Wednesday, June 13, 2007

Menjawab Agung Dwi Hartanto dari Indexpress


Dengan hormat,

Saya minta masukan beberapa rekan saya sebelum menjawab permintaan wawancara dari Indexpress untuk proyek "Seabad Pers Kebangsaan" atau "Seabad Pers Indonesia." Kami dengan senang hati menjawab pertanyaan Anda. Kami juga membaca beberapa laporan Indexpress di harian Jurnal Nasional. Rasanya elok juga organisasi Pantau dipilih masuk dalam 365 media yang diberi label "kebangsaan" ini.

Namun kami perlu mengungkapkan keraguan kami terhadap metodologi kerja Indexpress maupun pemilihan tahun 1907. Anda menjelaskan kepada saya, "Medan Prijaji sebagaimana diketahui adalah pers yang sejak pertama terbit diawaki pribumi. Tirto Adhi Soerjo juga yang mendirikan NV Medan Prijaji."

"Tjahaja Siang, kalau kami tak keliru, sebelum diawaki pribumi menjadi milik zending Belanda. Demikian juga dengan Soerat Chabar Betawi. Koran ini bukan milik pribumi. Tirto juga mengadvokasi rakyat Hindia Belanda, meskipun dirinya keturunan Jawa. Terutama sepak terjangnya mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Hingga akhirnya organ ini tersebar di pelbagai daerah di Hindia Belanda. Sebelum akhirnya tanah dan air itu disebut Indonesia."

Saya menganggap tidak ada masalah dengan memilih Tirto Adhi Soerjo. Dia penerbit yang berani melawan ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda. Pengarang Pramoedya Ananta Toer sudah menulis baik sekali soal Tirto Adhi Soerjo. Namun penelitian Indexpress ini bermasalah ketika mengabaikan wartawan lain dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji (1907) adalah "pribumi." Dasar pemilihan ini bisa mengarah pada rasialisme.

Benedict Anderson dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api menulis bahwa pada awal abad XX, "Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'."

"Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W. Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara-- djuga menerbitkan madjalah radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek)."

Anderson menulis adanya keragaman dunia media yang mulai tumbuh subur pada awal abad XX di Hindia Belanda. Definisi pribumi untuk suasana macam itu akan menimbulkan dampak yang tidak tepat. Bila kriteria "pribumi" ini dipakai untuk menerangkan suratkabar dan "kebangsaan" Indonesia, sebelum dan sesudah Medan Prijaji, bisa kacau-balau penelitian ini.

Sekadar contoh. Kalau Anda perhatikan thesis Daniel Dhakidae di Universitas Cornell, Anda akan membaca setidaknya tiga suratkabar sekarang --Kompas, Sinar Harapan dan Tempo-- yang punya cikal bakal "non pribumi." Djawa Pos di Surabaya didirikan The Chung Sen, seorang penerbit Tionghoa, pada 1949 sebelum dibeli PT Grafiti Pers, yang memiliki saham Tempo, pada 1982. Tidak konsisten dengan kriteria "pribumi" bila Anda tak memasukkan Kompas, Sinar Harapan dan Tempo dalam "Seabad Pers Indonesia." Tapi kalau memasukkan mereka, Anda mengingkari keberadaan suratkabar-suratkabar Tionghoa yang terbit sebelum Medan Prijaji.

Tjahaja Sijang di Minahasa, sebelum diawaki "pribumi," memang milik Nederlandsch Zendeling Genootschap, sebuah lembaga zending Belanda. Namun NZG adalah lembaga yang melahirkan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIH). Pengaruh GMIH di Minahasa setara dengan Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. Saya kira mengabaikan Tjahaja Sijang, dengan alasan ia milik zending Belanda alias "non pribumi," akan membuat wartawan di Minahasa bertanya-tanya. Tjahaja Sijang (1868) terbit jauh lebih awal dari Medan Prijaji (1907). Anda bisa baca dalam penelitian David Henley Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indie tentang besarnya pengaruh Tjahaja Sijang.

Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, tanpa memberi label "pribumi" atau "Indonesia" atau kebangsaan, Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Mengapa patokannya bukan 1744?

Mungkinkah soal bahasa Belanda? Saya juga meragukan argumentasi yang mensyaratkan pakai bahasa Melayu. Claudine Salmon dalam Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annonated Bibliography, menyebut suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu, antara lain milik penerbit Tionghoa, misalnya Soerat Chabar Betawie yang terbit di Batavia pada 1858 atau sekitar 50 tahun sebelum Medan Prijaji?

Contoh lain. Harian Flores Pos (1999), yang Anda pilih, juga milik Societas Verbi Divini (SVD), sebuah organisasi Katolik dengan pusat di Roma. SVD adalah organisasi multinasional. Bisa jungkir balik kalau mau dicari dia pribumi mana. Cikal bakal Flores Pos adalah majalah Bintang Timoer (1928) dan dwimingguan Bentara (1948). Bintang Timoer dan Bentara juga punya komponen "non pribumi."

