Friday, July 23, 2010

Seichi Okawa


Minum kopi Wamena bersama Seichi Okawa dalam toko di Tokyo, yang penuh dengan batik, ikat dan ukiran. Okawa sedang riset soal kerangka serdadu Jepang di Papua.
©2010 Izumi Kurimoto

Berjumpa dengan Seichi Okawa di kantor Graha Budaya Indonesia, Tokyo, dimana dia cerita soal riset dia guna penulisan buku soal 40,000 tentara Jepang, yang meninggal di Papua, pada zaman Perang Dunia II. Dia mengatakan sekitar 15,000 kerangka serdadu ada di Pulau Biak. Kebanyakan mereka meninggal karena terkena penyakit atau kelaparan dalam perang menghadapi Sekutu.

Banyak warga Jepang berharap bisa mendapatkan kerangka papa atau kakek mereka, yang meninggal di Papua, untuk dibawa pulang ke Jepang, guna mendapatkan kremasi, menyimpan abu dan merasa tenang. Mereka percaya mereka tidak hormat terhadap orang tua bila tak melakukan kremasi terhadap orang tua yang hilang tersebut. Banyak dari serdadu berasal dari prefecture Yamanaka.

Okawa seorang wartawan kawakan. Dia sekarang kerja untuk Metro TV. Dulu dia pernah kerja untuk majalah Tempo dan belakangan Gatra. Kantornya terletak di sebuah daerah kampus Tokyo. Lantai satu dipakai sebagai toko berbagai barang kerajinan dari Alor, Flores, Jawa maupun Papua. Okawa bekerja di lantai tiga.

Saya senang bisa bertemu dengan Okawa. Saya kira upaya dia mencari kerangka 40,000 serdadu tersebut adalah usaha mulia. Ini bukan pekerjaan mudah karena Perang Dunia II sudah berakhir 65 tahun lalu. Data di Jepang harus dicocokkan dengan tengkorak di Papua, gigi demi gigi. Bila sudah cocok, maka harus didapatkan izin dari pemerintah Indonesia untuk membawa pergi tengkorak tersebut.

Menurut buku An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua karya P. J. Drooglever, satu divisi Angkatan Darat Jepang dipusatkan di Manokwari pada 1942. Mereka terutama ditugaskan mencegah serangan udara Sekutu. Pasukan Jepang tak masuk ke pedalaman Papua karena ada pasukan-pasukan kecil Belanda yang gerilya di pedalaman. Namun mereka dikalahkan pasukan Sekutu, yang lompat katak, dari Australia, Papua New Guinea, Papua, kepulauan utara Maluku dan Filipina, sebelum masuk ke kepulauan Jepang pada 1945. Gerakan lompat katak tersebut membuat ribuan pasukan Jepang terlantar karena markas-markas mereka dihancurkan. Mereka melarikan diri sambil kelaparan dan kena malaria.

Saya bilang saya pernah tahu ada gua di Biak dimana orang bilang kerangka-kerangka serdadu Jepang berserakan. Warga Biak tidak mengutak-atik gua tersebut. Okawa juga pernah berkunjung ke gua tersebut. Kami mengobrol soal kerangka sambil minum kopi Wamena. Enak sekali.

Saya merasa kurang tahu banyak soal Jepang. Saya relatif lebih tahu soal Amerika Serikat atau Inggris, mungkin kebudayaan Eropa lain, daripada Jepang. Seorang kenalan saya, Nesia Andriana Arif, menulis buku Dengan Pujian, Bukan Kemarahan: Rahasia Pendidikan dari Negeri Sakura dan 12 tahun tinggal di Kanagawa, membuat saya ingin tahu lebih banyak soal Jepang. Kebetulan Kanae Doi, seorang pengacara Tokyo, mengundang saya tampil dalam acara dia di Asahi TV. Kunjungan singkat namun ia membuat saya tertarik pada Jepang, apalagi bertemu orang macam Okawa-san.

Situs Web Graha Budaya Indonesia
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/

1 comment:

Tikno said...

Suatu usaha yang penuh tantangan.
Apakah Okawa punya data yang cukup mengenai gigi para serdadu tersebut? (menimbang sudah 65 tahun berlalu)