Wednesday, May 03, 2023

Jalan Sempit dan Berliku Kebebasan Pers di Asia Tenggara

Makin bermutu jurnalisme, makin bermutu masyarakat.

Andreas Harsono

Firdan Haslih/Remotivi


“Media yang bebas, tentu saja, bisa baik dan bisa buruk. Namun tanpa kebebasan pers, media akan selalu buruk.” 
Albert Camus

Pada Juni 1994, pemerintah Indonesia menutup tiga mingguan berita—Detik, Editor dan Tempo—yang memicu protes luas terhadap peraturan soal izin terbit dari pemerintah terhadap semua surat kabar. Ratusan wartawan protes pembredelan tersebut. Mereka menuntut agar Persatuan Wartawan Indonesia minta Presiden Soeharto mencabut keputusan pembredelan. Persatuan Wartawan Indonesia, sebuah organisasi yang tak independen dari pemerintah, mengeluarkan siaran pers, isinya mengatakan bahwa mereka “memahami” keputusan Soeharto.

Lebih dari seratus jurnalis yang geram, termasuk beberapa wartawan senior dan kolumnis, memutuskan untuk melawan pemerintah yang lalim. Saya termasuk salah satunya. Kami berkumpul di sebuah vila di Desa Sirnagalih, Bogor, sekitar dua jam naik mobil dari Jakarta, pada Agustus 1994. Kami bikin deklarasi bahwa kami akan memperjuangkan kebebasan pers dan kesejahteraan awak media. Ia dilakukan dengan organisasi baru: Aliansi Jurnalis Independen.

Kami tidak naif. Kami tahu itu tindakan ilegal karena saat itu pemerintah Indonesia hanya mengizinkan wadah tunggal untuk wartawan. Kami sadar bahwa Departemen Penerangan, polisi, militer, dan Persatuan Wartawan Indonesia akan bertindak menindas kami. Beberapa bulan kemudian, belasan jurnalis yang ikut deklarasi, termasuk saya, kehilangan pekerjaan dan dilarang bekerja untuk media manapun di Indonesia. Polisi bahkan menangkap beberapa jurnalis dan menggiring mereka ke pengadilan. Dan hakim-hakim yang berpikiran sempit, yang hanya berpikir soal kesejahteraan mereka, mengeluarkan vonis hukuman penjara. Sebagian jurnalis memutuskan keluar dari Indonesia.

Namun ia juga babak baru, setidaknya bagi saya, yang membuat kami belajar tentang situasi kebebasan pers di Asia. Saya belajar tentang perlunya ombudsman di ruang redaksi terutama media besar. Jurnalis harus transparan soal motivasi dan metode mereka dalam meliput dan menulis berita. Jika mereka membuat kesalahan, mereka harus lakukan ralat dan minta maaf. Seperti Albert Camus dari Prancis menulis, “Media yang bebas, tentu saja, bisa baik dan bisa buruk. Namun tanpa kebebasan pers, media akan selalu buruk.” 

Pada Januari 1995, Aliansi Jurnalis Independen yang baru berumur lima bulan mendapat undangan mengikuti sebuah konferensi di Hong Kong soal pembatasan pers di Indonesia. Di Hong Kong, saya bertemu dengan banyak jurnalis Asia lainnya, termasuk Jimmy Lai, pemilik Apple Daily di Hong Kong.

Pana Janviroj, pemimpin redaksi harian The Nation di Bangkok, juga bicara di konferensi. Kami kebetulan duduk dalam limousin sama yang disediakan Freedom Forum, organisasi asal Amerika Serikat, yang juga mensponsori pertemuan, dari Hotel Grand Hyatt di Wanchai menuju makan malam mewah dengan Foreign Correspondent Club.

Pana bertanya, “Apakah mau gabung dengan kami?”

Gaji bulanannya hampir lima kali lipat gaji saya sebelumnya, ditambah saya masih bisa menulis untuk surat kabar lain. Tentu saja, saya bilang oke. Tak ada surat lamaran. Tak ada kontrak. Hanya jabat tangan.

Dia minta saya untuk segera terbang ke Bangkok. Dia memperkenalkan saya kepada beberapa editornya: Kavi Chongkittavorn, Sonny Inbaraj, Steven Gan, Yindee Lertcharoenchok serta penyiar televisi mereka Thepchai Yong

Saya mulai mengirimkan laporan pada Maret 1995, bekerja dari Jakarta, kemudian juga dari Phnom Penh, Yangon, dan Kuala Lumpur. Saya tak diberi kuota, hanya diminta menulis minimal sekali seminggu, tetapi kalau ada breaking news, tentu saja, saya menulis banyak. Saya meliput berbagai macam cerita, termasuk Hun Sen singkirkan Norodom Ranariddh di Kamboja, politikus Myanmar Aung San Suu Kyi yang jadi tahanan rumah, krisis ekonomi Asia, serta ketegangan di Timor Leste. Aung Zaw, seorang jurnalis Burma, juga bergabung dengan kami dari Chiang Mai, kebanyakan menulis tentang junta militer di Myanmar.

Di Jakarta, saya mengenal koresponden CNN Maria Ressa, yang meliput kerusuhan tahun 1996 saat pemerintah Presiden Soeharto melakukan manipulasi terhadap partai politik pimpinan Megawati Soekarnopoetri.

Saya mulai bertemu dengan banyak tokoh jurnalisme yang penuh semangat di Asia Tenggara. Sheila Coronel, yang membantu mendirikan Philippines Centre for Investigative Journalism, setuju untuk melatih jurnalis Indonesia di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar pada 1997-1998. Saya juga menikmati persahabatan dengan banyak jurnalis Far Eastern Economic Review di Hong Kong.

Saya bantu mendirikan sejumlah kelompok advokasi hak media, antara lain Institut Studi Arus Informasi bersama Goenawan Mohamad, Isaac Santoso, Yosep Adi Prasetyo dan lain-lain. Di Bangkok, Coronel, Chongkittavorn, dan jurnalis lainnya mendirikan South East Asia Press Alliance atau Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA) pada tahun 1997, untuk memperjuangkan kebebasan pers di kawasan ini.

Krisis ekonomi Asia, yang muncul pada Juli 1997, memicu ketidakstabilan politik, dan kekerasan etnis dan agama di Indonesia, dan secara langsung menyebabkan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Di Thailand, tempat krisis dimulai, terjadi perubahan ekonomi besar-besaran yang sangat mempengaruhi politik dan media. Di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad secara mengejutkan selamat dari krisis, tapi memenjarakan wakilnya, Anwar Ibrahim, dengan tuduhan palsu.

Di Jakarta, pada suatu petang tahun 1999 di sebuah kafe, koresponden BBC Jonathan Head cerita baru saja wawancara Presiden B.J. Habibie dan Habibie setuju dibuat referendum soal status politik Timor Leste. Ini perkembangan luar biasa menarik sesudah Indonesia menduduki Timor Leste sejak 1975. 

Namun tahun itu juga awal periode ketika banyak wartawan di Indonesia, termasuk saya, menyaksikan kekerasan sektarian dan komunal berskala besar, yang menewaskan sekitar 90.000 orang. Mulai dari pembunuhan massal terhadap orang Madura di Kalimantan sampai kekerasan sektarian di Kepulauan Maluku plus kekacauan di Timor Leste setelah referendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-bangsa.

Media menghadapi banyak tantangan dengan krisis ekonomi Asia Tenggara. Mereka kehilangan iklan, anggaran ruang redaksi berkurang, serta berhadapan situasi politik yang rumit, baik di ibu kota maupun di berbagai provinsi, seperti Papua di Indonesia, ketika gerakan kemerdekaan memicu kekerasan, atau Pontianak dengan kekerasan antar-etnik. Media, seperti banyak bisnis lain, harus bekerja keras. Tapi teman-teman media saya, yang menjadi pelopor kebebasan media di kawasan ini, tetap bertahan.

Dua Puluh Tahun Kemudian

Selama dua dekade terakhir ini, kami jalani kehidupan masing-masing di tempat berbeda. Steven Gan, kembali ke Kuala Lumpur, mendirikan Malaysiakini. Santoso mendirikan jaringan radio KBR, membagikan konten berita jaringannya ke lebih dari 700 stasiun radio di seluruh Indonesia. 

Maria Ressa menulis buku tentang jaringan teror Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara dari Singapura dengan beasiswa. Dia kemudian mendirikan situs web berita Rappler di Filipina, dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian atas keberaniannya dalam membela kebebasan pers. Aung Zaw memindahkan operasi majalah Irrawaddy miliknya, dari Chiang Mai ke Yangon. Kemudian setelah kudeta militer Myanmar pada Februari 2021, memindahkannya kembali ke pengasingan. Di Jakarta, Goenawan Mohamad menerbitkan kembali majalah Tempo. Berbagai organisasi ini berusaha hasilkan jurnalisme yang bermutu. Dan teman-teman saya menjadi wartawan yang meraih berbagai penghargaan.

Aung San Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumahnya di Myanmar, yang mendorong Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengunjungi Yangon pada November 2012. Saat itu, Obama memuji reformasi di Myanmar. Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi memenangkan pemilihan umum 2015.

Namun mulai 2012, naluri sektarian dan rasialis, bukan sesuatu yang baru, muncul lagi di Myanmar, dengan seruan kebencian anti-Muslim menyebar terutama di negara bagian Rakhine, menyasar orang Rohingya dan minoritas Muslim lain. Ujaran kebencian di media sosial memicu serangan terhadap Muslim lainnya di Myanmar tengah dan utara pada 2013. Lalu pada Agustus 2017 dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan genosida oleh militer Myanmar terhadap etnik Rohingya.

Kekerasan di Myanmar juga memperlihatkan cara baru untuk berbagi informasi, tepatnya, informasi berisi kebencian dan kebodohan, yakni lewat media sosial. Di Myanmar, media sosial terpenting adalah Facebook hingga kebodohan dan kebencian ini paling sering disalurkan lewat Facebook. 

Perubahan cara orang mencari dan menerima informasi juga jadi tantangan bagi media-media berita di Asia Tenggara.

Google, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan perusahaan media sosial lain menjadi tantangan serius bagi popularitas dan pengaruh media tradisional. Perusahaan-perusahaan teknologi ini mengubah cara orang Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan lainnya di Asia Tenggara, serta di seluruh dunia, dalam mengkonsumsi informasi. Banyak konsumen ini masih perlu belajar membedakan antara berita, yang dibuat dengan verifikasi, versus propaganda, yang dibuat dari berbagai pihak yang punya kepentingan, dan tak sepenuhnya memahami proses riset, pemeriksaan fakta, penulisan, dan tinjauan editorial dari jurnalisme yang bermutu.

Kenyataannya, jurnalis bukan lagi penjaga gawang berita. Mereka kehilangan peran untuk membantu menentukan informasi dan peristiwa apa yang harus sampai ke publik, dan apa yang tidak. Dengan media sosial, setiap orang sekarang menjadi redaktur dan manajer sirkulasi mereka sendiri. Dewan Pers memperkirakan Indonesia sekarang memiliki 47.000 “organisasi media”—sebagian besar hanya situs web berbasis “jurnalis warga.” Angka ini menunjukkan peningkatan luar biasa dari sekitar 1.000 organisasi media formal pada tahun 1998.

Di Indonesia, media sosial juga membantu mengobarkan kebodohan dan kebencian. Intoleransi melanda Indonesia. Minoritas agama termasuk Kristen, Hindu, Buddha, maupun Ahmadiyah dan Syiah, serta penganut agama lokal dan pengikut agama baru seperti Millah Abraham, menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan. Diskriminasi terhadap perempuan dan LGBT juga meluas.


Pada Mei 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghukum mantan Gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Purnama, seorang Kristen, dua tahun penjara karena “penodaan agama Islam.” Ahok dituduh menodai agama Islam saat pemilihan gubernur Jakarta. Lebih dari 150 orang dipenjara karena penodaan agama di Indonesia pasca-Soeharto. Peningkatan yang sangat besar dari hanya 10 kasus dalam tiga dekade.

Reporters Without Borders, sebuah organisasi pemantau kebebasan pers di Prancis, sejak 2002 menerbitkan indeks kebebasan pers di seluruh dunia, dan selama dua dekade terakhir, setiap tahun mencatat penurunan kebebasan pers di Asia Tenggara.

Pada 2022, Myanmar tetap yang terburuk dari sebelas negara di kawasan ini. Menariknya, Timor Leste, negara-bangsa paling muda, adalah negara yang paling bebas, bahkan tak memiliki pasal pidana pencemaran, meskipun, seperti yang berulang kali dikeluhkan Presiden Jose Ramos-Horta, masih hadapi kesulitan untuk bergabung dengan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations, ASEAN). Secara umum, sepuluh negara lainnya menjadi lebih buruk termasuk Laos, negara dengan kediktatoran partai tunggal, yang entah kenapa, tak diperhitungkan oleh Reporters Without Borders.

Thailand, yang tak seperti negara-negara lain di kawasan ini, tak pernah mengalami kolonialisme Barat, turun dari urutan ke-66 pada 2002 menjadi ke-115 pada 2022. Artinya? Thailand tak serta-merta memiliki infrastruktur hukum yang lebih baik dari negara-negara bekas koloni Eropa seperti Malaysia, Filipina, atau Vietnam, yang memakai sistem hukum ala Uni Soviet.

Thailand masih mempertahankan hukum lese majeste “untuk melindungi” monarki, termasuk raja, ratu, putra mahkota, dan wali—dari pencemaran nama. Hukumannya, tiga sampai 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran, dan mereka yang dituduh selalu berada dalam penahanan yang lama.


Jadi mengapa kebebasan pers, dan juga demokrasi, tak menguat di Asia Tenggara seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi?

Peringkat Filipina turun drastis dari nomor 90 pada 2002 menjadi peringkat 147 pada 2022. Indonesia masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, seorang pejuang demokrasi, mencapai peringkat ke-57 pada 2002. Sekarang, Indonesia berada pada peringkat 117.

Sistem politik dan tradisi winner take all, yang lazim di kawasan ini, tentu saja merupakan satu faktor. Thailand mengalami apa yang disebut persaingan Kaos Merah versus Kaos Kuning sejak 2006 dengan serentetan kekerasan. Pada 2014, Panglima Angkatan Darat Prayut Chan-o-cha melakukan kudeta setelah satu dekade persaingan ini.

Di Singapura, People’s Action Party pimpinan Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang terus memerintah negara itu sejak perpisahan pahit dari Malaysia pada 1965, memiliki peraturan yang memungkinkan pemerintah untuk langsung menunjuk editor dan redaksi perusahaan media terkemuka. 

Di Malaysia, status dan kegiatan sembilan kesultanan Melayu di Semenanjung Malaka adalah masalah peka bahkan sakral. Segala komentar yang dianggap kritis terhadap kesultanan dapat mengakibatkan tuntutan dan hukuman berat. Ia mendorong swasensor. Politisi biasa pakai peraturan untuk membatasi kerja wartawan.

Di Kamboja, transisi demokrasi, sejak 1992 dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memungkinkan munculnya pers yang bermutu. Ia berakhir ketika Perdana Menteri Hun Sen bikin gerakan buat menindas para wartawan. Peringkat Kamboja turun dari 71 pada 2002 menjadi 142 pada 2022.

Kudeta adalah faktor paling merusak kebebasan pers. Banyak negara di Asia Tenggara akrab dengan kudeta. Militer Myanmar melakukan kudeta pada Februari 2021. Ia mengakibatkan meluasnya kekerasan terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta, bersamaan dengan tekanan besar-besaran terhadap jurnalis.

“Ketika kudeta terjadi, industri media Myanmar terjerembab masuk jurang kegelapan,” ujar seorang wartawan Myanmar pada pembukaan film, “Walking Through the Darkness.” Film ini cerita bagaimana para jurnalis Myanmar melarikan diri dari kota-kota setelah kudeta dan bekerja di daerah-daerah yang dikuasai organisasi-organisasi etnis atau di pengasingan di Thailand, untuk tetap bekerja, menulis dan mengeluarkan berita.

“Penguasa militer, boleh suka, boleh tidak suka, kepada pekerjaan kami, namun jurnalisme diperlukan masyarakat, perannya sangat penting,” kata jurnalis lainnya. “Jurnalis harus bisa tetap lakukan pekerjaan.”

Tampaknya, beberapa tokoh dunia, termasuk Barack Obama, terlalu optimistis dengan masa depan Myanmar. Terutama, daya tahan pemerintahan demokratis dan kebebasan pers di Myanmar, ketika mereka berhadapan dengan junta militer, yang kerap melanggar hak asasi manusia, dan percaya militer ditakdirkan untuk memegang kekuasaan.

Namun, beberapa negara menunjukkan kemajuan. Malaysia memilih pemerintahan reformis untuk periode dua tahun, yang umurnya singkat, namun berhasil menjebloskan mantan perdana menteri Najib Razak ke penjara karena korupsi.

Asia Tenggara selama berabad-abad selalu menjadi kawasan di mana persaingan global bergesekan. Ketika kekuasaan yang jauh lebih besar menegaskan pengaruhnya, dari berbagai kesultanan Islam di Timur Tengah hingga berbagai dinasti di Tiongkok, dari kekuatan Eropa hingga pengaruh India. Kini, Asia Tenggara adalah ajang persaingan dua ekonomi terbesar di dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Laut Cina Selatan merupakan titik panas persaingan Tiongkok dan Amerika Serikat.

Tiongkok membuat takut jurnalis Hong Kong dengan tindakan represif. Tak mengherankan kalau peringkat Reporters Without Borders untuk Hong Kong, sebagai negara dengan peringkat terbaik ke-18 pada 2002, kini turun ke peringkat ke-148 dari 180 negara. 

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, rupanya belum mengetahui bahwa dalam jangka panjang, kebebasan pers punya kaitan dengan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.

Polisi Hong Kong menangkap Jimmy Lai dari Apple Daily pada Desember 2021. Dakwaannya, mengada-ngada. Penangkapan Jimmy Lai adalah simbol merosotnya kebebasan pers di Hong Kong. 

Saya ingat Jimmy Lai menjabat tangan saya pada pertemuan 1995. Dia menyampaikan salam kepada teman-teman saya di Jakarta, yang baru saja mendirikan Aliansi Jurnalis Independen dan memperjuangkan kebebasan media di Indonesia.

Infrastruktur hukum memainkan peran penting dalam membatasi kebebasan pers di Asia Tenggara. Di Indonesia, pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap minoritas agama, gender maupun seksualitas, difasilitasi oleh infrastruktur hukum. Misalnya, pada 2006, pemerintah mengeluarkan aturan dengan istilah “kerukunan umat beragama.” Praktiknya, aturan ini membuat “mayoritas” punya hak veto terhadap “minoritas.” Ia membuat ribuan rumah ibadah diganggu, ditutup, bahkan dibakar, paling banyak tentu saja gereja-gereja Kristen—sebagai minoritas paling besar di Indonesia. Banyak wartawan Indonesia sulit memisahkan agama dan profesinya—sama dengan Myanmar.

Di Vietnam, Partai Komunis Vietnam monopoli kekuasaan politik dan tak membolehkan siapa pun menentang para tokoh partai. Hak-hak dasar, termasuk kebebasan berbicara, berpendapat, pers, berserikat, dan beragama, dibatasi. Aktivis hak asasi manusia dan blogger menghadapi pelecehan, intimidasi, penyerangan fisik, dan penjara. 

Negara Vietnam mengontrol semua media. Partai Komunis membuat media menjadi “suara partai, organ negara, dan organisasi sosial.” Departemen propaganda milik Partai Komunis Vietnam rapat setiap minggu di Hanoi untuk memastikan bahwa tak ada hal yang tak mereka sukai muncul di media. Hakim-hakim pengadilan, yang dikontrol partai, menghukum penjara banyak jurnalis independen, termasuk Pham Doan Trang, Pham Chi Dung, Nguyen Tuong Thuy, dan lainnya.

Laos juga dikuasai partai komunis. Di Laos, tak mungkin untuk wartawan menjalankan media independent. Pemerintah menindak keras organisasi atau individu yang berani mengkritik Partai Revolusioner Rakyat Laos maupun pemerintah. Buruh migran, yang mengkritik pemerintah Laos saat mereka bekerja di Thailand, bisa ditangkap dan dihukum 15-20 tahun penjara ketika kembali ke Laos.

Di Singapura, dua grup media memiliki hampir semua media cetak, radio, dan televisi. MediaCorp perusahaan negara. Singapore Press Holdings, seharusnya dimiliki beberapa orang, tapi direksinya ditunjuk pemerintah. Menariknya, New Naratif, sebuah media alternatif, muncul dari Singapura tapi sudah dapat gangguan. The Online Citizen, media alternatif lain di Singapura, sudah tutup lewat tuntutan hukum sehingga pindahkan badan hukum mereka ke Taiwan.

Di Manila, Presiden Rodrigo Duterte menutup ABS-CBN, jaringan televisi terbesar kedua di Filipina, pada 2020. Untungnya, ABS-CBN terus siaran secara daring. Berbagai kasus hukum terhadap Maria Ressa dan rekan-rekannya di Rappler tampaknya dipakai untuk menutup situs berita tersebut. Kini belum ada tanda-tanda bahwa keadaan akan menjadi lebih baik di bawah presiden baru, Ferdinand Marcos Jr., putra mendiang diktator Filipina.

Konteks sosial budaya menciptakan banyak hambatan. Di Malaysia, media berbahasa Melayu, yang dibaca oleh mayoritas warga Malaysia, sering dikenakan sensor melebihi rekan-rekan mereka yang berbahasa Inggris, Mandarin atau Tamil. 

Di Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim, isu-isu yang berhubungan dengan Islam seperti pindah agama, wajib jilbab, pernikahan anak, dan penodaan agama, merupakan hal tabu hingga saat ini. Menariknya, media Indonesia makin giat meliput kekerasan seksual dan kejahatan lainnya di pesantren dan sekolah agama.

Sayangnya, banyak media Indonesia memberikan banyak kelonggaran dengan tak meliput secara teratur bagaimana peraturan berbagai daerah, atas nama syariah Islam, membatasi hak asasi manusia. Kini Indonesia memiliki lebih dari 700 peraturan, dibuat atas nama Syariat Islam, yang mendiskriminasi minoritas agama, gender—termasuk aturan wajib jilbab—dan seksualitas. Ini belum termasuk pasal-pasal karet di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan berbagai hukum lain. 

Pedoman bagi wartawan Indonesia seyogyanya UUD 1945. Ia tersurat menjamin kebebasan beragama, hak berserikat, mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia. Indonesia, dan negara-negara lain di Asia Tenggara, seyogianya menghapus pasal-pasal karet yang dipakai buat pidana pencemaran. Sepuluh negara Asia Tenggara ini perlu belajar dari Timor Leste.

Saya kira penting diketahui bahwa semua negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah ratifikasi berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Berbagai konvensi internasional ini memberikan pedoman internasional yang seyogianya diikuti wartawan buat mencari kebenaran fungsional. Standar international ini jauh lebih baik daripada kebanyakan hukum nasional, misalnya, soal pidana pencemaran di negara masing-masing. 

Saya jadi mengerti setelah bekerja di Bangkok, Kuala Lumpur, Phnom Penh dan Jakarta, bahwa Asia Tenggara adalah kawasan rumit yang sangat beragam, secara bahasa, ras, agama, budaya dan sejarah. Di kawasan ini ada negara mayoritas Muslim seperti Brunei, Malaysia, dan Indonesia. Ada juga negara mayoritas Buddha seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand. Filipina dan Timor Leste adalah negara mayoritas beragama Kristen. Ada juga negara komunis seperti Laos dan Vietnam. 

