Tuesday, June 21, 2005

Janet Steele dan 'Wars Within'

Janet Steele, dosen dari George Washington University, meluncurkan buku Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia tentang majalah Tempo, pada Senin 20 Juni ini, di Club Rasuna, sebuah club elite di daerah Kuningan, dengan hidangan cookies khas bikinan sendiri.

Ada banyak wartawan datang disini, dari Aristides Katoppo (Sinar Harapan) hingga Abdullah Alamudi (mantan Bisnis Indonesia dan The Jakarta Post), Rahman Tolleng (mantan Suara Karya) serta banyak orang Tempo: Goenawan Mohamad, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Amarzan Loebis, Toriq Hadad, Zulkifli Arif, Seno Joko Suyono dan sebagainya.

Steele adalah instruktur kursus narasi Yayasan Pantau.



Steele foto dengan rekan-rekan Yayasan Pantau yang minta Goenawan Mohamad ikut mejeng juga (kiri ke kanan): Hasrul Kokoh, Eva Danayanti, Sarmini Yasmin, Goenawan, Steele, Widiyanto dan Yusranti Y. Pontodjaf. Sarmini, Widiyanto dan Pontodjaf pernah belajar dari Steele. Goenawan adalah redaktur pendiri majalah Tempo.



Steele juga gembira bertemu dengan Rahman Tolleng, mantan pemimpin redaksi suratkabar Mahasiswa Indonesia serta Suara Karya. Tolleng juga dikenal sebagai aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an bersama Abdurrahman Wahid dan Marsillam Simandjuntak.

Saya kenal Tolleng sejak akhir 1980-an sesudah membaca buku Francois Raillon soal suratkabar Mahasiswa Indonesia. Tolleng juga belakangan jadi nara sumber rutin saya untuk mengetahui sejara dan intrik kekuasaan di Indonesia.

Ia orang pertama yang memperkirakan bahwa Presiden Suharto akan jatuh dari kekuasaannya pada akhir 1997 ketika belum ada yang mengira Suharto bisa dipaksa mundur.



Keluarga Atmakusumah Astraatmadja juga datang pada pesta ini. Atmakusumah (ayah) , Sri Rumiati (ibu) dan Tri Laksmana Astraatmadja (anak) minta saya memotret mereka bersama Janet. Si anak bungsu Tri kini sedang menyelesaikan kuliah astronomi di Institut Teknologi Bandung. Ia juga senang memotret.

Astraatmadja seorang wartawan terhormat. Ia pernah bekerja untuk harian Indonesia Raya serta Lembaga Pers Dr. Soetomo. Ia diberi Hadiah Magsaysay dari Manila pada tahun 2000 karena jasanya terhadap pengembangan jurnalisme di Indonesia. Ini semacam hadiah Nobel khusus Asia.

Saya selalu ingat “Pak Atma” karena ia murah senyum dan tersenyum juga kalau kalau saya melancarkan kritik terhadap bengkak-bengkoknya jurnalisme di Jakarta.

Suatu malam, kami berdua pernah minum berdua di satu hotel Bangkok. Penyanyi bar elok membawakan lagu-lagu dansa. Astraatmadja menyatakan keinginannya “berdansa dengan Sri.”

Aduh, aduh, lalu ia pun cerita romancenya dengan Sri selama hampir 50 tahun. Atma orang Sunda-Banten. Sri gadis Jawa.

I will never forget this romantic story.



Aristides Katoppo, mantan redaktur harian Sinar Harapan, disebut Janet Steele sebagai “malaikat penjaga” Steele pada proses penulisan buku ini. Ketika Steele sedang susah, Katoppo selalu muncul dengan kata-kata yang membesarkan hati.

Saya pribadi kenal “Pak Tides” sejak 1988 ketika magang sebulan di harian Suara Pembaruan. Ketika Suharto pergi, Pak Tides bersama-sama H.G. Rorimpandey dan orang-orang Sinar Harapan lain, mendirikan lagi harian sore Sinar Harapan.

Saya sempat tidak percaya hingga ketemu langsung dengannya. Ia tersenyum dan bilang masih ada peluang menerbitkan Sinar Harapan lagi.

Katoppo seorang yang sabar. Orang Minahasa ini suka pesan bubur Manado.

1 comment:

budi maryono said...

Sayang disayang aku tak (bisa) datang. SAlam hangat untuk Janet Steele ya Ndre...