Thursday, September 19, 2002

Andreas Harsono: Kita Harus Kritis Terhadap Media Massa

Perspektif Baru 19.9.2002

Selamat berjumpa kembali dengan Perspektif Baru yang kali ini akan menghadirkan seorang pemuda cemerlang yang sudah lama berkiprah di dunia jurnalisme Andreas Harsono. Seorang Jurnalis yang berhasil membidangi lahirnya majalah Pantau. sebuah majalah yang banyak menyoroti dunia jurnalisme. Kita pernah mendengar ungkapan lama bahwa ujung mata pena jauh lebih tajam dari sebuah pedang. Pers Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang seperti juga sejarah negara Indonesia itu sendiri. Bagaimana mereka turut berperan dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka. Terakhir kita bisa saksikan bagaimana pers turut berperan dalam membuka pintu gerbang reformasi 1998. Pada saat Indonesia dikoyak-koyak oleh konflik-konflik sosial seperti sekarang ini di Maluku, Papua, Aceh dan yang terakhir di Nunukan. Pemerintah selalu terlambat mengantisipasi atau menanganinya. Masyarakat kembali menoleh ke pers. Mata pena dipercaya bisa meredakan konflik dan mentrasformasikannya menjadi hal-hal yang berguna bagi kita semua. Beberapa waktu lalu Presiden Megawati kembali menyatakan satu sikap terhadap pers yang dianggapnya terlalu membesar-besarkan kasus TKI yang diusir dari Malaysia. Apakah ini merupakan peran pers untuk turut meredakan konflik atau mentrasformasikannya menjadi hal-hal yang berguna? Kita akan berbincang-bingcang dengan Andreas yang dipandu oleh Faisol Reza.


Tentang pers di masa lalu bahwa di Indonesia tentu tidak ada perubahan tanpa peran pers. Bahkan ada yang lebih bombastis dikatakan pers adalah pilar ke lima dari demokratisasi. Tapi sejauh ini banyak fakta menunjukan peran pers begitu dominan dalam membentuk opini masyarakat. Sebenarnya pers sendiri, tentu anda orang pers melihat bahwa peran anda dan teman-teman dalam kehidupan demokratisasi ini seperti apa sebenarnya?

Saya kira secara mendasar kita harus ingat bahwa yang namanya pers manapun, pers Indonesia, pers Amerika, pers Jawa Barat, pers Jawa Timur, pers Jakarta itu tidak pernah menjadi sebuah lembaga yang uniform atau seragam. Setiap kali kita mau menganalisis soal media saya kira harus dibeda-bedakan. Sering orang lupa misalkan kita tidak bisa membandingkan misalnya yang dianggap bagus mungkin harian Kompas dibandingkan dengan Rakyat Merdeka. Atau majalah Tempo disandingkan dengan tabloid Cek & Ricek atau tabloid Nova. Itu tentu tidak sama. Jadi saya harus berhati-hati untuk mengatakan pers Indonesia itu yang bagaimana. Kedua saya kira tugas utama wartawan atau tugas utama jurnalisme adalah memberitakan, memberikan kebenaran kepada publik kepada para warga negara. Agar dari informasi yang benar itu orang bisa dibantu membuat analisis, dibantu membuat kesimpulan sehingga ketika mereka harus bertindak atau bersikap, mencoblos atau bersikap menghadapi Akbar Tandjung dalam kasus korupsi Rp 40 Miliar, tahu bagimana bersikap berdasarkan informasi yang benar.

Anda mengatakan ketidakseragaman sebagai sesuatu yang nyata di tengah-tengah kehidupan pers. Satu pers dengan pers yang lain mungkin memiliki kebijakan yang berbeda dalam melihat sudut pandang sebuah masalah. Tapi tentu ada kaitannya dengan masyarakat dalam kasus misalnya di Maluku. Kelihatan ada peran pers terlihat dominan dalam upaya membangun opini publik. Saya kira ada pers yang memang bersikap lebih tegas untuk membela kelompok atau kumpulan masyarakat tertentu demi kepentingan masyarakat. Anda sebagai orang pers melihat sikap-sikap yang demikian itu wajar atau sebenarnya mestinya tidak dilakukan oleh pers?

