Friday, May 11, 2007

Sebuah Kesenangan Kecil


Pagi ini harian Jawa Pos di Surabaya menerbitkan wawancara aku soal pemisahan agama dan negara. Aku sendiri belum tahu bentuknya bagaimana. Wawancara dilakukan oleh Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal dan belakangan ketikannya dimuat Jawa Pos.

Wawancara dilakukan Kamis lalu di studio radio 68-H di Utan Kayu, Jakarta. Siaran langsungnya satu jam, disiarkan beberapa radio. Ada telepon tanggapan masuk dari Timika (Papua), Banten, Jakarta maupun Nusa Tenggara Timur. Intinya, soal bagaimana aku melihat agama. Ia tentu kait-terkait dengan hubungan agama dan negara. Ia juga terkait dengan kebebasan sipil (berpendapat, berserikat, beragama, bekerja, berpergian dan sebagainya), yang wajib hukumnya dalam sebuah demokrasi.

Novriantoni adalah alumnus Universitas al Azhar Kairo. Orang cerdas dan sopan. Pertanyaan-pertanyaannya menukik. Dia tanya misalnya, "Apakah agama adalah faktor yang mempersatukan Indonesia?" Aku duga maksudnya adalah Islam karena agama ini paling banyak dianut warga Indonesia.

Aku jawab bagaimana menerangkan faktor perang Acheh dimana sesama bangsa Muslim, Acheh dan Jawa, berperang lebih dari 600 tahun? Bagaimana menerangkan orang-orang Madura, yang dibunuh dan diusir oleh orang Melayu di Sambas? Aku cerita dari pengalaman liputan aku. Ketika orang-orang Madura dikejar-kejar dengan mandau, mereka melarikan diri dan teriak, "Allahu akbar, Allahu akbar." Menariknya, para pemburu mereka, milisi-milisi Melayu Muslim, juga meneriakkan, "Allahu akbar ... Allahu akbar."

Kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore juga sama-sama Islam. Tapi mereka bersaing dan berperang selama 800 tahun, melibatkan Portugis dan Spanyol, hingga hari ini saat terjadi sengketa sektarian, Islam versus Kristen, di kepulauan itu pada 1999-2001. Saling membunuh ini punya background dendam Ternate versus Tidore.

Anakku satu-satunya, Norman, aku ajak main ke Utan Kayu. Kami memang tak ada yang khusus mengasuh Norman di apartemen. Isteriku, Sapariah, juga bekerja sebagai wartawan. Norman juga ingin lihat-lihat lagi kantor dimana papanya dulu bekerja. Dulu Norman suka main disana ketika masih kecil. Dia ingat Kedai Tempo, tower radio 65-H dan kenalan-kenalan kami di Utan Kayu. Kami makan siang disana. Norman main dengan Ade Juniarti serta rekan-rekan lain ketika aku masuk studio.

Intinya, aku bilang bahwa negara Indonesia ini harus dipisahkan dari urusan-urusan agama. Negara harus berjarak dari agama. Negara modern, kalau kita belajar teori nation-state, yang mula-mula berkembang di Prancis dan Amerika Serikat, ya harus memisahkan agama dari negara. Logikanya, tak ada negara modern yang kehidupan agama para warganya homogen. Selalu ada keragaman dalam beragama. Bahkan negara mungil macam Timor Lorosae juga tak homogen keberagamaannya. Negara Indonesia, sayangnya, sejak awal sudah mencampurkan agama (Islam) dengan negara.

Aku singgung juga soal apa yang disebut sebagai Piagam Jakarta dengan tujuh katanya yang terkenal itu. Mohammad Hatta, wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 1945, pagi hari, memang minta empat anggota lain --Mohammad Hasan, Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim dan Kasman Singodimedjo-- untuk minta ketujuh kata itu dihilangkan dari konstitusi. Namun isu itu tak berakhir pagi itu.

Masih banyak aturan muncul dimana agama dicampur urusan negara. Mulai dari berdirinya Departemen Agama hingga pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Mulai dari sulitnya membangun "rumah ibadah" hingga pencantuman agama pada kartu tanda penduduk. Belum lagi aturan-aturan daerah soal apa yang disebut "syariah Islam" --umumnya urusan mewajibkan perempuan pakai jilbab, razia perjudian, pelacuran, tanpa masuk ke kejahatan yang jauh lebih jahat, dari pembunuhan massal hingga korupsi tingkat raksasa, yang para pelakunya justru orang-orang kuasa. Ini bukti agama dicampurkan dengan negara.