Contoh lain. Kalau kategori "pribumi" juga dipakai di Papua, bagaimana Anda memandang Eri Sutrisno? Dia orang Jawa, sekarang pemimpin redaksi mingguan Suara Perempuan Papua. Eri bekerja keras menjadikan Suara Perempuan Papua jadi mingguan paling bermutu di Papua. Namun di Papua ada sentimen terhadap "pendatang" atau "rambut lurus" (istilah ini keponakannya "non pribumi"). Rekan-rekan Papua di Suara Perempuan Papua, misalnya Joost Willem Mirino, tentu saja, tak membenarkan rasialisme ini. Namun bagaimana menyusun logika "pribumi" Indexpress terhadap Eri Sutrisno mengingat orang Jawa dianggap bukan penduduk asli Papua?

Eri mantan redaktur majalah Pantau. Ada lagi mantan redaktur Pantau, Irawan Saptono, juga orang Jawa, lama bekerja di harian Suara Timor Timur pada 1990an zaman pendudukan Indonesia. Kini Timor Lorosae sudah merdeka. Irawan juga lama kembali ke Jakarta. Apakah Irawan tak berjasa dalam pengembangan jurnalisme di Dili?

Saya tahu pasti kerja keras dan keberanian Irawan membela orang-orang Timor dari penindasan tentara Indonesia sehingga dia harus lari dari Dili. Irawan bekerja untuk melayani masyarakat Dili dengan informasi tanpa ribut soal "kebangsaan" Timor Leste. Tidakkah ini tindakan terpuji?

Ini belum lagi kalau Anda memperhatikan modal yang masuk ke beberapa perusahaan "media Indonesia" zaman sekarang, terutama televisi, yang sudah terdaftar dalam bursa saham. Bagaimana Anda bisa membedakan "modal pribumi" dan "modal asing" ketika saham mereka, setiap hari teoritis bisa jadi objek transaksi, tidak hanya di Jakarta, namun di luar bursa saham Jakarta? Seluruh dunia?

Tidakkah keadaan ini bisa menjelaskan bahwa orang-orang macam F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, G. Franscis, Multatuli, ter Haar, Kwee Kek Beng, J.H. Pangemanann, F.D.J Pangemanann dan sebagainya juga, bekerja keras menyampaikan kebenaran kepada pembaca mereka, sama dengan Tirto. Mereka tak bisa diabaikan dengan mengambil Medan Prijaji sebagai tonggak media yang menyuarakan "kebangsaan" Indonesia.

Ide soal nation-state juga bukan "pribumi" di Hindia Belanda. Ide ini mulanya berkembang di Perancis dan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun lalu. Ide ini menyebar tanpa mengenal batas kerajaan, etnik, agama maupun lautan. Ia juga mendarat di Hindia Belanda dengan segala macam tafsir dan variasi. Kini faham kebangsaan inilah yang mengatur hubungan dunia internasional. Saya pernah bikin kritik soal pemahaman nasionalisme di kalangan media Jakarta saat tsunami Aceh untuk jurnal Nieman Reports.

Contoh-contoh ini bisa diperpanjang. Saya anjurkan Anda membaca sebuah paper dari Endy M. Bayuni, pemimpin redaksi The Jakarta Post, orang Minangkabao kelahiran Jakarta, sekolah di London, yang menyatakan bahwa sebagai wartawan bisa meliput keragaman bila newsroom kita sendiri beragam. Dalam Covering Diversity in Indonesia -- It All Begins in the Newsroom, Endy mencontohkan adanya keragaman newsroom di Jakarta. Dia mengambil contoh harian Kompas dimana ada orang Jawa, Arab, Tionghoa, Katolik, Muslim dan sebagainya.

Saya kira penelitian Indexpress akan lebih baik bila metodologinya diperbaiki dengan memperhatikan keragaman ini. Tradisi newsroom media mainstream di Indonesia adalah keragaman. Sejak awal ia campur baru, ada Belanda, Itali, Jerman, Inggris, Minahasa, Hokkian, Hakka, Jawa, Sunda, Batak dan seterusnya. Menariknya, kebiasaan ini berjalan terus, termasuk untuk Jurnal Nasional dimana ada modal uangnya Putera Sampoerna (Tionghoa) plus "moral support" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Jawa). Ada juga Ramadhan Pohan (Batak), Taufik Rahzen (Sumbawa), Shaun Levine (Amerika) dan seterusnya.

Kalau pun Anda sudah terlanjur masuk dalam penelitian ini, tanpa bisa mengubah metodologinya lagi, mungkin lebih tepat bila judulnya diganti "Seabad Medan Prijaji." Terima kasih.

1 comment:

Anonymous said...

Bang Andre, namaku yanti dari kalimantan Barat. Aku mau tanya dimana aku bisa mendapatkan tulisan-tulisannya R.M Tirto Adhi Soerjo ? terimakasih :)