Thursday, March 20, 2008

Dana Untuk Jurnalisme


Sejak munculnya internet, perlahan tapi pasti, suratkabar mulai terdesak. Sejak 1990an, suratkabar mulai mengurangi anggaran ruang redaksi mereka. Tak ada suratkabar yang naik sirkulasinya. Kebanyakan mandeg atau malah banyak yang turun. Penghasilan mereka digerogoti oleh situs web maupun berbagai macam program macam Craig’s List, yang menawarkan iklan baris gratis. Ada ramalan suratkabar akan berakhir beberapa dasawarsa lagi.

Padahal suratkabar adalah tulang belakang dari kebanyakan liputan yang bermutu. Mulai dari Ida Tarbell, yang menulis serial The History of the Standard Oil Company untuk majalah McClure’s, hingga duet Bob Woodward-Carl Bernstein dalam skandal Watergate. Ini mendorong beberapa wartawan dan pemikir media mencari model bisnis baru untuk tetap mempertahankan jurnalisme bermutu.

Paul E. Steiger, mantan redaktur pelaksana Wall Street Journal, mendirikan majalah nirlaba ProPublica di New York. Majalah ini didanai oleh sumbangan perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan jurnalisme bermutu agar bisnis dan kapitalisme tetap ada yang mengontrol. Charles Lewis, mantan wartawan CBS, mendirikan sebuah organisasi nirlaba, Center for Public Integrity, khusus bikin investigasi kejahatan kerah putih. Lewis memperkenalkan istilah “non-profit journalism.”

Kapitalisme maupun demokrasi membutuhkan jurnalisme. Jurnalisme lahir bersama demokrasi. Demokrasi juga akan runtuh bersama jurnalisme. Beberapa yayasan di Amerika Serikat mendirikan dana khusus untuk membiayai jurnalisme bermutu. Intinya, mereka memberikan beasiswa kepada wartawan dengan reputasi baik, yang hendak mengambil break dan bikin liputan panjang. Bisa investigasi, bisa narasi, bisa pula buku. Ada juga yang break untuk mengajar. Ada Alicia Patterson Foundation (enam bulan hingga setahun, maksimal $35,000), ada Center for Investigative Reporting (hibah untuk biaya transportasi wartawan freelance), Fund for Investigative Reporting (hibah hingga $10,000 untuk non-media besar), The Nation Institute, The Pulitzer Center on Crisis Reporting dan sebagainya.


TUJUAN

- Meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia dengan cara memberi hibah kepada wartawan atau penulis yang hendak menulis serius;
- Membantu masyarakat di Indonesia untuk mendapatkan informasi bermutu lewat penerbitan karya-karya mereka, baik di media mereka sendiri atau lewat situs web.


KEGIATAN

Upaya ini bisa dilakukan secara mandiri, lewat organisasi sendiri, atau bisa juga ditempelkan di organisasi lain, tergantung siapa yang bersedia mendanainya. Saya usul kegiatannya nirlaba.

Kalau dari pengalaman saya meliput, serta mendapatkan hibah, saya kira ia bisa memberikan hibah antara Rp 10 juta, untuk sebuah liputan panjang dengan tenggang waktu sebulan, hingga Rp 300 juta, untuk penulisan buku, untuk setahun hingga 18 bulan. Saya pernah dapat hibah Rp 280 dari Ford Foundation untuk menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism untuk 18 bulan.

Wartawan akan melamar hibah dengan mengisi formulir dan bikin proposal. Ada panitia seleksi yang bekerja independen. Kalau pelamar banyak, mungkin bisa dibuat dua tingkat. Panitia akan rapat setiap empat atau enam bulan sekali. Mungkin bisa disediakan tempat, semacam villa, yang dilengkapi ruang seminar, perpustakaan dan kamar menginap, buat para wartawan dan penulis ini menulis draft final karya-karya mereka.


STRUKTUR YAYASAN

Kalau disetujui dibentuk secara mandiri, saya usul dibikin yayasan, dengan nama Yayasan Tjamboek Berduri untuk Jurnalisme. Tjamboek Berduri adalah nama samaran dari Kwee Thiam Tjing, seorang wartawan Tionghoa di Malang, yang menulis buku Indonesia Dalam Bara dan Api pada masa revolusi 1944-1946. Ini periode yang sulit, penuh gejolak, di Pulau Jawa.

Benedict Anderson dari Universitas Cornell menyebutnya sebagai “... djagoan proza bahasa Melaju jang terheibat sesudah Pramoedya Ananta Toer." Anderson menghabiskan waktu selama hampir 30 tahun untuk mencari tahu siapa nama sebenarnya dari Tjamboek Berdoeri. Ada sebuah blog khusus mencantumkan karya Kwee: http://tjamboek28.multiply.com/

Menurut hukum Republik Indonesia, sebuah yayasan harus memiliki Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus. Saya usul struktur ini diikuti. Mungkin mereka yang bersedia memberikan dukungan finansial diberikan tempat di Dewan Pembina. Mereka yang memberikan wibawa di Dewan Pengawas. Sedang yang mengerjakan manajemen ada di Dewan Pengurus. Karyawan dipimpin oleh seorang direktur.

Operasinya sebaiknya kecil. Saya perkirakan kalau bisa mulai dengan dana Rp 3 milyar, pada tahun pertama, yayasan ini bisa berjalan cukup baik. Biaya operasi sekitar 25 persen dari dana yang dipakai untuk hibah. Namun sambil berjalan, kalau baik, bisa ditingkatkan lebih tinggi.

No comments: