Wednesday, June 01, 2005

Dua Sumber Jember Minta Anonim

Gua wis dua hari ada ndek kota Jember. Gua wis dua kali wawancara dengan dua sumber penting. Keduane nolak disebutkan namanya. Artinya, gua juga tak bisa memakai keterangan mereka (selain sebagai background information).Kedua sumber ini tergolong orang tua. Keduanya sekolah di zaman HindiaBelanda. Satu berumur 80 tahun. Satunya, 81 tahun. Satu perempuan, satunya laki-laki. Keduanya tergolong orang yang berhasil dalam hidup mereka.

Mereka relatif punya uang. Rumah besar dan terpelihara. Mereka telah melewati lika-liku kehidupan dan perubahan zaman. Dari zaman Hindia Belanda, lalu zaman Jepang, zaman Revolusi, zaman Sukarno, zaman Suharto dan sekarang. Jember dulu dikuasai oleh keluarga Bernie, keluarga Yahudi Belanda, yang memiliki perkebunan tembakau luas.

Gua mewawancarai mereka untuk tahu keadaan kota Jember sejak zaman Hindia Belanda. Tujuan wawancara ini adalah melengkapi isi buku gua, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nasionalism. Gua memilih Jember karena ia adalah kota kelahiran Gua. Tujuannya, bagian ini menjelaskan latar belakang gua kepada pembaca.

Satu sumber minta disebut sebagai "sumber yang layak dipercaya." Gua tertawa dalam hati. Gua menerangkan panjang lebar tujuh kriteria sumber anonim ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Baik soal resiko, soal keberadaan mereka di lingkaran satu, soal integritas dan sebagainya. Intinya, Gua menolak memberikan status anonim. Mereka tetap tak mau disebut namanya. Kami memang cerita panjang lebar, bahkan diajak makan siang, namun gua menjaga perjanjian kerja gua dengan tak mencatat juga.

Cerita mereka sebenarnya menarik. Sumber pertama cerita soalkehidupan sosial Jember. Ia besar dari keluarga kaya. Sempat berkenalan dengan keluarga Bernie. George Bernie mendapatkan kontrak guna usaha (arfpacht) selama 75 tahun pada 1870. Sumber ini tahu riwayat masjid lama Jember di Alun-alun kota. Harga tanahnya dibeli dari Bernie satu gulden.

Sumber kedua cerita tentang pembunuhan massal pada 1965. Ia cerita bahkan sampai hari ini, korupsi di Jember masih merajalela, dari polisi hingga pejabat sipil, termasuk tentara. Semua suka memeras.

Mereka beralasan, kalau buku ini terbit dan nama mereka tercantumdisana, bisa jadi buku ini bakal dipakai entah polisi atau tentara untuk memeras mereka. Bahkan kalau perlu dipenjara. Mereka juga bilang banyak wartawan tak bisa dipercaya. Media disini tak bisa disamakan dengan mutu media di Belanda.Kami hanya mengobrol biasa tanpa gua mencatat. Gua jauh-jauh dari Jakarta, mengirim surat, bikin janji dan sampai di Jember ternyata tak dapat kutipan.Ya beginilah duka seorang wartawan.

1 comment:

Anonymous said...

Mas Andreas, kemajuan bukunya sudah sampai mana ? Pingin segera bisa baca. Ayolah, bikin kita terpincut dengan jurnalisme sastrawimu itu.

wilest