Di dalam surat kabar itu ada dua bagian, satu opini yaitu di halaman opini dimana pendapat atau argumentasi kita itu bisa masuk. Sementara ada halaman-halaman atau ruang-ruang dimana wartawan lebih kurang bebas beropini. Pertanyaannya adalah apakah wartawan boleh bersikap? Boleh. Wartawan juga manusia dan tidak bebas nilai, latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman hidup, pribadi ke peribadi, itu bisa berbeda-beda. Susah kita untuk mengatakan bahwa wartawan itu harus netral dan seterusnya. Itu bukan satu persyaratan dasar. Tapi yang penting adalah bagaimana metode dia dalam bekerja, bagaimana proses dia dalam bekerja, itu yang menjadi penting. Asal dia tetap menghormati esensi dari jurnalisme adalah verifikasi. Di Maluku mereka bersikap lebih dulu sebelum mereka melakukan verifikasi. Ini adalah wartawan-wartawan yang tidak profesional, bukan hanya di Maluku, di Jakarta juga sama. Mereka adalah yang tidak tahu harus bekerja dengan standar, prosedur proses yang benar sebelum menghasilkan produk.

Mengatasi sesuatu yang sebenarnya sangat pokok dalam pers yaitu tentang bagimana memberitakan dan bagaimana sebuah media bersikap. Kalau memang di daerah konflik seperti Maluku bagaimana pers sendiri bisa mengatasi ini untuk menjadikan konflik ini misalnya bukan sesuatu yang negatif tapi menjadi satu diskursus publik yang justru bisa membangkitkan kesadaran atau bisa menjadi positif pada akhirnya. Misalnya bagaimana mereka bisa mengorganisasikan diri dan bisa membuka diri. Bagaimana anda bisa melihat peran pers yang demikian?

Saya kira untuk daerah konflik tidak ada resep yang luar biasa. Stick to your job. Jadi berpeganglah pada prosedur-prosedur dalam pekerjaan. Selama seorang wartawan itu bekerja dengan prosedur yang benar, saya kira dia akan bekerja dengan baik dan tidak akan membuat konflik. Sayangnya di tempat kita di dalam banyak kasus, di Jakarta, di Surabaya, di Maluku, di Aceh, dan seterusnya cukup banyak wartawan-wartawan yang tidak tau persis apa itu stick to your job. Saya ambil contoh, saya kira orang perlu tahu apa syarat seorang sumber bisa disebutkan dalam sebuah berita tanpa identitasnya. Istilah kami adalah sumber anonim. Kapan misalnya seseorang mengatakan tolong namanya jangan dikutip. Status ini bisa diterapkan dengan beberapa syarat. Satu, si wartawan itu memberikan status anonim hanya pada orang yang menjadi saksi mata. Misalnya anda melihat pembunuhan. Tapi kalau anda hanya dengar-dengar, anda tentu tidak perlu menjadi saksi anonim. Apalagi saksi yang hanya memberikan penilaian. Kedua, bila mengutip namanya membuat nyawa si nara sumber teracam atau minimal status sosial dia terancam atau kehilangan pekerjaan. Ketiga, anda harus berkoordinasi dengan editor anda. Keempat anda juga harus siap kalau menghadapi gugatan dari pengadilan hakim. Sampai mati, sampai kukunya dicabut, sampai di penjara, jangan dibuka siapa nara sumbernya. Karena itu akan merusak kredibilitas anda. Banyak wartawan-wartawan kita banyak sekali yang tidak tahu.

Menarik sekali untuk membicarakan tentang tuntutan atau juga desakan masyarakat kepada pers sebagai institusi publik. Saya ingin menanyakan tentang tekanan yang dihadapi oleh media. Misalnya seperti kasus Jawa Pos oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan juga waktu itu di Aceh penyanderaan terhadap beberapa reporter TVRI. Bagaimana media menyikap semacam itu?

Tindakan-tindakan massa tidak terjadi dalam vakum. Artinya pasti sedikit banyak ada sesuatu yang salah dengan media sehingga mereka menjadi marah dan naik pitam. Kalau saya menjadi editornya, yang pertama saya akan mengadakan penyidikan internal. Kalau wartawan saya salah, saya akan meminta maaf secepat mungkin. Minta maaf mengkoreksi dan meralat berita. Yang kedua kalau misalnya sudah terlambat, di tempat saya selalu ada prosedur dimana seseorang bisa mengadu pada ombudsman kami. Itu semacam readers representatives. Lembaga ini akan mengadakan penyidikan dan semua catatan, semua rekaman wartawan, kami bisa buka dan disidiki dimana prosedur si wartawan salah. Ketiga kalau tidak bisa saya bisa mengajukan mereka ke pengadilan atau ke Dewan Pers dimana mereka mampu menyimak keluhan-keluhan. Ke empat tentu bisa ke polisi. Dalam hal ini tidak diajurkan untuk merusak koran, menduduki koran, menyandera wartawannya karena itu akan membuat situasi makin buruk.

Tapi bagaimana pers harus meminta masyarakat tidak melakukan semacam itu?

Saya kira wartawan harus bekerja lebih bagus. Indonesia ini persnya baru merdeka sejak kira-kira dua setengah abad yang lalu ketika kita baru mulai punya koran tahun 1745. Wartawan itu baru boleh bekerja dengan relatif bebas mula-mula setelah tahun 1949. Penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia selama beberapa tahun sampai ke Dekrit Presiden itu cukup bebas. Kemudian setelah Pak Karno turun dari tahun 1968-1969 sampai 1974 ada kebebasan dan itu baru muncul lagi setelah Mei 1998 waktu Pak Harto turun. Dulu sebelum Pak Harto turun hanya ada sekitar 6 ribu wartawan. Sekarang ada lebih dari 25 ribu wartawan. Dalam waktu empat tahun bisa muncul lebih dari 18 ribu wartawan. Itu bukan sesuatu yang sederhana. Jadi banyak wartawan tidak terlatih. Banyak editor tidak terlatih. Banyak penerbitan surat kabar baru. Dari 200 sekian tahu-tahu menjadi 1500. Televisi hanya dari enam menjadi lebih dari 25 sekarang ini. Banyak wartawan radio misalnya tidak tahu bahwa mengucapkan eeee eeee eeee itu salah.dan itu tidak boleh sama sekali. Banyak pembaca atau pendengar radio yang ketika menelpon mengucapkan Assalamuallaikum dan seterusnya. Itu tidak perlu karena tidak praktis dan menghabis-habiskan waktu. Hal-hal begini yang saya kira media harus memperbaiki dirinya supaya mutu permainan mereka lebih bagus, lebih benar, lebih etis bekerja. Banyak hal-hal yang lucu di dunia wartawan kita. Kalau saya boleh tambahkan misalnya pemakaian istilah pakar atau pemerhati atau pengamat. Kapan seseorang disebut pengamat, kapan seseorang disebut pakar. Sekarang ini orang menulis di koran mungkin 10-15 kali sudah disebut pengamat politik. Seseorang yang menulis kumpulan artikel dan dibukukan disebut pakar. Itu lucu sekali. Padahal di beberapa surat kabar Amerika yang bagus, seseorang disebut pakar kalau dia menulis buku yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan dan menjadi buku bacaan wajib di berbagai universitas. Misalnya kalau di Indonesia mungkin yang kita bisa sebut sebagai pakar adalah Prof. Benedict Anderson dari Universitas Cornell yang dianggap pakar dalam studi pembangunan nasionalisme karena dia membuat buku yang luar biasa dahsyatnya namanya Imagined Communities. Di luar itu belum ada. Ada mungkin dua sampai tiga orang, tapi belum layak disebut pakar, apalagi pengamat apalagi pemerhati.

Ya, mungkin sialnya kita hidup dan lahir di Indonesia dengan kondisi seperti ini. Tapi mau tidak mau kondisi ini harus diperbaiki agar lebih menjadi positif. Anda mau mengatakan pers memulainya tapi saya ingin mengatakan masyarakat juga harus juga memulainya. Bisa tidak anda berkomentar tentang ini?

Saya kira warga negara di Indonesia ini harus kritis membaca koran. Harus kritis mendengarkan siaran radio ini. Misalnya dia harus kritis menilai Faisol Riza dalam bertanya ini apakah cukup profesional. Apakah pertanyaan Faisol Riza itu tidak terlalu panjang. Berapa kata bertanya yang efektif. Apakah Kompas, Tempo, RCTI, SCTV dan seterusnya itu cukup profesional. Dan kalau ada kesalahan beritahu mereka kita berhak mendapatkan mutu berita siaran yang lebih bagus, kita berhak mendapatkan talk show yang lebih bermutu. Protes ke mereka minta mereka memperbaiki diri, beri tahu wartawan yang di lapangan bahwa kamu belum bekerja dengan cukup baik.

Saya kira komunitas anda pernah menerbitkan buku tentang studi yang cukup mendalam tentang kasus di Kalimantan. Anda bisa sebut ini sebagai upaya untuk menunjukan bagaimana pers seharusnya bersikap di dalam konflik-konflik sosial?

Kami melakukan banyak studi tidak hanya di Kalimantan, Makasar, Maluku, dan Aceh. Dalam studi-studi kami selalu terlihat bahwa media itu tidak bekerja dengan baik. Tapi saya tidak pernah menyimpulkan dan kami tidak pernah menemukan bahwa media ikut membakar sebuah konflik, konflik itu sudah inheren ada. Sudah ada orang-orang yang memang mau berkelahi. Tapi media ketika memberitakan tidak profesional itu bisa menjadi cacat tersendiri buat dunia jurnalisme Indonesia. Misalnya dalam kasus huru-hara di Makassar beberapa tahun lalu. Waktu itu ada seorang gila yang suatu malam dia lagi kumat dan melihat ada seorang gadis yang baru pulang dari pengajian memakai kerudung dan jiblab. Gabis itu dibacok sampai mati. Orang gila ini oleh media Makassar digambarkan seseorang orang keturunan Cina. Akhirnya jadi kerusuhan anti Cina. Atau di Ambon ada seorang supir dengan seorang penumpang ribut gara-gara soal ongkos yang tidak cukup. Diberitakan dengan diberi label yang ini Kristen dan yang itu Islam. Hal-hal begini dalam dunia kewartawanan disebut negative profilling atau pencitraan negatif. Misalnya ada orang Aceh atau Papua sebagai pendatang tidak perlu disebutkan bahwa itu etniknya atau orang Cina masuk penjara bikin ribut yaitu Edi Tanzil dan Bob Hasan. Tidak perlu disebutkan bahwa Bob Hasan dan Edi Tanzil itu orang Cina karena memang tidak relevan. Karena kalau ditonjolkan seperti itu semua orang Cina atau semua orang pendatang atau semua orang apapunlah, Madura, Dayak, Aceh, Jawa dan seterusnya itu yang terkena etniknya. Hal-hal semacam ini saya kira di Indonesia yang paling sering terjadi dan wartawan tidak sadar bahwa mereka salah. Yang bisa dilakukan masyarakat yang bisa dilakukan para warga negara ini adalah bilang sama wartawan kamu kerja tidak benar. Tidak boleh negative profilling. Siapa yang disebut sebagai pemerhati, siapa pakar itu, kapan boleh memberikan sumber yang anonim, kapan melakukan verivikasi, standar reportasenya bagaimana? Publik berhak untuk tahu dan publik berhak untuk menuntut pekerja media lebih baik.

Siapa yang menentukan standar repotase dan kode etik menurut aturan main media yang ada di Indonesia ini?

Secara hakiki setiap wartawan harus mempunyai kode etik sendiri-sendiri. Misalnya saya sudah bekerja sebagai wartawan 15 tahun dan bisa dihitung dengan tangan kapan saya memberikan status anonim pada sumber saya. Kalau misalnya dengan standar begitu saya mau bekerja dengan sebuah media, saya tentu akan cari media dengan standarnya. Kalau bisa lebih tinggi dari saya atau pun kalau rendah jangan terlalu keterlaluan rendahnya. Syukur-syukur kalau saya masuk ke media bersangkutan kemudian saya bisa mengangkat standarnya. Di Indonesia tiap media punya satu set code of conduct atau kode etik. Kemudian mungkin di Indonesia semua hal dinasionalisasi atau dibuat isu nasional. Dewan pers dan organisasi-organisasi wartawan juga bikin. Untuk saya malah kode etik yang dibuat oleh berbagai macam organisasi wartawan di Indonesia terlalu umum dan tidak kelihatan. Jadi yang harus menentukan adalah Kompas, Tempo, RCTI, SCTV, Indosiar, Liputan 6, Trans TV, RRI dan seterusnya.

Tapi anda ingin mengatakan tadi media begitu bebas sehingga mau tidak mau muncul media yang jumlahnya sangat banyak, wartawan yang tidak terseleksi. Dengan kondisi seperti itu apa mungkin Indonesia?

Yang pertama saya tidak pernah berpendapat bahwa media kita begitu bebas. Bahwa kita bebas itu baik. Dalam setiap kebebasan jangan berilusi bahwa tidak ada yang menyalahgunakannya. Pasti ada. Kalau media kita bebas pasti ada yang menjual pornografi, pasti ada yang ngawur, pasti ada Rakyat Merdeka, pasti ada Jawa Pos, Radar-Radar dan seterusnya. Bagaimana cara memperbaikinya? Yaitu waktu. Itu sama dengan tanya kapan kita bisa berharap polisi lalu lintas kita bersih, atau kapan kita berharap tentara-tentara kita menghargai hak-hak asai manusia, atau kapan kita berharap hakim-hakim kita tidak korup, kapan-kapan kita berharap ulama-ulama kita pendeta-pendeta, kyai-kyai menjadi lebih bagus bicaranya tidak asal bunyi, atau kapan kita berharap jaksa-jaksa jadi bersih, atau wartawan-wartawan tidak menerima amplop. Semua itu butuh waktu. Ini semua butuh waktu dan semua proses demokratisasi di Indonesia, politisi, wartawan, jaksa, dan sipil perlu waktu, perlu kesabaran, perlu pengertian, tapi juga perlu niat baik untuk berubah.

Mungkin niat baik dulu menurut saya yang bisa kita miliki sekarang ini dan kita akan mengembangkannya dalam satu dialog yang sama-sama sejajar. Dimana kelompok-kelompok masyarakat bisa hidup dengan demokratis dan memiliki hak yang sama.




PERSPEKTIF BARU di Radio: Global FM Bali, Prima FM Banda Aceh, Maya Pesona FM Mataram, Andika FM Kediri, DPFM Palembang, Pahla Budi Sakti Serang, Gita Lestari Bitung, Sananta FM Tegal, Poliyama FM Gorontalo, Mustika FM Banjarmasin, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Lesitta FM Bengkulu, Zoo FM Batam, Star Radio Tangerang, Gema Mahasiswa FM Purwokerto, Andalas FM Lampung, dan Jaringan Radio KBR 68 H.

PERSPEKTIF BARU di Media Cetak: Bali Pos (Denpasar), Wawasan (Semarang), Pedoman Rakyat (Makassar), Harian Banten (Serang), Harian Nuansa Pos (Palu), Harian Gorontalo (Gorontalo), Waspada (Medan), Radar Lampung (Lampung), NTT Ekspres (Kupang), Banjarmasin Pos (Banjarmasin), Radar Yogya (Yogyakarta), Radar Solo (Surakarta), Patroli (Manado), Malang Pos (Malang), Radar Banyumas (Purwokerto).

No comments: