Friday, April 25, 2025

Metri W. Harsono Meninggal Dunia di Lawang

Metri Wongso Harsono, ibu saya, meninggal dunia di panti lansia Lawang, kini disemayamkan di Jember, sesudah terkena stroke keenam kali. Dia meninggal dalam usia 82 tahun.

Saya sedang berada di Dubai, Uni Emirat Arab, ikut upacara penghargaan wartawan, Fetisov Journalism Awards, ketika ditelepon adik saya Yohana Harsono dan isteri Sapariah Saturi agar segera balik ke Indonesia. Maka dimulailah perjalanan panjang Dubai-Jakarta-Surabaya-Jember dalam 36 jam.

Ibu saya dikenal dengan beberapa nama: Christina (nama baptis), Tjen Ik Lan (nama lahir, bahasa Mandarin), Tjan Mi Yong (nama versi Melayu sebelum aturan ganti nama masa Orde Baru). 

Dia kelahiran Kalisat pada September 1943, sekolah di Jember dan Surabaya, sesudah menikah, dia tinggal di Jember dan Yogyakarta.

Suaminya, Ong Seng Kiat, papa saya, meninggal pada Juli 2013 di Jember. Mereka memiliki enam anak: Andreas (lahir 1965), Debora (1967), kembar Susanna dan Rebeka (1969 dan Susanna meninggal 2024), Heylen (1977) serta Yohana (1979).

Dia memiliki dementia, perlahan-lahan mengalami penurunan daya pikir dan daya ingat, sampai lupa nama sendiri. Pada Januari 2024, terkena stroke besar sampai tak bisa berdiri, harus berada di ranjang.

Di rumah Jember, sebuah perusahaan home care mendampingi dan merawat ibu saya, namun keadaan jadi berbeda sesudah Susanna, yang mendampingi selama tiga dekade, meninggal November 2024. Tak ada lagi anak yang mendampinginya.

Perjalanan hidupnya sudah selesai. Sakit dan ngilu juga berakhir. May she rests in peace.

Wednesday, April 16, 2025

"Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab"

Pernyataan dibacakan dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza ul Haq di Jakarta. Pertemuan ini dimintakan oleh Forum Berbagi, sebuah pelayanan online buat para korban dan penyintas perundungan jilbab. 



Nama saya, Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, menulis laporan, “I Wanted to Run Away”: Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia terbitan Maret 2021. 

Sejak April 2021, saya ikut bantu Forum Berbagi mendengar keluhan para ibu dan ayah, juga anak-anak mereka, yang mendapat diskriminasi lewat aturan wajib jilbab. 

Idenya datang dari seorang psikolog Bandung dengan puluhan pasien perempuan karena perundungan dan pemaksaan jilbab.

Di Forum Berbagi, kasusnya bermacam-macam. Banyak murid pindah sekolah negeri. Ada yang pindah ke sekolah swasta. Sedihnya, di sekolah negeri kedua ada yang dapat perundungan juga. Ada yang home schooling, frustasi dengan sekolah negeri. Ada guru yang dipindah, ada kenaikan pangkat ditunda atau mengundurkan diri. Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab. Ada ibu dilarang masuk sekolah, ambil rapor, karena tak pakai jilbab. Ada beberapa keluarga terancam kehilangan rumah.  Ada yang pindah daerah. 

Banyak yang merasa cemas. Mereka cemas bila busananya dianggap kurang. Forum Berbagi menganjurkan berobat dengan bantuan psikolog, kadang juga psikiater. Mereka mengalami anxiety. Mereka mengalami trauma. Mereka mengalami body dismorphic disorder. Beberapa korban, perempuan dewasa, yang alami perundungan sejak kecil, masuk rumah sakit jiwa, antara 2 sampai 3 minggu.

Saya sering dapat telepon sesudah tengah malam guna mendengar kekecewaan mereka. Kecewa pada guru. Kecewa pada keluarga. Kecewa pada negara. 

Saya sendiri pada September 2022, minta bantuan psikolog karena sulit tidur. Konsultasi selama dua tahun. Kini kami menjadi lebih kuat secara kejiwaan. 

Saya usul Kementerian pendidikan bergerak lebih sigap buat mengatasi perundungan dan pemaksaan jilbab. Berikan pelatihan kepada para guru. Berikan sanksi kepada pelanggar. Review semua aturan yang memberi peluang perundungan jilbab. 

Di Indonesia, ada sekitar 150,000 sekolah negeri dengan sekitar 53 juta murid. Saya tak bisa bayangkan berapa banyak siswi yang trauma karena aturan wajib jilbab. Mereka seharusnya juga bisa mendapat bantuan dari psikolog, psikiater, minimal hotline service semacam Forum Berbagi. 

Terima kasih.