Wednesday, July 02, 2008

Panasnya Pontianak, Panasnya Politik

Andreas Harsono

Ratusan pendukung Barisan Melayu Bersatu datang ke Rumah Adat Melayu di Pontianak pada 20 Februari 2008. Mereka minta pemerintah melarang warga Tionghoa menggunakan bahasa Hakka atau Tio Ciu. Mereka juga menuntut pemerintah melarang perayaan Imlek dengan barongsai dan naga. Mereka minta semua aksara Mandarin dilarang di tempat-tempat umum.

-- Photo by Lukas B. Wijanarko. All rights reserved.

Apabila Anda tertarik untuk tahu ketegangan antar etnik di Pontianak, saya usul Anda membaca majalah Gatra minggu ini. Saya akan menerbitkan naskah, "Panasnya Pontianak, Panasnya Politik," pada hari Kamis. Mungkin naskah itu bisa membantu Anda untuk tahu detail dari sebuah ketegangan antar-etnik di Indonesia.

Dr. Yusriadi, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak, mengatakan “orang Melayu tertentu” hendak menyerang orang Tionghoa sejak kemenangan Gubernur Cornelis dan Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya November silam. Cornelis orang Dayak. Sanjaya adalah orang Tionghoa pertama yang menang pemilihan wakil gubernur di Indonesia.

Ada saja alasan yang mereka manfaatkan, termasuk perkelahian di Gang Tujuhbelas maupun protes di Majelis Adat dan Budaya Melayu. Namun Melayu militan itu masih berhitung. “Bukan mereka menghitung kekuatan orang Tionghoa. Tetapi mereka menghitung orang Dayak yang sekarang berada di belakang orang Tionghoa,” kata Yusriadi. Ada banyak contoh ketika orang Melayu ribut-ribut terhadap orang Tionghoa, orang Dayak memberikan sinyal: ketaksukaan mereka terhadap aksi ini.

Analisis Yusriadi sejajar dengan tesis Jamie Davidson: Melayu maupun Dayak bersaing dan mereka yang di tengah jadi korban. Orang Dayak mengusir orang Madura dari Sanggau Ledo, pada 1997, karena Madura adalah puak yang lemah. Orang Melayu mengusir Madura dari Sambas, pada 1999, juga karena jumlah Madura kecil. Ketika orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001, alasannya juga sama. Kini golongan Madura sudah keok. Ribuan orang Madura dipotong kepalanya, dibelah punggungnya, dimakan hatinya. Kini persaingan mereka mencari korban yang tetap minoritas: golongan Cina. Pepatah, “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung,” dulu dimanipulasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap etnik Madura. Sekarang pepatah sama dimanipulasi untuk menyudutkan pendatang lain: golongan Tionghoa.

Yusriadi mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia murid James T. Collins, professor bahasa-bahasa Borneo. Yusriadi menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.

Gatra memberi tempat 10 halaman untuk saya. Saya juga riset selama tiga bulan sebelum turun ke lapangan. Naskah ini juga sudah di-fact-checking oleh beberapa orang, mulai dari ejaan hingga tanggal, dari argumentasi hingga teori. Mereka termasuk wartawan, akademisi maupun orang-orang yang terlibat dalam ketegangan. Saya mewawancarai lebih dari 40 nara sumber selama berada di Pontianak Mei lalu. Baik dari kelompok Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa dan sebagainya. Saya juga menyinggung soal ketidakakuratan media ketika memberitakan ledakan-ledakan tersebut. Saya kira Anda bisa belajar sesuatu dari Gatra edisi ini.

7 comments:

infogue said...

artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/panasnya_pontianak_panasnya_politik

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!

stefanus akim, said...

Bang, saya usul...setelah dimuat ke GATRA, artitel tersebut juga diposting di blog ini. Sehingga mereka yang tak kebagian dapat membaca di internet.

Saya tak sabar untuk segera membacanya

Salam,

Protus Tanuhandaru said...

aksara Cina nggak boleh, tapi atas nama agama Islam, aksara arab boleh digunakan.

Berdasarkan fungsi, aksara Cina (mandarin) mungkin bisa dibilang lebih berguna daripada Arab. Bahasa mandarin digunakan di beberapa negara: China, Malaysia, Singapore, Taiwan, dll.

Kalau media He Bing Ribao dilarang, kenapa Jakarta Post yang menggunakan bahasa Inggris tidak apa-apa?

Tapi itulah Indonesia, sebuah negara fasis, berpikiran sempit, tidak punya logika namun bermuka pluralisme.

Dalam globalisasi, Indonesia sudah mampus karena kebodohannya sendiri.

andreasharsono said...

Dear Akim,
Saya akan segera memasang di blog sesudah Gatra beredar seminggu di pasar. Sekalian juga ambil nafas. Saya sibuk sekali belakangan ini. Terima kasih.

Unknown said...

sebaiknya yang buat analisis itu tinggal dulu selama mungkin ditengah-tengah orang dayak, pahami cara berpikir kami...sungguh2 hasil analisis yang tidak dewasa.

jusuf said...

pak Andreas. tulisan anda mengenai pontianak/kal-bar cukup menarik. sebagai orang pontianak, saya ingin menyarankan kepada anda...anda kan wartawan..:) coba anda turun ke lapangan terus survey. tanya ke orang2 pendatang, kalo mereka cari pembantu misalnya pilih mana, etnik dayak, melayu, cina, bugis etc. sasya sendiri pernah survey kecil2an dan kebanyakan mereka akan menjawab ; dayak karna pembantu dari etnik dayak pekerja keras, penurut, ga banyak omong, dan terlebih2 jujur...

pengalaman saya pribadi; saya punya toko kecil2an di pontianak. berdasarkan pengalaman saya selama buka toko (persewaan) hampir 6 tahun, pelanggan yg omongannya atau janjinya bisa dipegang kalo ga dayak ya cina...kalo melayu?...wah payah!

jadi itu salah satu sebabnya dayak sama cina itu lebih bisa sehati dan akrab. selain karna sama2 bisa mengkonsumsi babi (mayoritas dayak itu kristen). jadi sebenarnya bukan karna hitung2an politik seperti yg anda tulis atau analisa para pakar politik.

orang dayak-anda bisa cek-khususnya dayak kenayatn di kal-bar memanggil cina dengan sebutan 'sobat' yg artinya sahabat. 'sobat" yg asalnya dari kata 'sahabat-bahasa indonesia' akhirnya menjadi kosa kata dayak kenayatn dan sudah turun temurun digunakan u/ menyebut cina.

andreasharsono said...

Terima kasih untuk komentarnya. Saya menerima puluhan komentar soal naskah ini. Dari orang Dayak, Melayu, Tionghoa dan sebagainya. Dari aktivis, pengusaha, wartawan dan sebagainya. Dua minggu lalu saya ada di Pontianak dan bicara lebih banyak di warung-warung kopi Jl. Gajah Mada maupun Jl. Hijas. Saya kira naskah ini cukup banyak dibicarakan di Pontianak dan membantu masyarakat disana memahami keadaan mereka.