Menariknya, pagi ini ketika Jawa Pos menerbitkan wawancara Novriantoni, tiba-tiba ada SMS berdatangan dari Jawa Timur. Sapariah mula-mula yang membaca pesan-pesan ini. Mulanya kami bingung. Sapariah tanya, "Kapan pula Mas kirim naskah ke Jawa Pos?" Baru belakangan kami ngeh kalau ini adalah wawancara.

Aku sendiri berasal dari Jember, pernah sekolah di Malang dan sering pergi ke Surabaya. Aku punya banyak kenalan dan saudara di Jawa Timur. Jawa Pos adalah suratkabar terbesar di Jawa Timur. Banyak kenalan dan saudara aku pelanggan harian ini. Ia sebenarnya bukan suratkabar yang serius namun sangat populer. Jawa Pos selalu mengingatkan aku pada The West Australian terbitan Perth. Sama-sama model tabloid, agak sensasional, namun sangat populer.

Lalu Sapariah dan aku menelepon keluarga di Jember. Papaku bilang pagi ini ada teman lamanya, Cek Pen, menelepon pagi-pagi dan bilang, "Kiong Hie ya." Ini bahasa Hokkian, artinya, "Selamat" atau "Congratulation." Cek Pen ikut senang anak temannya mlebu koran (masuk koran).

Nama sebenarnya adalah Zhe Fen namun ketika kecil, aku memanggilnya Cek Pen, dari kata "Encek Pen" alias "Paman Pen." Papa juga bilang ada anak kost di rumahnya yang kasih Jawa Pos kepadanya.

"Lu dibayar piro ambek Jawa Pos?"

Aku tersenyum. Aku jawab suratkabar tidak membayar sumbernya. Aku dengar dari balik telepon ada orang sekitar Papa tertawa terbahak. Mereka semuanya geli kok masuk koran tapi tidak dibayar? Atau sebaliknya, mentertawakan Papa yang tak mengerti?

Pendeknya, Papa terdengar bangga sekali anaknya masuk koran. Dia juga senang teman lamanya, yang sudah lama tak berhubungan, tiba-tiba menelepon dari Surabaya ketika mengetahui anak kecil yang dulu sering ikut papanya itu, hari ini mlebu neng koran.

Buat aku, tak ada yang istimewa masuk koran. Namanya juga wartawan. Nama kami biasa saja muncul di media. Tapi ini sebuah kebanggaan untuk Papa. Nama anaknya masuk suratkabar, yang dibaca teman-teman dan tetangga, membuatnya bangga. Aku tentu ikut senang. Aku bukan anak yang mampu memberi uang atau fasilitas lain kepada orang tuaku. Malah terkadang pinjam duit darinya. Namun kesenangan kecil macam begini, tentu juga, menyenangkan aku juga.

5 comments:

Fahri Salam said...

Oalaaa..., iki jenenge seko utankayu mlayu nang jember. Gak nyangka ceritanya segitu rame... Melu seneng plus lucu, Mase :)

andreasharsono said...

Dear Fahri,

Iki ceritane memang lucu banget. Wawancara soko Utan Kayu, njebule ono neng Jember. Aku dadi seneng lanjaran bapakku dadi ono cerita neko-neko. Wong tuo seh.

Anonymous said...

Apik, mas Andreas.Artikel yg bermutu,agama kok diatur.Tetap semangat, dan tambah sangar artikelnya.

Astri Kusuma said...

Memang menyenangkan melihat orang tua bangga pada kita :) Menyesal saya tidak membaca wawancara dengan Pak Andreas di Jawa Pos. Itu Jawa Pos tanggal berapa ya Pak Andreas?

andreasharsono said...

Astri,

Jawa Pos munculnya hari Jumat atau Kamis. Lalu di Jakarta, ia muncul di Indo Pos hari Minggu. Aku duga ia juga muncul di beberapa harian milik Jawa Pos. Naskah itu aku taruh di blog ini juga. Bisa langsung klik dari cerita Sebuah Kesenangan Kecil ini juga lewat semua kata "wawancara." Terima kasih.