Friday, May 24, 2013

Supaya Award Tidak Menjadi Ironi


Oleh Ahmad Suaedy

A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion. Sebuah kejahatan yang dilakukan atas nama agama adalah kejahatan terbesar terhadap agama.
Appeal of Conscience  Foundation


Ahmad Suaedy
Appeal of Conscience Foundation, yang bermarkas di New York, akan memberikan award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan gelar "Statesman of the Year" pada 30 Mei ini.

Dalam situs webnya dinyatakan, ACF didirikan oleh seorang Rabbi Arthur Schneier, dan sejak 1965 telah bekerja atas nama kebebasan agama dan hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Award "Statesman of the Year" atau negarawan dunia tersebut diberikan kepada SBY karena dianggap berhasil menjaga kebebasan beragama dan hak asasi manusia.

Kita seharusnya bangga presiden Indonesia menerima award tersebut. Namun award ini bisa menjadi ironi jika melihat kinerja pemerintahan SBY dalam kebebasan beragama dan perlindungan terhadap minoritas.

Mainstreaming Intoleransi

Atmosfer intoleransi mungkin sudah terasa cukup lama di Indonesia setidaknya sejak reformasi 1998. Namun mainstreaming intoleransi, yaitu akomodasi intoleransi menjadi kebijakan dan ditopang dengan kelembagaan makin kuat pada era kepresidenan SBY.

Beberapa bulan setelah dilantik sebagai presiden, SBY memberikan pidato pada pembukaan musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) 26 Juli 2005. SBY menyatakan: “Kami ingin meletakkan MUI untuk berperan secara sentral yang menyangkut akidah ke-Islaman … dan mana-mana yang pemerintah atau negara sepatutnya mendengarkan fatwa dari MUI dan para Ulama.”

Dengan pidato tersebut, SBY seperti sedang memberikan legitimasi monopoli kebenaran atas tafsir terhadap Islam oleh MUI dimana pemerintah siap melaksanakannya. Sebagai sebuah organisasi agama tertentu, sebenarnya wajar MUI, seperti organisasi keagamaan lain, memiliki pandangan ekslusif, bahkan jika disertai penyesatan terhadap kelompok lain. Tetapi hal itu seharusnya sebatas menjadi dikursus keagamaan scara internal dan tidak di-enforce oleh pemerintah.

Pada musyawarah nasional tersebut, MUI mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah dan keharaman pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Fatwa-fatwa itu kemudian menyulut meningkatnya kekerasan atas Ahmadiyah, dan sejumlah paham lain yang dianggap tak sesuai dengan paham MUI dengan kecenderungan pembiaran oleh pemerintah.

MUI juga mengeluarkan fatwa 10 kriteria tentang aliran sesat yang telah mendorong sejumlah MUI daerah untuk identifikasi airan-aliran sesat di daerahnya. Mereka lantas keluarkan fatwa sesat. Sejurus kemudian diajukan kepada pemerintah daerah untuk melarang mereka.

Sektarian

Pada tahun 2006 SBY menandatangani UU No. 23 tentang administrasi kependudukan. Pasal 64 ayat 2, misalnya, memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk membedakan agama yang diakui dan tidak diakui. Ini menimbulkan praktek diskriminasi dalam pelayanan hak-hak sipil seperti pelayanan KTP dan pernikahan.

Pada 9 Juni 2008 pemerintah mengeluarkan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Meskipun SKB ini tidak secara eksplisit melarang eksistensi Ahmadiyah tapi tidak pelak dalam praktek ia jadi landasan pelarangan oleh pemerintah daerah terhadap mereka.

Atas berbagai kekerasan dan fatwa MUI lokal maupun nasioal terhadap minoritas yang dianggap sesat kini ada sekitar 25 daerah dengan berbagai bentuk regulasi seperti Surat Keputusan Bupati atau Gubernur atau Perda yang melarang aliran tertentu. Terbanyak dari mereka adalah Ahmadiyah. Regulasi tersebut di samping didasarkan pada UU/PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama juga SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah tersebut.

Di samping itu, data yang saya ambil dari Diakonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menunjukkan berbagai kasus penutupan dan ancaman terhadap gereja. Pada tahun 2008, terjadi 14 kasus; 2009, 10 kasus; 2010, 27 kasus; 2011, 54 kasus; dan 2012, 59 kasus. Sedangkan dari kantor Jemaat Ahmadiyah Indonesia menunjukkan peningkatan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Pada 2005-2007 sebelum SKB terjadi 29 kasus dan 2008-2011 terjadi 42 kasus.

Pelibatan berbagai lembaga seperti Departemen Agama, Kepala Daerah dan Bakor-Pakem, Kejaksaan serta Kepolisian dan MUI, dalam proses pelarangan aliran-aliran tersebut menunjukkan keterlibatan yang aktif pemerintah itu sendiri.

Adalah hak SBY untuk menerima award terebut. Tetapi supaya tidak terjadi ironi, SBY harus mencegah negeri bhinneka tunggal ika ini menjadi negara sektarian.

Penulis adalah Koordinator Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-Universitas Indonesia (AW Centre-UI).

No comments: