Monday, March 13, 2000

Mengapa Jurnalisme Baru Ompong di Indonesia?

Mengapa kita di Indonesia tidak punya media di mana kita bisa menulis secara panjang? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tidak berkembang dalam dunia media, sastra, seni dan intelektual Indonesia? Atau dengan kalimat perbandingan. Mengapa kita tidak punya majalah semacam The New Yorker? Atlantic Monthly? Harper's?

Pertanyaan ini mengganggu saya sejak semester lalu ketika mengikuti kuliah "non-fiction writing" di Harvard. Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah TIME, Newsweek dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Forum, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, Washington Post, kita juga punya harian sejenis.

Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?

Istilah jurnalisme sastrawi adalah salah satu dari sekian banyak nama buat genre tertentu dalam jurnalisme. Tom Wolfe pada 1960-an memperkenalkannya dengan nama "jurnalisme baru." Ada juga yang memakai nama "narrative reporting". Ada juga yang pakai nama "passionate journalism."

Tapi intinya, genre ini menukik lebih dalam daripada apa yang kita kenal sebagai "in-depth reporting." Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut.

Tulisannya biasanya panjang. The New Yorker bahkan pernah hanya menerbitkan satu laporan hanya dalam satu edisi majalah. Wawancara untuk sebuah laporan bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan, nara sumber. Risetnya juga tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan.

Saya jadi makin penasaran karena bulan ini The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75 secara besar-besaran. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan yang dihadapinya. New York bulan depan akan "dikuasai" New Yorker. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini. Remnick sejak dua tahun lalu menjadi pemimpin redaksi The New Yorker, menggantikan Tina Brown yang hengkang dan mendirikan majalah Talk.

Di Indonesia tentu ada penulis yang punya kegemaran menulis panjang dan bergaya jurnalisme baru. Saya menikmati sekali buku Bondan Winarno, "Sebongkah Emas di Kaki Pelangi" atau artikel-artikel George J. Aditjondro.

Tapi di kalangan penulis yang muda, siapa yang suka menulis lebih dari 20,000 kata? Mereka tumbuh hanya dengan batas 1,000 atau 2,000 kata. Saya pikir gaya begini tidak akan berkembang bila di Indonesia tidak ada media yang menjadi wadah buat perkembangan para penulis muda dengan gaya jurnalisme baru.

Saya bayangkan pada 1940-an hingga 1960-an di Indonesia sebenarnya ada media kecil-kecil yang memberikan kesempatan kepada para kontributornya buat menulis panjang. Mungkin majalah "Sastra" bisa kita masukkan ke dalamnya. Juga majalah "Horizon" bahkan majalah "Senang" yang dulu suka saya baca cerpen-cerpennya. Sekarang pun kita masih memiliki majalah KALAM dan majalah "Basis" (Yogyakarta).

Tapi ukuran mereka sangat kecil dan belakangan justru lebih menjadi majalah pemikiran daripada majalah sastra yang bisa dinikmati orang (relatif) banyak.

Apakah mereka tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena jamannya Orde Baru belum memungkinkan buat gaya begitu? Saya tidak tahu jawabnya secara persis.

Pengamatan saya mungkin keliru. Karena itu memanfaatkan mailing list ini untuk melontarkannya ke hadapan publik yang lebih luas. Saya tahu bahwa di mailing list ini ada banyak akademisi, wartawan dan kalangan terdidik lainnya. Saya ingin menimba dari pemikiran dan pengalaman Anda.

Mon, 13 Mar 2000 18:19:02 mfi@egroups.com
Andreas Harsono aharsono@fas.harvard.edu