Keenam orang dan liputan mereka sebagai berikut: 

Alex J. Ulaen mengerjakan liputan soal pencemaran Teluk Buyat oleh perusahaan tambang Newmont. Ulaen adalah dosen senior Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi di Manado. Ia didikan Perancis dan menulis buku Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan tentang kepulauan Sangir dan Talaud (2003). 

Hendra Wibawa meneliti kecelakaan kereta api dan hubungannya dengan manajemen Perusahaan Kereta Api. Hendra wartawan harian Bisnis Indonesia

Indarwati Aminuddin meliput pencurian kayu dari hutan Raha di Sulawesi Tenggara. Ia berkedudukan di Kendari dan bekerja untuk Worldwide Life Fund. 

Mulyani Hasan menulis soal tuduhan korupsi kepada anggota-anggota DPRD Jawa Barat di Bandung. Mulyani wartawan sebuah televisi di Bandung. 

Taufik Wijaya bikin liputan soal hubungan preman dan politisi di Palembang. Taufik seorang sastrawan-cum-wartawan dan pernah menulis novel Juaro (2005). "Juaro" dalam bahasa Palembang artinya "juara." Ia bekerja untuk Detikcom dari Palembang. 

Widiyanto meneliti kepemilikan 10 televisi nasional dan kaitan mereka dalam mempengaruhi opini publik Indonesia. Ia editor Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia di Jakarta. 


Awak Yayasan Pantau depan ruang seminar (kiri ke kanan): Ari Nurhasanah, Eva Danayanti, Indarwati Aminuddin dan Agus Sopian 

Untuk informasi lebih lanjut 

Arya Gunawan Unesco Jl. Galuh II No. 5 Jakarta Selatan Phone +62 21 7399818 ext. 827 Website http://www.unesco.or.id/ Mobile 0811-155324 Email a.gunawan@unesco.org 

Agus Sopian Yayasan Pantau Jalan Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta 12220 Phone +62 21 7221031 Mobile 0815-73967686 Email asopian@cbn.net.id

2 comments:

Anonymous said...

Bang Andreas, bolehkah aku minta alamat emailnya? Banyak yang ingis aku diskusikan dengan Bang Andreas, itupun kalau anda tidak keberatan. Terima kasih.

andreasharsono said...

Nilam,

Owe poenja email adalah aharsono@cbn.net.id. Nep bisa kirim via email ini. Owe punya email cukup tersebar di internet sehingga owe tentu kagak keberatan. Kamsia ya.