Asia Tenggara, beda dengan Afrika dan Amerika Latin, secara tradisional tak memiliki bahasa kolonial yang dapat digunakan negara-negara itu untuk berkomunikasi satu sama lain. Malaysia, Singapura, Myanmar, dan Brunei bekas koloni dengan bahasa Inggris. Vietnam, Laos dan Kamboja punya bahasa Perancis. Indonesia, tentu saja, punya banyak dokumentasi dalam bahasa Belanda. Orang-orang di Asia Tenggara sulit komunikasi satu dengan yang lain karena tak punya bahasa yang dimiliki bersama. 


Kedua wartawan ini tidak naif. Mereka mengerti bahwa Hadiah Nobel takkan mengubah situasi di negara masing-masing. Muratov menutup sendiri surat kabar Novaya Gazeta miliknya setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Muratov sadar bahwa aturan baru di Rusia membuat awak redaksinya bisa jadi masuk penjara. Maria Ressa masih berhadapan dengan dakwaan dari kasus-kasus buatan Presiden Duterte serta antek-anteknya.

Saat menerima Nobel, Maria Ressa memberikan pidato di Oslo, “Tanpa fakta, Anda takkan mendapatkan kebenaran. Tanpa kebenaran, Anda takkan mendapatkan kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kita takkan bisa memiliki realitas bersama, takkan ada demokrasi, dan menjadi mustahil menangani tantangan kemanusiaan zaman ini: perubahan iklim, virus corona, dan sekarang, perjuangan demi kebenaran.”

Ressa menyerukan dukungan yang lebih besar untuk jurnalisme independen, untuk perlindungan jurnalis, dan meminta pertanggungjawaban dari negara-negara yang memberangus wartawan.

Di Jakarta, saya sering mengatakan makin bermutu jurnalisme, makin bermutu masyarakat. Sebaliknya, makin tidak bermutu jurnalisme, makin tidak bermutu masyarakat.

Pesan ini sangat jelas. Kalangan bangsawan, pengusaha, ulama, kepala suku, pejabat pemerintah, jenderal, dan tokoh masyarakat sipil di Asia Tenggara seyogianya mengerti bahwa mutu masyarakat ditentukan oleh mutu jurnalisme. Dua dekade sudah berlalu sejak krisis ekonomi Asia, dan kesimpulan soal pentingnya kebebasan pers semakin jelas. Asia Tenggara harus memajukan kebebasan pers dan menghapus semua pasal karet bila tak mau mengulangi moral hazard pada 1997. 

Ini adalah satu-satunya jalan untuk maju.

 

Makalah ini dipresentasikan dalam Bahasa Inggris pada Deutscher Orientalistentag ke-34 yang diadakan di Free University Berlin pada 15 September 2022. Edisi Bahasa Inggris diterbitkan Human Rights Watch dengan judul, “The Rocky Road to Press Freedom in South East Asia.”

Monday, May 01, 2023

Belajar Radikalisme dari George J. Aditjondro

Seorang intelektual publik, kelahiran Pekalongan di Pulau Jawa, malang melintang di seluruh Indonesia, menulis dan mencoba menerangkan berbagai tantangan dari Aceh sampai Timor Timur.

Andreas Harsono


George Junus Aditjondro di Salatiga pada 1989.

Pada 1989, George Junus Aditjondro mulai mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, setelah dapat gelar master Universitas Cornell, New York, sambil melakukan penelitian doktoral soal protes terhadap pembangunan waduk Kedung Ombo. 

George, yang sebelumnya tinggal di Jayapura, Papua, memilih Salatiga karena dekat dengan Kedung Ombo –meliputi tanah di tiga kabupaten: Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Dia juga kenal Salatiga karena pernah kuliah teknik elektro pada 1969-1971. Orangnya brewokan, model perut buncit, suka jalan pakai selendang tenun, dan gemar bergurau. 

Saya jadi salah satu mahasiswa, kebetulan juga teknik elektro, yang beruntung bisa ngobrol dan belajar dari George –baik di rumahnya, yang dekat dengan kost saya, maupun di kantornya, di kampus. 

Dia sering ngobrol sambil menggunting kliping koran. Ini salah satu kebiasaannya: bikin tumpukan kliping. Dia menyimpan data bukan saja soal Kedung Ombo tapi iklan perusahaan maupun pengumuman kematian. Ia berguna buat bangun database. Kelak database ini berguna untuk mengusut harta kekayaan keluarga Presiden Soeharto. 

Di Salatiga, saya bertemu George setidaknya seminggu sekali, bila tidak lebih, sampai Oktober 1993 ketika saya pindah ke Jakarta. George tetap di Salatiga ketika gonjang-ganjing kampus merebak dengan pemecatan koleganya, Arief Budiman, pada 1995. George sendiri lantas pindah ke Newcastle, Australia. Walau di Jakarta, saya praktis membaca semua makalah dan buku George, maupun Arief Budiman. Mereka dua dari sekian intelektual yang ada di Salatiga. 

Radikalisme dalam gerakan

Salah satu pelajaran penting dari George adalah "teori radikalisme." Ini bukan gerakan dengan kekerasan. Dia kagum dengan gerakan non-kekerasan ala Mahatma Gandhi di India maupun Martin Luther King di Amerika Serikat. Radikalisme, menurutnya, gerakan perubahan dengan mengubah akar masalah tanpa kekerasan. Dalam bahasa Latin, “radix" artinya akar. 

Misal, soal pangan. Merauke jadi lokasi transmigrasi dan persawahan padi. Padahal Papua punya sagu dan ubi, kata George. Orang Papua harus berani melawan gerakan beras dengan mengembangkan sagu dan ubi. Makanan ini perlu dikembangkan bukan saja berguna buat orang asli Papua juga berbagai daerah lain di Indonesia –mengurangi keseragaman, mengurangi ketergantungan pada terigu, beras, kedelai dan lainnya. Dia bicara soal bahan pangan lain, lusinan nama disebut, termasuk sorghum, singkong, jagung, jali-jali. 

Kami terlibat pembicaraan soal penyelesaian kasus waduk Kedung Ombo. Pada 1990, setahun sesudah pintu air dibuka, persoalan ganti rugi tanah di wilayah genangan belum tuntas. Masih ada sebagian warga tetap bertahan di wilayah genangan. 

Persoalan Kedung Ombo muncul karena ada keperluan energi listrik dalam jumlah besar. Karena perlu listrik maka dibuatlah sebuah dam raksasa. Ada banyak tanah rakyat harus digenangi air. Proses pembebasan tanah kacau, sehingga muncullah perampasan tanah, intimidasi, penahanan sewenang-wenang dan lain-lain. Dasarnya tetap sama: keperluan energi. 

Dalam kerangka seperti inilah ada Kelompok Solidaritas Kurban Pembangunan Kedung Ombo. Ia  adalah jaringan mahasiswa di Pulau Jawa yang protes soal penggusuran di Kedung Ombo. Saya ikut mendirikan KSKPKO serta demontrasi dekat pintu air di Boyolali. 

George mengatakan, KSKPKO bisa menjadi lebih mengakar dengan langsung mempersoalkan masalah energi di Indonesia. Kenapa harus membangun pusat pembangkit listrik yang tersentralisasi?

Dia memberi contoh soal Oxford Committee for Famine Relief (OXFAM), yang dibuat di Inggris pada 1942 ketika Yunani sedang dilanda kelaparan. Pada 1941, setidaknya 300 orang meninggal dunia kelaparan setiap hari di Yunani. Ada blokade sekutu, termasuk Inggris, yang bikin pendudukan Itali terhadap Yunani dapat perlawanan. Namun rakyat Yunani makin susah. OXFAM ikut usaha internasional agar orang-orang Yunani bisa dapat bahan makanan dan blokade dibuka buat kemanusiaan. 

Sesudah Perang Dunia II berakhir pada 1945, persoalan kelaparan bisa diatasi. Para aktivis OXFAM berpikir persoalan kelaparan itu sudah reda, namun kelaparan di Yunani terjadi karena tidak adanya kerja sama ekonomi yang baik di dunia ini. Persoalan kelaparan terkait erat dengan persoalan lain, bukan hanya di Yunani dan Inggris, juga di negara-negara lain. 

Mumpung sudah ada organisasi, perhatiannya kemudian dicurahkan pada negara-negara Dunia Ketiga, yang juga mengalami kepapaan. Jadi, tujuan organisasi itu diperluas. Kini,  OXFAM punya kantor di Addis Ababa, Oxford, Brussels, Geneva, New York, Moscow dan Washington DC. Ia terus-menerus bikin riset dan advokasi soal ketidakadilan di dunia. 

Demikian juga dengan KSKPKO. Persoalan Kedung Ombo bisa saja dianggap reda tapi jaringan ini masih ada. Kenapa tak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang? Mengatasi persoalan-persoalan energi, misal? Ini perlu dan penting karena manusia tak bisa hidup tanpa energi. 

George menyebut, pendekatan Kedung Ombo yang banyak dipakai pada 1990an –termasuk dari pastor Y.B. Mangunwijaya serta jaringan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) adalah "palang merah" --pengobatan, darurat. Gerakan ini diperlukan. George usul gerakan ditambah dengan pendekatan "palang pintu" agar tantangan dasar dihadapi lebih awal, dicegah menjadi persoalan, daripada sudah jadi masalah berdarah-darah. Pencegahan bisa lebih efektif daripada pengobatan. 

Makan, minum, listrik, transportasi, teknologi dan sebagainya memerlukan energi. Makin tahun persoalan energi di Indonesia akan menjadi makin ruwet. Ia akan tambah ruwet lagi mengingat terbatasnya cadangan minyak bumi dan gas di sudut bumi manapun  juga. George bilang sangat perlu pendekatan palang pintu. 

Bekerja dengan para sais dokar

Diskusi lain dengan George adalah lingkungan hidup. Dia sering bicara “local action, global concern.” Saya tak tahu darimana semboyan ini berasal tapi George menekankan bahwa aktivis perlu punya kesadaran global tapi bertindak lokal. 

Perjuangan hak asasi manusia, termasuk demokrasi, harus dilengkapi dengan perjuangan lingkungan hidup. 

Di Jakarta, dia ikut mendirikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada Oktober 1980 ketika bekerja di Sekretariat Bina Desa –sesudah berhenti sebagai wartawan majalah Tempo. George berperan dalam menolak proposal agar Walhi didirikan sebagai onderbouw dari Partai Golongan Karya. Dia ingin Walhi jadi lembaga swadaya masyarakat. Ide George dianggap cocok dan Walhi berdiri sebagai organisasi independen. 

Kesadaran local action inilah yang ikut mendorong beberapa aktivis mahasiswa Salatiga ikut bantu tukang becak dan sais dokar buat memperkuat organisasi-organisasi mereka. George membagikan makalah-makalah Michael Replogle, ketua Institute for Transportation and Development Policy, yang bermarkas di Washington. 

Replogle bilang di negara–negara Dunia Ketiga sedang berkembang krisis transportasi. Ia disebabkan oleh laju urbanisasi dan ketidaksepadanan antara infrastruktur, pelayanan dan teknologi transportasi dengan keperluan bergerak (mobility needs) penduduk Dunia Ketiga, yang rata–rata pendapatannya rendah. 

Krisis terjadi karena kebijaksanaan pembangunan transportasi menganakemaskan motorisasi dan meminggirkan moda transportasi berbiaya rendah dan tak bermesin. Padahal, jenis transportasi ini, termasuk becak, memainkan peran sangat menentukan bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. 

Salah satu bentuk krisis tersebut adalah penggusuran becak di Jakarta, Semarang, Surabaya dan daerah lain. Padahal, ada begitu banyak sarana transportasi. Dari mobil pribadi sampai bis umum. Kapal api sampai perahu. Pedati sampai dokar. Sepeda, pejalan kaki, kereta api, pesawat terbang, becak dan sebagainya. Namun, keanekaragaman itu enggan dikembangkan. Replogle menganjurkan sustainable transportation dengan kereta api menjadi tulang punggung transportasi di semua kota. 

Di Salatiga, dokar disingkirkan sejak 1989. Di Jember, kota kelahiran saya, pedati sapi dipinggirkan sejak 1980an. Di berbagai kota di Jawa yang mulai membesar, pedati dan dokar selalu jadi sasaran utama pengusiran dengan alasan kebersihan. Padahal, kotoran kuda dan sapi mudah diatasi dengan bagor kotoran. Kusir yang melanggar diberi sanksi. 

Kalaupun tahi itu kotor, bagaimana dengan knalpot kendaraan bermotor yang membuat langit bolong? Bagaimana dengan industri mobil dan industri perminyakan yang merusak lingkungan hidup? Tambang-tambang raksasa menggerogoti bumi. Sayangnya, pedati dan dokar itu selalu diganti oleh kendaraan bermotor: Honda, Yamaha, Daihatsu, Suzuki, Toyota dan lain-lain.

Padahal kepemilikan mobil pribadi –lembu suci kapitalisme, kata sebagian peneliti– di negara–negara kapitalis pun sudah dipandang sebagai suatu bentuk ekstrim pemborosan energi. Bahkan di Amerika Serikat, negara yang mengembangkan jalan tol serta lembu suci tersebut, masyarakat sudah tak bisa lebih lama lagi menghabiskan energi dan merusak lingkungan hidup. 

Pada Januari 1991, saya bantu puluhan sais dokar mendirikan Persatuan Sais Dokar dengan badan hukum perkumpulan. Ada tokoh-tokoh sais bermunculan: Achmadi, Sukardi, Yoso Dumeri, Suwarno, Wagimin, Pitoyo.  

Dari Salatiga, mereka mengembangkan ketrampilan organisasi –advokasi, manajemen dan public relations— dengan bikin acara pawai dokar buat wisuda berbagai sekolah, mengatur pembuatan kompos dari tahi kuda, dan mengusahakan terminal dokar yang baik. Semua dokar wajib pasang bagor. Pemerintah Salatiga akhirnya memberikan sebidang tanah depan rumah sakit umum Salatiga sebagai terminal. Di sana dibangun biogas sehingga warung-warung makan bisa nyalakan kompor dari penampungan tahi kuda. 

Saya praktis tinggal di terminal dokar setiap hari. Ada les bahasa Inggris dibikin buat anak para sais. Beberapa mahasiswa mengajar bahasa Inggris. Lantas ada anak-anak lain ikutan. Mereka diantar jemput dengan dokar. 

Anak-anak senang sekali naik dokar. Sekarang saya masih sering disapa anak-anak, tentu sudah dewasa semua, yang dulu belajar bahasa Inggris dengan “Om Andreas.” Mereka punya kenangan indah dengan dokar. 

George tampaknya senang dengan kinerja para sais dokar. Dia rekomendasi saya agar ikutan program jalan-jalan ke Jerman yang diselenggarakan Gita Pertiwi dari Solo pimpinan Candra Kirana. 

Tujuannya, seperti disebutkan Peter Franke, koordinator South East Asia Information Centre dari Bochum, “The study program intends to give a group of Indonesians an insight in ecological and environmental enterprises, living areas and ecological institutions as well as an information exchange with German farmers, organisers of ecological project etc.”

Jadilah saya pergi ke Bochum, Karlsruhe, Bonn, Cologne, dan Berlin pada November-Desember 1991. Saya juga menginap di rumah petani di Trier. Pasangan suami-isteri, yang jadi tuan rumah kami, juga politisi Die Gruenen atau “Partai Hijau.” Die Gruenen menjadikan lingkungan hidup, juga feminisme, sebagai platform partai. Si isteri anggota parlemen Eropa mewakili Die Gruenen

Saya juga pergi ke Amsterdam, Leiden dan Den Haag –dengan sisa uang saku—dan bertemu dengan orang-orang Indonesia yang tak bisa kembali karena dituduh komunis. Ia perjalanan pertama saya keluar dari Indonesia. Ia membuka pandangan saya soal energi, transportasi, politik, media dan lainnya. 

Saya jadi lebih mengerti soal pembunuhan massal, diskriminisasi, serta kekacauan besar, yang terjadi akibat dari kampanye dan propaganda anti-komunisme di Indonesia. Saya bikin serangkaian laporan buat harian Suara Merdeka (Semarang) dan Bernas (Yogyakarta).

Pada Juli 1992, George meraih gelar doktor dari Cornell University. Tesisnya setebal 400 halaman soal Kedung Ombo. Saya diberinya kesempatan baca tesis tersebut. Pembimbingnya, David Deshler, Benedict Anderson, dan Frederick H. Buttel. 

Anderson adalah intelektual publik yang terkenal secara global. Dia dikenal karena dianggap berhasil menerangkan nasionalisme serta nation-state dengan baik sekali dalam buku Imagined Communities

Saya sendiri lulus dari Satya Wacana pada 1991, sempat bekerja setahun di Semarang, sambil tetap bantu Persatuan Sais Dokar. Saya tak kerasan di Semarang. George usul kerja di Phnom Penh. Selama tiga bulan saya liputan di Kamboja soal pemerintahan Khmer Merah. Saya ingin bekerja penuh waktu dengan sais dokar di Salatiga serta menulis soal transportasi berkesinambungan. Tapi struktur keuangan Persatuan Sais Dokar belum kuat. 

Saya mengobrol dengan George. Dia usul saya jadi wartawan. Saya ikuti nasehat George. Saya pun pindah ke Jakarta pada 1993, bekerja buat The Jakarta Post

Marxism dan agama

George Junus Aditjondro suka bergurau tentang nama pemberian orang tuanya. Dia datang dari tiga peradaban: 

George (Kristen dan Barat)
Junus (Islam dan Arab)
Aditjondro (Jawa, Sansekerta dan Hindu). 

Ayahnya Harjono Aditjondro, priyayi Jawa dari Solo, Muslim, Kejawen, belajar hukum di Leiden, berkawan dengan Mohamad Hatta pada 1920an, yang kelak jadi proklamator kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945. Harjono sendiri jadi hakim di kota-kota kecil di Indonesia. 

Ibunya, Johanna Sophie de Goege, seorang Belanda dari Den Haag, Katolik, dan kelas menengah. Mereka bertemu di Belanda dan menikah pada 1942 di Jawa, zaman pendudukan Jepang. 

Dalam keseharian, saya biasa memanggilnya, “Mas Junus.” Kebanyakan kawan memanggil, “George.” Kesempatan resmi, dia dipanggil, “Mr. Aditjondro.” 

Dia santai saja dengan ketiga beradaban tersebut. Mereka tak harus berlawanan satu sama lain tapi campuran, saling membentuk, dipilih mana yang disuka, dipinggirkan mana yang tak cocok. Dia berpendapat identitas seseorang bukan zero sum game. 

Banyak orang Muslim Jawa, juga berbagai suku lain di Indonesia, ziarah kubur tanpa harus merasa bukan Islam. Budaya pesantren tentu bukan hanya peradaban Arab. “Bahasa Indonesianya adalah sekolah,” katanya, terkekeh. Dia biasa duduk dalam misa gereja Katolik tapi juga ikut tahlilan. 

Urusan agama di Kartu Tanda Penduduk di Indonesia memang merepotkan karena agama dijadikan identitas tunggal. Alasan bahwa kolom agama diperlukan saat pemakaman terlalu menyederhanakan persoalan. Lebih banyak orang dimakamkan oleh keluarganya daripada meninggal tanpa keluarga. Kolom agama ini baru muncul pada 1978.

George juga menambah identitasnya dengan Neo Marxisme. Dia belajar dari Franz Fanon (psikiater dan filsuf asal Martinique), Antonio Gramsci (wartawan, penulis, filsuf, politikus asal Itali), dan Rosa Luxemburg (penulis, filsuf, aktivis etnik Polandia, warga negara Jerman). 

Dia merasa pendekatan kelas ala Karl Marx belum cukup buat menerangkan peranan agama dan budaya dalam peningkatan mutu manusia. 

Di Salatiga, George sering berdebat dengan Arief Budiman, yang belajar Marxisme di Universitas Harvard, serta menulis buku soal Chile di bawah Salvador Allende ketika hendak diupayakan sosialisme (1970-1973). 

Saya menikmati debat dua intelektual ini. Bacaannya banyak. Isinya dalam. Mereka punya jaringan masing-masing. George kebanyakan dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Arief kebanyakan dengan intelektual publik dan wartawan. Namun anggota-anggota jaringan mereka saling bersinggungan. Mereka punya banyak kawan sama. 

Pada 1994, George menulis makalah penting soal rasialisme terhadap etnik Papua, dalam sebuah esai, “Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya.” 

Frantz Fanon, seorang kulit hitam, bikin pengamatan di Aljazair dan Afrika Selatan, soal warna kulit, kolonialisme dan rasialisme. Rasialisme ini mensyaratkan kebudayaan si penjajah lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Fanon mengatakan kolonialisme selalu disertai rasialisme.

Saya kira makalah George penting untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang rambut lurus, kulit coklat, di Indonesia, melihat si rambut keriting, kulit hitam, di Papua. 

George menulis, “Betapa populernya penggambaran tentang orang Dani sebagai ‘orang-orang yang nyaris telanjang, yang masih hidup di zaman batu,’ tanpa menyadari bahwa para petani di Lembah Balim, misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam.”

Rasialisme terhadap orang Papua adalah akar masalah penguasaan Indonesia terhadap daerah Papua. Rasialisme berjalan bersama kolonialisme. Tak mengherankan bila banyak orang Papua ingin merdeka dari Indonesia. 

George berpendapat menjadi cita-cita soal Indonesia, yang ikut diperjuangkan orang tuanya, tak harus bertentangan dengan rambut keriting, budaya Melanesia, makan babi, bakar batu, agama Kristen, maupun musik reggae. 

Kadang dia cerita soal berbagai kerabatnya, dari pihak bapak maupun ibu, di berbagai penjuru Indonesia. Dia lahir di Pekalongan pada 1946 ketika rumah mereka sering jadi tempat gerilyawan Indonesia bertemu, termasuk Ali Moertopo, kelak jendral Angkatan Darat dan Menteri Penerangan, serta Hoegeng Imam Santoso, kelak menjadi kepala kepolisian Indonesia. Ini masa ketika revolusi bergejolak. Belanda ingin menguasai kembali Hindia Belanda. Kaum Republiken mempertahankan proklamasi kemerdekaan Agustus 1945. 

Ibunya sering mengelabui opsir Belanda dengan bikin pesta di downtown Pekalongan agar kegiatan suami dan para pemuda di rumah tak diketahui para perwira Belanda, yang menguasai Pekalongan. Ketika orangtua bercerai, tiga tahun George dan kakaknya ikut ibunya di Belanda. 

Harjono lantas menikah dengan Elyana Lovink, seorang perawat di Pulau Bangka. Johanna setuju George dan kakaknya, dikirim ke Jawa dari Belanda. Mereka dijemput di pelabuhan Tanjung Priok oleh Harjono dan Elyana. Mereka pindah ke Banyuwangi, ikut Harjono, yang bekerja sebagai hakim. Keluarga ini berpindah-pindah bersama penugasan Harjono di Semarang, Makassar, dan Pontianak. 

George ingin Indonesia yang menerima keragaman, yang malu bila bicara soal mayoritas-minoritas. Keluarga dengan identitas yang beragam membuat George mudah bergerak ke berbagai kelompok. Ini sebetulnya sesuatu yang lazim di mana pun di Indonesia. Tapi macam-macam aturan bikin kotak-kotak yang tak nyaman. Indonesia juga makin lama makin kaku dengan identitas agama. 

George biasa mengajar di pesantren, langganan beberapa media Islam –termasuk buat mengamati Kedung Ombo. Rekan-rekan kerja, maupun banyak muridnya, mulai dari Aceh sampai Papua, dari Batak sampai Ternate. George merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Identitas seharusnya dibuat tanpa kotak-kotak. 

Mahasiswa Timor Timur 

Sabtu, 12 November 1994, ada 29 mahasiswa Timor Timur memanjat pagar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk minta suaka politik dan pembebasan tokoh Timor Timur Xanana Gusmao yang dipenjara di Jakarta. Dua dari mereka terluka ringan saat memanjat pagar kedutaan. 

Insiden tersebut terjadi hanya dua hari sebelum kedatangan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton untuk kunjungan kenegaraan dua hari di Jakarta serta menghadiri pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation pada 15 November di Bogor. Clinton diduga akan singgung isu-isu hak asasi manusia serta Timor Timur selama pembicaraan bilateral dengan Presiden Soeharto. 

APEC adalah forum dagang belasan negara di Pacific termasuk Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Tiongkok serta negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto ingin jadi tuan rumah buat menunjukkan ekonomi Indonesia makin kokoh. Dia ingin investasi asing lebih deras. 

Saya tiba di depan kedutaan sekitar dua jam sesudah mahasiswa-mahasiswa tersebut memasuki halaman kedutaan. Hari masih pagi. Pagar hanya tembok 1.5 meter plus kawat. Saya dengan mudah bisa mendekati pagar dan wawancara para mahasiswa. 

Saya wawancara Dominggus Sarmento Alves dari Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste, yang ditunjuk sebagai jurubicara. Dia bicara soal penangkapan maupun intimidasi yang dialami orang Timor Timur, terutama sesudah pembantaian Santa Cruz pada 1991. Alves minta perhatian internasional terhadap Xanana Gusmao, yang dihukum 20 tahun penjara. 

Mereka tak diizinkan masuk ke dalam ruangan kedutaan. Mereka hanya duduk-duduk di halaman. Mereka diberi makan dan minum. Wartawan bisa wawancara mereka, bisa ambil gambar. Semuanya laki-laki. 

Saya baru saja berhenti dari The Jakarta Post. Saya jadi fixer buat televisi NBC dari New York. Honornya, US$100 sehari plus dipinjami telepon genggam Motorola sebesar dingklik. 

Saya jadi penterjemah antara Alves dan team NBC. Setiap hari saya datang ke kedutaan dengan NBC. Ada belasan awak NBC datang ke Jakarta, termasuk dari Washington DC dan Tokyo. Mereka tak banyak wawancara, lebih banyak menunggu di depan kedutaan dengan kamera, menanti momen berharga. Saya juga bantu beli McDonald buat para wartawan yang kelaparan. 

Bila ingat saya tak salah, ada sekitar 3,000 wartawan meliput APEC. Bisa dibayangkan bagaimana jalanan depan kedutaan Amerika Serikat jadi sirkus media. Ada ratusan wartawan, dari Amerika sampai Jepang, yang bosan bila hanya meliput sidang-sidang APEC, berbondong-bondong datang buat wawancara. 

Baru hari keempat, para mahasiswa ini ditempatkan di sisi lain kedutaan, sehingga tak bisa leluasa bicara dengan wartawan. Namun ia sudah jadi tajuk berita dalam ratusan media internasional, dari NBC sampai The New York Times. Pada mahasiswa tersebut berhasil merebut perhatian media dalam protes selama 12 hari, pindah dari APEC ke masalah Timor Timur. Mereka lantas diberi suaka politik dan terbang ke Portugal. Xanana tetap dalam penjara tapi makin terkenal. 

Pada 2011, dari buku Clinton Fernandez, The Independence of East Timor: Multi-dimensional Perspectives--occupation, Resistance, and International Political Activism, barulah saya tahu bahwa rencana aksi tersebut dirancang di Salatiga dengan bantuan perencanaan Arief dan George. 

Fernandez menyebut kedua intelektual tersebut mengerti bahwa APEC adalah kesempatan buat angkat persoalan Timur Timur ke arena global. Mereka berani bela orang Timor Timur tanpa takut bahwa pemerintah Indonesia bisa bersikap keras terhadap siapa pun yang dianggap mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur. Mereka juga tahu kehadiran banyak wartawan internasional adalah kesempatan berharga. 

George sendiri baru menerbitkan bukunya pada Mei 1994, East Timor: An Indonesian intellectual speaks out. Ia berisi tiga makalah yang mulanya terbit dalam bahasa Indonesia kecuali naskah ketiga asli dalam bahasa Inggris. 

Herb Feith, seorang cendekiawan Australia, memberi kata pengantar, serta menerangkan mengapa George jadi penting ketika kebanyakan cendekiawan Indonesia enggan memahami Timor Timur, apalagi bicara soal pendudukan Indonesia. Feith memuji kedalaman riset yang dilakukan George soal lingkungan hidup dan kebudayaan Timor: 

- The history of East Timor that Tempo overlooked (1992);
- From Memo to Tutuala: a kaleidoscope of environmental problems in East Timor (1993);
- In the shadow of Mount Ramelau: Some sketches of East Timorese cultures (1994).

Masing-masing makalah berkisar soal kritik media terhadap majalah Tempo, persoalan lingkungan hidup, serta penindasan budaya di Timor Timur. “Ini karya GJA yang penting,” kata Saleh Abdullah, sahabat serta aktivis Indonesia. 

Pada 1999, Presiden B.J. Habibie setuju diadakan referendum di Timor Timur dan Indonesia kalah. Xanana dibebaskan dari penjara. Pada 2002, Timor Timur resmi menjadi negara berdaulat Presiden Xanana. Dominggus Sarmento Alves, sudah selesai kuliah master di Portugal, kembali ke Timor Leste. Sekarang dia dutabesar Timor Leste di Washington DC sesudah dutabesar di Tokyo. 

Harta keluarga Soeharto

Pada tahun 1995, George pindah ke Sydney, Australia, karena bikin penelitian soal harta kekayaan keluarga Presiden Soeharto, maupun soal Timor Timur. Dia mengajar di Universitas Newcastle di New South Wales. 

Penelitian soal Soeharto juga penting karena George bisa mengambil kesimpulan bahwa ratusan perusahaan milik keluarga Soeharto dipusatkan lewat tiga yayasan pimpinan Soeharto: Supersemar, Dharmais, dan Yayasan Dana Abadi Karya Bakti. 

Majalah Time memakai database yang dikumpulkan George selama satu dekade buat bikin laporan soal korupsi klan Soeharto pada Mei 1999. Mereka memperkirakan nilai korupsinya US$15 milyar. Laporan tersebut mendorong pemerintah Indonesia, sampai sekarang, mengejar dugaan korupsi Soeharto. 

George kembali ke Indonesia setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, mengajar di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Saya agak jarang berhubungan dengan George karena sedang belajar di Universitas Harvard. Saya juga lantas terlibat banyak liputan, antara 1998 sampai 2005, soal berbagai kekerasan etnik dan agama di seluruh Indonesia. 

Pada 2008, Akbar Tandjung dari Partai Golkar, minta agar dana yang dikumpulkan Yayasan Dana Abadi Karya Bakti diserahkan kepada partai karena dana tersebut dikumpulkan memang buat partai. 

Soeharto menolak. Dia berkilah dana tersebut dikumpulkan memang buat Golkar tapi bukan milik Golkar. "Yayasan itu milik pendirinya bukan milik Golkar. Rupanya, ada orang-orang dari Golkar yang menuntut, mana uangnya ini. Depositonya segala ditanya berapa banyak," kata Soeharto di situs Soeharto Center.

Saya pernah ditugaskan Human Rights Watch buat riset dan advokasi tahanan politik di Indonesia, terutama di Maluku dan Papua. Suatu hari saya mengeluh pada George soal saya dituduh korupsi karena menggalang dana buat pengobatan Filep Karma, seorang tapol Papua di Jayapura, yang perlu operasi di Jakarta. 

Tuduhan tersebut tak benar. Semua sumbangan buat Karma langsung masuk ke rekening bank dia. Saya tak pernah menarik uang dari rekening tersebut. Human Rights Watch bisa memecat saya bila terima sumbangan buat para tapol. Karma juga terus-menerus jelaskan bahwa itu gosip, tidak benar. 

“Anda belum benar-benar berjuang buat masyarakat Papua sebelum Anda dituduh korupsi,” kata George. 

Dia bilang masyarakat Papua ditindas. Wartawan asing dibatasi masuk ke Papua. Wartawan rambut lurus dipersulit, sebagian malah jadi mata-mata. Wartawan asli Papua sedikit. Jurnalisme yang bermutu sedikit sekali. Maka gosip jadi merajalela. 

“Saya dulu juga dituduh korupsi ketika kerja di YPMD,” katanya, enteng. 

Makanan

Di Jakarta, suatu hari, George menelepon dan mengajak saya makan di Senayan. 

“Lapo Ni Tondongta, lapo Batak, dekat kantor Anda,” katanya. 

George memang doyan makan enak. Dia tahu dimana bisa dapat makanan etnik yang lezat di berbagai kota besar di Indonesia, dari soto sampai coto, dari sate sampai bakar batu. Lapo Batak, yang hanya sepelemparan batu dari kantor saya, justru saya ketahui dari dia. 

Dia memberitahu saya soal istilah B2 (daging babi) dan B1 (daging anjing). “Ini kode orang Batak agar tak menyinggung perasaan orang lain,” katanya. 

George adalah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang menulis tentang hampir setiap sudut Nusantara: Aceh, Danau Toba, Poso, Lore Lindu, Kepulauan Maluku, Timor Timur, Papua Barat. 

Di Jayapura, sesudah keluar dari Bina Desa, George ikut mendirikan Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa di Irian Jaya. Pada November 1983, militer Indonesia menangkap musikus Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih, juga sahabat dan tetangga George, di Abepura. 

Kesalahan Ap? Dia mengumpulkan dan merekam musik-musik dari berbagai etnik Papua, sekaligus dalam bahasa-bahasa asli mereka. Macam-macam lagu ini lantas diproduksi dan diedarkan lewat pasar bebas. Lagu-lagu ini dianggap membantu pembentukan nasionalisme Papua. Arnold Ap disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas rahasia militer. Belakangan, militer serahkan Ap pada polisi tapi dia melarikan diri dan ditembak di pantai. 

Menurut dokumen pengadilan, Arnold Ap dan seorang tahanan tewas dalam "operasi Kopassandha." 

Kopassandha singkatan dari Komando Pasukan Sandi Yudha, sebuah pasukan khusus Indonesia. Arnold Ap mati ditembak di perut. 

Ini menciptakan ketakutan. Gelombang pengungsi ke PNG mulai lagi. George memutuskan pindah dari Jayapura, dapat beasiswa di Universitas Cornell, pindah ke Ithaca. Menariknya, George ikut program doktoral di Cornell tanpa punya ijasah sarjana. George memang drop out dari Satya Wacana pada 1991. 

Kesukaannya pada berbagai daerah di Indonesia, membuatnya suka ratusan macam makanan etnik. Suatu hari, Sapariah, isteri saya, diajak makan soto babat dekat kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, daerah Menteng, Jakarta. 

Sapariah, orang Madura kelahiran Pontianak yang tak makan daging sapi, kagum sekaligus kuatir, dengan porsi babat yang disantap George. 

“Pak George makan harus kontrol.” George tertawa. 

Pernah juga Sapariah dan saya mengajaknya makan Minahasa. George menolak pilihan kami. 

“Mana ada Minahasa tanpa babi rica? Ini pertimbangan bisnis,” cemoohnya. 

Kami lantas diajaknya makan di restoran Manado Tinoor, daerah Gondangdia, Jakarta. Saya kenal nama tersebut. 

Ventje Sumual, tokoh Permesta pada 1950an, pernah undang saya makan, pesanan dari Manado Tinoor di kantornya, sesudah wawancara. 

George tertarik dan minta saya cerita. Dia tampaknya kurang simpati dengan Sumual. George memang tak percaya dengan pemakaian kekuatan. 

Malam itu kami santap babi rica sampai sayur bunga pepaya. George juga pesan paniki. Sapariah pilih ayam rica. 

George termasuk salah satu intelektual yang protes dengan rencana perkebunan sawit besar-besaran di Sumatra maupun Kalimantan pada 1990an. Dia tak suka dengan maraknya mie instant di Indonesia ketika gandum harus impor. Dia juga terlibat protes terhadap PT Inti Indorayon di Danau Toba –merampas banyak lahan rakyat serta merusak alam. 

Ide diversifikasi pangan sangat diakrabi Sapariah. Dia diversifikasi bahan makanan keluarga kami. Dadar gulung , bolu, mie, kue dan pangan lain, yang biasa pakai terigu, bisa dibuat dengan bahan yang bisa diperoleh dari dalam negeri. 

“Gak perlu 100% impor kayak terigu,” katanya. 

“Minyak goreng langka? Aku gak merasa sih.  Kan minyak goreng gak hanya dari sawit. Mestinya sih, yang tinggal di Indonesia, apalagi warga yang ada di desa-desa ya, bisa jauh dari dampak minyak goreng langka. Mengapa? Bikin minyak goreng itu bisa dari banyak sumber, bukan hanya dari sawit, yang proses pembuatan tergantung skala besar.”
 
“Bisa bikin minyak goreng dari kelapa. Proses bikin  terbilang mudah, jadi bisa penuhi keperluan minyak goreng dengan bikin sendiri.”

Namun soal diversifikasi pangan tak berarti George jaga makanan. Pada 27 Mei 2012, George merayakan pesta ulang tahun ke-66, namun masih masih punya tambahan makan-makan beberapa hari karena kawan terus berdatangan ke Yogyakarta. 

Socratez Yoman, seorang pendeta dari Wamena, termasuk orang terakhir yang makan-makan dengan George. Yoman cerita bagaimana George mengajak makan babi panggang dan erwe. “George ini pemberi keberanian, yang menghidupkan keberanian moral orang Papua,” katanya. Keesokan harinya, George terkena stroke, harus dirawat sampai tiga bulan di Yogyakarta.

Sesudah keluar dari rumah sakit, George pindah ke Palu, September 2014, tinggal bersama isterinya, Erna Tenge, seorang dosen Universitas Tadulako. Saya diberitahu dia rutin berenang di Teluk Palu, guna memulihkan kesehatannya. 

Kami masih komunikasi dengan telepon lewat Ferry Rangi, seorang aktivis juga muridnya. Awal Desember 2016, empat tahun sesudah stroke, dia mengundang saya datang ke Palu, buat sebuah seminar di Universitas Tadulako. Saya janji terbang ke Palu dan ikutan. Ferry bilang George senang. 

Namun George meninggal pada 10 Desember 2016 –persis pada Hari Hak Asasi Manusia. Ini sebuah kehilangan buat dunia pergerakan dan pemikiran di Indonesia. Saya datang dua minggu sesudah kepergiannya dan mengikuti seminar buat menghormati George. 

Saya menulis soal bahaya transportasi dengan bangun jalan tol serta meminggirkan trotoar karena pengaruh George lewat usulan Michael Replogle. Mereka mendidik saya untuk kritis melihat trotoar yang dibuat seenak udel di Indonesia, berundak-undak, mempersulit pejalan kaki, karena arsitek, pejabat dan tukang batu, yang tak mengerti soal transportasi berkesinambungan. 

Replogle ikut membentuk wacana agar dibangun kereta api bawah tanah, termasuk PT Mass Rapid Transit Jakarta didirikan pada 2008. PT Kereta Api juga mulai bikin perubahan pada 2009 ketika manajemen diperbaiki, semua kereta api pakai air conditioner, penjualan online dan sebagainya. Ini perubahan mendasar di Jakarta dan Pulau Jawa namun perlu diperluas di ratusan kota lain di Indonesia. 

George pula yang mendorong saya belajar dari Sabang sampai Merauke. Dia membuat saya percaya bahwa tanggungjawab seorang intelektual adalah mencoba mengerti masyarakatnya serta merekam berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup. 

Saya datang ke Palu, mengunjungi makam George di sebuah bukit yang indah, menghadap Teluk Palu, mengenangnya dalam diam. Ada bunga bougenville warna merah dan orange. Lantas Erna Tenge, isterinya, mengajak saya pergi turun ke kota, menuju warung nasi kuning kesukaan George. 

“Bang George suka makan disini,” kata Erna. 

***

Andreas Harsono menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

Naskah ini dimuat dalam buku Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro, Kompas Pustaka Gramedia (Jakarta, Mei 2023) dengan editor Stanley Adi Prasetyo, Aderito de Jesus Soares, dan Basilius Triharyanto.