Thursday, September 01, 2005

SMS dari Takengon

Saya menulis ini dari Hotel Jeumpa, Banda Aceh, sesudah membaca satu SMS dari Takengon. Pengirimnya, seorang wartawan yang kebetulan ikut pelatihan wartawan International Center for Journalists dan Yayasan Pantau di Sabang pada 26-28 Agustus. Peserta ada 22 orang. Semuanya menerima macam-macam bacaan, termasuk majalah Pantau edisi Desember 2003, yang berisi travelogue saya, "Republik Indonesia Kilometer Nol." 

Eva Danayanti dari Pantau baik sekali mengirim semua bacaan itu dari Jakarta. Beratnya hampir 50 kg. Latihan ini sudah selesai. Peserta sudah kembali ke rumah masing-masing. 

Wartawan ini lalu menulis SMS, "Dua jam lebih saya membaca kilometer nol, sambil membuat catatan. Berbagai perasaan muncul. Saya sempat menangis. Inilah Aceh dimana saya dan keluarga merasakan dampaknya. Tapi jujur saya bangga kenal andreas. Tls spt itu sulit bg saya. Dan tak mungkin saya mampu menulisnya. Lengkap tanpa lubang." 

Seperti kebanyakan penulis, saya tentu merasa lega bahwa laporan saya membuat orang mendapat kegunaan. Semangat mengerjakan buku dengan detail sebanyak "Kilometer Nol" kembali menggebu saya. 

Proses penulisan "From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nasionalism" bukannya tanpa kesulitan (terutama finansial dan waktu). Tapi saya merasa dikuatkan lagi. 

Anyway, ide bikin buku ini dimulai dari travelogue tersebut. Saya juga seakan-akan diingatkan lagi bahwa reward terbesar untuk seorang wartawan adalah penghargaan dari pembacanya. Ini penting karena terkadang saya juga terjepit kesulitan finansial. 

Saya relatif punya honorarium yang bagus tapi pekerjaan wartawan, tanpa gaji tetap, bagaimana pun terkadang membuat saya kuatir dengan biaya hidup anak saya. SMS tadi membuat hari ini terasa indah bagi saya.

1 comment:

andreasharsono said...

Aku mendapat SMS lagi dari seorang aktivis buruh Tangerang yang membaca "Republik Indonesia Kilometer Nol."

Ia menulis, "Saya baru selesai baca Indonesia KM Nol, masalah HAM, kemanusiaan, keadilan, menentukan nasib sendiri, ternyata tidak bisa dimiliki oleh kita, melainkan hal tersebut hanya sebagai slogan bagi kelicikan penguasa. Saya muak jadi orang Indonesia."

25 September 2005