Wednesday, September 07, 2016

Bagaimana Menulis Opini


Sebuah kelas menulis di Yayasan Pantau. Ini adalah alasan saya mengumpulkan berbagai macam opini agar siapa pun yang mau belajar bisa dapat bahan yang mudah buat dibaca.

Menulis opini adalah sesuatu yang lazim dilakukan wartawan atau siapa pun yang hendak menulis buat keperluan masyarakat. Biasanya, opini tersebut dikeluarkan guna memperjuangkan keadilan dalam masyarakat.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism menekankan pentingnya menunjukkan opini dengan jernih. Menulis opini, tentu saja, bagian dari jurnalisme. Namun menulis opini memerlukan lebih dari sekedar pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam jurnalisme.

Ia memerlukan keberanian moral. Ia memerlukan keberanian buat bersikap sesudah verifikasi berbagai fakta dan analisis. Ia tentu tak dibuat dengan tergesa-gesa. Ia memerlukan pengendapan, memerlukan waktu.

Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima platform verifikasi:
  • Jangan menambah atau mengarang apa pun;
  • Jangan menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
  • Bersikaplah transparan dan jujur tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan liputan;
  • Bersandarlah pada liputan sendiri;
  • Bersikap rendah hati.
Semuanya tentu berlaku buat penulisan kolom. Seorang kolumnis akan punya sikap. Namun sikap tersebut harus didasari pemikiran yang terbuka, didasari pada sikap yang rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel menekankan bahwa menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, siapa pun yang menulis buat keperluan publik harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka tulis. Menulis opini pun memerlukan independensi. Ia memerlukan keberanian moral.

Saya mengumpulkan belasan kolom yang saya anggap berguna buat belajar menulis opini. Saya membaca banyak opini dari berbagai cendekiawan di Indonesia, dari Soekarno sampai Hasan di Tiro, dari Sutan Sjahrir sampai Y.B.Mangunwijaya. Sebagai mahasiswa 1980an, saya tentu membaca Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mahbub Djunaidi, Goenawan Mohamad dan lainnya.

Saya taruh berbagai kolom pilihan saya dalam blog saya. Saya sengaja terbitkan dalam bahasa maupun ejaan orisinal ketika mereka diterbitkan. Pramoedya Ananta Toer, seorang novelis (fiksi), menulis kolom The Book That Kills Colonialism buat The New York Times dalam bahasa Inggris. Menurut John McGlynn dari Yayasan Lontar, naskah tersebut ditulis Pramoedya dalam bahasa Indonesia dan McGlynn menterjemahkan ke bahasa Inggris buat diberikan ke Times. Sayang, naskah awal tersebut tak disimpan Pramoedya maupun McGlynn. Namun saya menganggap naskah tersebut orisinal memang dalam bahasa Inggris karena memang ia pertama terbit dalam bahasa Inggris.

Saya juga menerbitkan versi Inggris karya Julia Suryakusuma berjudul ‘Zinaphobia’, homophobia and the ‘bukan-bukan’ state karena Suryakusuma, seorang kolumnis The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris.

‘Zinaphobia’, homophobia and the ‘bukan-bukan’ state
(2016)
Julia Suryakusuma

Darino-Dumani: Kisah Cinta Yang Dibunuh (2015)
Made Supriatma

Obor Rakyat dan Kebangsaan (2014)
Atmakusumah Astraatmadja

Selamat Pagi, Sondang (2012)
Lilik Hs

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (2002)
Ulil Abshar-Abdalla

The Book That Killed Colonialism (1999)
Pramoedya Ananta Toer

The Death of Sukardal (1986)
Goenawan Mohamad

Tuhan Tidak Perlu Dibela (1982)
Abdurrahman Wahid

No comments: