Wednesday, October 01, 1997

Makna Kehadiran Ne Win di Jakarta


JAKARTA (SiaR, 1/10/97) -- Orang kuat Burma Ne Win, yang hidup dalam kerahasiaan dan tidak pernah muncul sejak tahun 1989, tiba-tiba berkunjung ke Jakarta, makan malam dengan Presiden Soeharto dan ziarah ke makam keluarga Suharto di Surakarta (23-25/9).

Menurut keterangan Sekretariat Negara, kedatangan Ne Win adalah atas undangan pribadi Soeharto. Bukan sebagai tamu negara. Undangan secara lisan disampaikan kepada Ne Win ketika Soeharto berkunjung ke Rangoon bulan Febuari 1997. Belakangan undangan tertulis juga dikirimkan lewat Dutabesar Indonesia untuk Burma Poerwanto Lenggono.

Ne Win datang ke Jakarta dengan menumpang sebuah pesawat jet yang dikirim dari Jakarta. Dalam rombongan sebanyak 12 orang itu juga termasuk anak perempuan Ne Win, Daw Khin Win, menantu U Aye Zaw Win, cucu laki-laki Maung Kyaw Ne Win, dokter pribadi dan para pengawal.

Selama tiga hari di Jakarta, Ne Win menginap di Hotel Borobudur Intercontinental, Lapangan Banteng, Ne Win yang didampingi oleh keluarganya serta Dutabesar Burma untuk Indonesia U Nyi Nyi Tant sempat memenuhi undangan makan malam di Istana Merdeka.

Soeharto sendiri hanya ditemani oleh ketiga orang puterinya --Mbak Tutut, Mbak Titiek, Mbak Mamiek-- serta menantu, Mayor Jendral Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri ad interim Edi Sudrajat.

Namun tak seperti kebanyakan tamu-tamu asing, Ne Win menyempatkan diri terbang ke Solo dan berkunjung ke makam Ibu Tien Suharto. Konon dalam ziarah ke makam di pinggir kota Solo ini kaki Ne Win keseleo sehingga acara berikutnya di Taman Mini Indonesia Indah terpaksa dibatalkan.

Kehadiran Ne Win ini ternyata menggemparkan Burma. Beberapa pengamat Burma terus-terang mengatakan dalam internet bahwa ini benar-benar kejutan. Mereka kebanyakan juga tidak bisa menerangkan ada apa di balik kejadian yang langka ini walau pun ada yang menyamakan kemunculan Ne Win dengan mantan orang kuat Khmer Merah Pol Pot yang pertengahan tahun lalu muncul di Kamboja bagian utara.

Aung Zaw, seorang wartawan Burma yang tinggal di Chiang Mai, Thailand, mengatakan bahwa orang-orang Burma yang melarikan diri dari negaranya bahkan sangat terkejut ketika suratkabar-suratkabar Thailand mencetak gambar Ne Win berpakaian batik sedang bersalaman hangat dengan Soeharto.

"Dia masih segar bugar. Padahal the old man" pernah diisukan sakit-sakitan dan mau mati," kata Aung Zaw. Radio Free Asia yang berpusat di Washington dan dipancarkan ke Burma juga bertanya-tanya ada apa di balik kunjungan misterius tersebut. Mengapa Ne Win memilih keluar dari misteri dan datang ke Jakarta?

"The old man" adalah sebutan yang lazim diberikan kalangan elit Burma kepada Ne Win, salah satu pejuang kemerdekaan Burma pasca Perang Dunia II, yang lantas mengkudeta pemerintahan sipil hasil pemilihan umum Perdana Menteri U Nu 1952 dan mendirikan rejim militer.

Rejim inilah yang kemudian membunuh ribuan mahasiswa Burma secara brutal tahun 1988. Sadar dirinya tidak populer, Ne Win lantas mengundurkan diri dan digantikan oleh jendral-jendral yang lebih muda dan menamakan diri SLORC (State Law and Orderliness Restoration Council) bulan September 1988.

Ada dua analisa yang saling bertentangan mengenai kunjungan Ne Win. Spekulasi pertama, ini hanya kunjungan persahabatan antara dua senior yang sudah saling mengenal sejak tahun 1970-an. Ne Win sudah dianggap tidak berkuasa lagi namun Soeharto masih menghargainya dan mengundang Ne Win "jalan-jalan" ke Jakarta. Analisis ini mengandaikan bahwa kunjungan ini sama sekali tidak politis. Ne Win hanya dianggap figur senior yang sudah tidak berperan dalam pengambilan keputusan SLORC.

Analisis kedua mengatakan justru Soeharto yang dengan jeli melihat bahwa cara yang masih berdayaguna untuk mempengaruhi rejim militer Burma adalah lewat Ne Win, bukannya ketua SLORC Jendral Tan Shwe atau Sekretaris Pertama Jendral Khin Nyunt.

Burma memang dianggap sebagai "bermasalah" oleh kebanyakan negara ASEAN, termasuk Indonesia, yang menerimanya sebagai anggota penuh bulan Juli 1997. Walau pun "bermasalah" --terutama karena SLORC tidak mau mengakui hasil Pemilu 
1990, yang dimenangkan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi-- namun negara-negara ASEAN merasa SLORC adalah rekan yang bisa dihandalkan dalam menghadapi Barat, bekerja sama dalam bisnis dan setidaknya bisa dibuat "lebih beradab."

Soeharto boleh jadi mendekati Ne Win agar orang tua ini bisa mempengaruhi jendral-jendral SLORC untuk bersikap lebih diplomatis bila berhadapan dengan negara-negara Barat dalam soal Suu Kyi yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 1991.

Analisa kedua ini mengandaikan bahwa Ne Win datang ke Indonesia karena Indonesia adalah "saudara tua" Burma. Indonesia adalah negara yang didominasi oleh pemerintahan militer namun tidak menerapkan hukum dan peraturan militer yang kaku. Bahkan oleh banyak negara, pemerintahan Presiden Soeharto dianggap berhasil membangun ekonomi Indonesia sejak tahun 1965.

Burma pada sisi lain adalah contoh sebuah rezim militer yang diasingkan oleh masyarakat internasional. Amerika Serikat memberikan sanksi ekonomi. Negara-negara Eropa melarang diplomat Burma berkunjung ke daratan Eropa. Sementara prestasi ekonominya juga amburadul. Ne Win membawa ekonomi bekas koloni Inggris dan gudang beras Asia ini kepada kebangkrutan.

Wajar apabila SLORC hendak meniru ABRI. Dalam beberapa kunjungan resmi sebelumnya, Khin Nyunt dengan terbuka mengatakan ingin belajar soal Dwifungsi ABRI, UUD 1945 maupun GBHN Indonesia. Ia ingin mendapatkan "resep Indonesia." Ne Win datang ke Jakarta terutama untuk memperkuat hubungan ABRI-SLORC sekaligus melihat langsung keberhasilan pembangunan di Indonesia. Dalam hal ini, asumsi analisis ke dua bahwa Ne Win masih mempunyai gigi, tampaknya lebih 
mendekati kebenaran.

"Presiden Soeharto setidaknya mencium hal ini," ujar seorang pengamat. Namun ada laporan lain yang menyebutkan bahwa kehadiran Ne Win ini juga dimanfaatkan oleh puteri-puteri Soeharto untuk bicara bisnis. Daw Khin Win selain merupakan dokter ayahnya, juga seorang pengusaha perhotelan. Ia memiliki dua buah hotel di Rangoon.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa investasi keluarga Suharto di Burma sudah bukan ukuran kelas ringan. Mereka bergerak di bidang industri semen, kayu, perdagangan dan sebagainya. Adik kandung Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo, 
berkehendak mendirikan pabrik semen di luar kota Rangoon.

Di pihak lain, Mbak Tutut dan Mbak Titiek juga sedang dalam persiapan menanamkan investasi mereka di negeri longji tersebut. Tutut saat menemani Soeharto berkunjung ke Burma juga menandatangani MOU untuk investasi. Siapa tahu lewat jamuan makan malam itu mereka bisa memperoleh partner bisnis yang tepat.

Yang punya kepentingan juga bukan hanya mereka. Prabowo dan Edi Sudrajat boleh jadi juga ingin mengenal Ne Win lebih jauh. Kedua orang ini termasuk mereka yang kurang senang apabila ABRI disamakan dengan SLORC. Menurut seorang pengamat militer, Prabowo pernah dalam satu kesempatan menyatakan kepadanya tentang ketersinggungannya apabila ABRI disamakan dengan SLORC.

"Pandangan ini bukan hanya pandangan Pak Prabowo. Saya tahu kebanyakan perwira menengah kita tidak suka direndahkan derajatnya dan disamakan dengan militer Burma," ujar sang pengamat pada SiaR.

Prabowo, yang sebenarnya agak jarang menemani mertuanya, mungkin melihat jamuan makan malam ini sebagai sesuatu yang penting. Ia ingin melihat dari dekat "the old man" yang dengan darah dingin sudah membunuh beratus ribu rakyat 
Burma. Mudah-mudahan bukan Prabowo yang nantinya belajar pada Ne Win.

No comments: