Sunday, March 06, 2005

Soal "habis kontrak" The Jakarta Post

Tanggapan untuk Satrio Arismunandar dan Budiman Harsadipura

Terima kasih untuk surat-surat Anda berdua. Saya ingin menjawab surat-surat itu karena isinya cukup memberatkan saya. Satrio menuduh saya "memelintir" berita dikeluarkannya saya dari The Jakarta Post. Ia mengatakan saya bukan dipecat tapi habis kontraknya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) "menerima" penjelasan itu. Budiman Harsadiputra, dengan berbekal surat Satrio, menuduh saya melakukan "kebohongan publik" dan mempertanyakan misi Yayasan Pantau memajukan jurnalisme di Indonesia kalau saya sendiri "berbohong."

Pada 3 Maret lalu, saya menelepon Satrio, serta mengingatkannya pada kejadian-kejadian 1994. Saya mengatakan ia benar soal istilah "kontrak habis" tapi ia salah karena tak menerangkan konteks peristiwa itu. Saya ingatkan lagi bagaimana saya kesulitan mencari kerja sesudah itu sehingga harus cari makan di media internasional. Saya juga ingatkan rekan-rekan lain yang dikeluarkan atau digeser dari media mereka. Misalnya, Santoso, Ayu Utami dan Imran Hasibuan dari majalah Forum Keadilan. Hasudungan Sirait dan Meirizal Zulkarnain dari Bisnis Indonesia. Dhea Prekasha Yoedha dan Satrio sendiri diminta mundur dari Kompas.

Satrio mengatakan saya salah dengan istilah "pemecatan" karena ia aktivis perburuhan dan tahu bahwa kata itu dipakai untuk "karyawan tetap." Namun ia minta maaf karena postingnya tak menerangkan konteks "kontrak habis" saya di The Jakarta Post itu. Ia tak mengira posting itu membuat saya dituduh Budiman sebagai "pembohong." Ia berjanji akan menulis lagi untuk menjelaskannya ke audiens pantau-komunitas@yahoogroups.com.

Saya juga bicara dengan Eko "Item" Maryadi pada 2 Maret lalu. Item salah satu anggota delegasi AJI, yang menemui Raymond Toruan (pemimpin umum) dan Susanto Pudjomartono (pemimpin redaksi) The Jakarta Post untuk menanyakan kasus saya. Item membenarkan Satrio ikut delegasi. Anggota lain termasuk Santoso (sekarang direktur radio 68H). Item membenarkan bahwa istilah yang dipakai Pudjomartono dan Toruan adalah "kontrak habis."

Ada tiga hal yang disampaikan Pudjomartono dan Toruan kepada delegasi AJI:

1. Kontrak saya habis pada 31 Oktober 1994 dan tidak diperpanjang
2. Ada soal personal behavior, saya sering menggunakan telepon kantor untuk keperluan organisasi lain
3. Laporan-laporan saya sering tidak balanced, sering menyerang pemerintahan Presiden Soeharto

Item menganggap "organisasi lain" itu adalah AJI. Namun delegasi AJI tak menanyakan lebih jauh siapa "organisasi lain" yang dimaksud Pudjomartono. Item mengambil kesimpulan itu karena waktu itu saya memang sering berhubungan dengan media atau organisasi internasional atas nama AJI.

AJI menerima penjelasan The Jakarta Post karena AJI tak mau mencari musuh. Waktu itu AJI sudah berhadapan dengan Persatuan Wartawan Indonesia dan Departemen Penerangan. Pudjomartono dan Toruan mengatakan mereka juga mendukung perjuangan AJI.

Anda ingin tahu lebih banyak? Tessa Piper dari Article XIX menulis laporan berjudul "The Press Under Siege - Censorship in Indonesia" terbitan November 1994. Piper membahas soal pembredelan Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994 serta tekanan yang dihadapi pada pendiri AJI.

Tessa memakai kata "dismissed" untuk kasus saya. Menurut kamus John M. Echols dan Hassan Shadily, "dismissed" artinya "dibebaskan dari tugas" atau "pemecatan."

"In October, Andreas Harsono, one of the journalists who was refused permission to cover the APEC meeting, was dismissed from the Jakarta Post at the end of his probationary year. The newspaper denied that there was any outside pressure to fire him. However, his active role in the AJI combined with the current AJI pressure on editors makes this denial at least open to question."

Akhir kata, kalau memang kontrak saya tak akan diperpanjang pada Oktober 1994 itu, mungkin perlu dipertanyakan mengapa The Jakarta Post memasukkan nama saya sebagai reporter untuk meliput Asia Pacific Economic Cooperation yang diadakan pada November 1994? Orang mau habis kontraknya kok malah didaftarkan untuk pekerjaan bulan mendatang dimana ia sudah berhenti? Mengapa rekomendasi-rekomendasi para redaktur saya, antara lain Endy Bayuni (kini pemimpin redaksi) agar saya diangkat mendadak berubah? Apa pengaruh larangan Persatuan Wartawan Indonesia terhadap wartawan-wartawan AJI untuk meliput APEC pada pemecatan saya itu?

Akhir kata, analogi Novi Yanti dari Riau benar bahwa orang macam kami, sering merasa terlalu ribet untuk menjelaskan soal kontrak dan cenderung pakai kata "pemecatan" saja. Novi juga "habis kontrak" dengan Universitas Islam Riau tapi kalau ditanya orang ya bilang "dipecat." Bukan untuk berbohong. Hanya mau praktis saja. Frans Padak Demon, wartawan kenalan saya sejak 1990-an dan mengikuti kasus 1994 itu, mengatakan alasan-alasan The Jakarta Post cuma dibuat-buat. "Alasan sesungguhnya, saya kira, karena Andreas aktif di AJI dan itu mempersulit manajemen JP," kata Demon.

Tapi saya berterima kasih untuk kritik Satrio soal istilah "media Palmerah." Saya jelaskan mengapa istilah "media Indonesia" atau "media Jakarta" tak memadai untuk menggambarkan sekelompok media mainstream ini. Kami bicara soal kemungkinan istilah lain tapi belum ketemu. Saya berjanji akan memikirkannya lebih jauh dalam penulisan buku saya. Sekian dulu. Saya cukup tertekan dengan deadline bab tiga buku saya. Mudah-mudahan penjelasan ini bisa diterima dengan baik dan tak timbul kontroversi baru.

2 comments:

andreasharsono said...

Dear Andreas,

What a tiresome waste of time THIS controversy is! "Fired," "dismissed," "contractnot renewed" -- I agree with you
that in this context these terms all mean exactly the same thing. The story you have told me about the termination of your relationship with the Jakarta Post has been absolutely consistent since the day I first met you in August, 1998, and I even have a transcript of that conversation to prove it.

But my advice to you is to let this drop. You run the risk of
dignifying the discussion by continuing it. These accusations are truly ridiculous.

To me the problem with "Media Palmerah" is not the term itself but rather the appearance of self-righteousness. I would be very careful not to tar all Palmerah media and those who work for them with the same brush. As we well know, there are plenty of good people who work for these news organizations, many of whom are engaged in the struggle to cast off the mid-set of the Orde Baru and improve journalism in Indonesia. I worry that in addition to offending these friends (and making new enemies) you will also end up creating a stereotype that is as hurtful and unfair as "orang Cina," "kaum terroris" or even "orang bule."

Feel free to use any or all of this in your discussions.

all the best,

Janet Steele

Anonymous said...

Pak Andreas, saya setuju dengan Janet Steele. Diskusi soal pemecatan itu tidak usah diteruskan karena yang muncul hanya tuduhan yang tidak masuk akal. Orang2 yang menuduh anda berbohong belum tentu lebih baik dari anda. Terus berkarya, karena dengan demikian akan kelihatan: siapa yang sebenarnya "berbohong"

Selamat bekerja