Tuesday, December 14, 2010

Kebebasan pers pasca-Soeharto, adakah?


OLEH ANDREAS HARSONO
Bisnis Indonesia

BULAN lalu saya berdiskusi dengan Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers dan pemenang Ramon Magsaysay Award for Journalism. "Pak Atma" wartawan terhormat. Pada 1960-an, dia bekerja sebagai wartawan harian Indonesia Raya hingga diberedel Orde Baru pada 1974. Dia lalu bekerja di United States Information Service, Jakarta. Pada 1990-an, sebagai reporter kurcaci, saya mulai mengenalnya sebagai instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Tugasnya, mengajar hukum dan etika pers untuk wartawan. Sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998, Astraatmadja jadi Ketua Dewan Pers (2000-2003).

Tema diskusi kami sederhana saja. Bagaimana menilai mutu jurnalisme di Pulau Jawa satu dekade sesudah Soeharto mundur? Banyak orang bilang sekarang media di Indonesia sudah bebas. Sudah tidak ada pemberedelan suratkabar. Pada zaman Soeharto, to be fair juga zaman Soekarno, banyak suratkabar diberedel. Banyak wartawan diancam. Mutu jurnalisme sulit dibilang baik. Wartawan tak bisa bekerja bila mereka berada dalam ketakutan.

Ada dua acuan dalam diskusi tersebut. Astraatmadja mengacu pada Press Freedom Index dari Reporters Sans Frontieres, organisasi kebebasan pers berpusat di Paris. Setiap tahun, sejak 2002, mereka mengeluarkan indeks kebebasan pers internasional.

Pada 2002, Indonesia masuk peringkat 57 dari 139 negara. Pada 2006, peringkat Indonesia turun menjadi 103 dari 168 negara. Tahun ini, peringkat kebebasan pers di Indonesia turun lagi menjadi 117 dari 178. Artinya, sejenak sesudah kejatuhan Soeharto, kebebasan pers naik kencang, tapi ia turun, terus-menerus turun, dalam 8 tahun terakhir. Di Indonesia, makin banyak wartawan diancam, dipukul, diadili dan beberapa dibunuh. Makin banyak jerat hukum kepada media.

Saya mengacu pada laporan Human Rights Watch berjudul, Turning Critics into Criminals: The Human Rights Consequences of Criminal Defamation Law in Indonesia, terbitan Mei 2010. Lembaga itu cemas melihat trend penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik oleh pejabat pemerintah maupun perusahaan besar, guna menjerat orang kritis, termasuk wartawan, aktivis maupun warga negara biasa.

Ibu rumah tangga Prita Mulyasari ditahan 3 minggu, terpisah dengan anaknya, dan menghadapi tuntutan penjara 6 tahun, hanya karena mengirim email dan mengeluh layanan medis rumah sakit Omni International. Bersihar Lubis, kolumnis Koran Tempo, divonis pencemaran nama baik dan dijatuhi hukuman percobaan karena mengkritik keputusan Kejaksaan Agung melarang buku pelajaran sejarah diedarkan ke sekolah-sekolah. Lubis memakai istilah "jaksa dungu" dan kena vonis 6 bulan percobaan di pengadilan Depok.

Astraatmadja mengatakan dari segi desain, kerapian ejaan, jumlah wartawan maupun teknologi media, banyak kemajuan dijangkau dalam 50 tahun terakhir. Dulu tak bisa dibayangkan desain surat kabar serapi majalah Tempo atau Gatra, harian Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia dan sebagainya.

Dia bercerita bagaimana pada 1950-an, ketika masih muda, dia acapkali mengetik surat untuk bapaknya, seorang pejabat di daerah Bekasi, lantas rajin menulis di suratkabar.

"Dulu ejaan itu minta ampun!"

Parameter lain adalah perangkat hukum. Pada 1918, parlemen Kerajaan Belanda di Den Haag meloloskan, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies. Dalam kitab itu ada 35 pasal, yang bisa dipakai untuk mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Hukumannya, maksimal penjara 7 tahun. Korbannya, cukup banyak, termasuk aktivis macam Soekarno, Mohammad Hatta maupun wartawan seperti Kwee Thiam Tjing alias si Tjamboek Berdoeri.

Benedict Anderson dari Universitas Cornell, dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api karangan Tjamboek Berdoeri, menulis bahwa pada awal abad XX, mutu jurnalisme lebih bagus. Kerajaan Belanda memang menjatuhkan hukuman, terutama penjara dan pengasingan, tapi tak ada kabar aktivis anti-Belanda disetrum, dipukul apalagi diberi makan arsenik.

Pada 1949, ketika negara Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. Pada zaman Soeharto, KUHP direvisi, pasal-pasal soal kebebasan berpendapat dinaikkan jumlahnya dari 35 pasal menjadi 42 pasal. Hukuman maksimal naik dari 7 tahun menjadi seumur hidup. Ada pasal-pasal anti-Pancasila, Marxisme dan Leninisme.

Soeharto turun Mei 1998. Perubahan muncul lagi ketika Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto, menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal kebebasan berpendapat direvisi. Hukumannya, turun dari seumur hidup jadi 20 tahun. Pasalnya tambah dari 42 jadi 49 pasal.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, dia mengangkat Hamid Awaluddin, seorang sarjana hukum asal Makassar, menggantikan Mahendra. Awaluddin pernah jadi koresponden majalah Gatra. Kali ini KUHP direvisi lagi. Pasal-pasal kebebasan berpendapat, yang bisa dipakai menjerat wartawan macam Bersihar Lubis, ternyata naik lagi.

"Saya belum menghitung sendiri. Dalam diskusi-diskusi sering disebut 60-an," kata Astraatmadja.

"Bagaimana para pemimpin kita, makin ke sini kok makin mengerikan? Makin tidak berorientasi pada rakyat?"

Dalam indeks Reporters Sans Frontieres, peringkat kebebasan pers Indonesia jauh di bawah Kerajaan Belanda, negara yang sering disebut sebagai bekas penjajah Indonesia. Ironisnya, peringkat Indonesia juga kalah dari Timor Leste, negara bekas jajahan.

Selama satu dekade ini, kerajaan-kerajaan media di Pulau Jawa, beserta anak-anak perusahaan mereka di luar Jawa, tetap menjalankan bisnis dengan gaya lama. Janet Steele dari Universitas George Washington, yang menulis buku Wars Within soal majalah Tempo, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan ini tumbuh besar dan kaya pada zaman Soeharto. Buat apa mereka sekarang harus berubah?

Self-censorship, salah satu gaya lama zaman Soekarno dan Soeharto, juga dijalankan terus. Saya pernah menegur Maluku Media Center di Ambon, karena anggota-anggota mereka tak mau memberitakan berbagai kegiatan aktivis Republik Maluku Selatan di Ambon, Saparua dan sekitarnya, yang jauh dari kekerasan, seperti menari cakalele, angkat bendera RMS, dan menaikkan balon. Namun mereka disiksa polisi dan dipenjara antara tujuh hingga 20 tahun. Beberapa orang diduga mati karena siksaan polisi.

Media mainstream di Jawa, dan keturunan mereka di Maluku, tak memberitakan karena ketidaksenangan mereka terhadap RMS. Mereka baru kaget ketika Presiden Yudhoyono tiba-tiba digugat RMS di Den Haag, lantas batal ke Belanda. Bukankah ini bias atau self-censorship?

Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, Papua, sering mengeluh bias media Indonesia dalam meliput Papua. Sering terjadi ketidakakuratan, tidak cover both sides. Warga Papua diberitakan seolah-olah bangsa primitif, bodoh dan miskin. Praktis tak ada satu pun media Indonesia, yang menulis serius soal genocide terhadap bangsa Papua. Karma dihukum 15 tahun penjara karena pidato pada 1 Desember 2004 soal kemungkinan rakyat Papua kehilangan kebudayaan dan identitas mereka.

"Saya prihatin kalau baca berita soal Papua. Gimana ya?" tanya Astraatmadja.

Saya tak tahu harus menjawab apa. Hukum Hindia Belanda temyata lebih murah hati daripada hukum Indonesia menghadapi pers. Saya bergurau dengan mengatakan jangan-jangan Indonesia bergerak mundur ke zaman Majapahit, pada abad XII, ketika belum ada jurnalisme. Zaman Majapahit ... hanya ada propaganda.

Andreas Harsono ketua Yayasan Pantau, menulis antologi
Agama Saya Adalah Jurnalisme. Esai ini diterbitkan harian Bisnis Indonesia guna merayakan ulang tahun ke-25 pada Desember 2010.

3 comments:

Anindito said...

semoga kebebasan pers tidak dipergunakan insan pers itu sendiri atau kelompok untuk menggiring opini publik ke arah yang membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI, dan semoga kebebasan pers digunakan untuk menyemangati pikiran positif dan untuk maju dan bersaing sebagai suatu bangsa menuju kemaslahatan bersama.

Faril said...

saya pikir saat ini kebebasan pers telah terbuka lebar..Ternyata berdasarkan survey, Indonesia berada di urutan 100 lebih..

Semoga pers bisa benar-benar bebas memberitakan kabar berita, tetapi tetap menjaga obyektifitas dan kejujuran..
Memang sangat sulit, tapi saya yakin awak pers akan bisa..

Gading Tirta said...

Bang, saya pengen cepet2 punya buku abang yang judulnya "agama saya jurnalisme".
Kalo mau pesen harus bagaimana dan kemana?