Monday, December 27, 2021

Tiga kawan satu angkatan sudah pergi dulu

HARI ini tak sengaja saya membuka Facebook milik Go Eng Hwie, kawan kuliah di Salatiga, yang meninggal 29 Juni lalu dalam masa pandemi. Eng Hwie dulu dikenal jagoan matematika. Dia termasuk rekan satu angkatan saya, masuk kuliah Universitas Kristen Satya Wacana pada 1984, yang lulus paling cepat. Dia lantas bekerja sebagai programmer komputer. 

Eng Hwie tampaknya jarang update Facebook. Dia tak memasang foto apapun di Facebook. Namun pada Juni 2009, ada pesan dari Harry Santoso, juga rekan seangkatan, menyapa Eng Hwie dan langsung dijawab. 

Harry cerita bahwa dia buka restoran Tayang-Suki di Jakarta. Percakapan tersebut dapat tanggapan dari Suwanto Gunawan, juga kawan sekelas kami. 

Sedihnya, Suwanto meninggal pada 15 Februari 2019 –sebelum pandemi karena kena stroke. Suwanto sedang berada dalam kamar mandi di kantornya, PT Halilintar Lintas Semesta, di Jakarta ketika kena serangan jantung. 

Harry Santoso meninggal pada 26 Maret 2020 karena virus corona. Harry meninggal di rumah sakit Pantai Indah Kapuk. 

Eng Hwie adalah orang ketiga yang meninggal dari angkatan kami, total 60 orang. 

Eng Hwie ikut reunian di Salatiga pada Februari 2019. Menurut beberapa kawan, saat reuni, dia sudah pakai kursi roda karena stroke. Saya sendiri tak ikut reuni karena sedang berada di New York. 

Sedih membaca percakapan tiga orang kawan sekelas yang semuanya sudah meninggal. Kebetulan sekali mereka bicara dalam satu percakapan dan satu dekade sesudahnya mereka meninggal, satu demi satu. 

1 Juni 2009

Harry Santoso - Eng Hwie Go
Hai. Apa kabar Eng Hwie? Kamu selama ini di mana saja? Aku sekarang di Pluit Jakarta. Salam ketemu lagi....

Eng Hwie Go
skrg di semarang,sesekali ke jkt juga kalau pas ada tugas. Salam juga

Harry Santoso
Kamu kerja apa sekarang? Aku buka restorant : Ta yang suki. www.tayang-suki.com
Kapan2 mampir ya.

Eng Hwie Go
wah hebat, udah jadi bos Harry nih,kapan2 aku pasti mampir

Suwanto Gunawan
di semarang kerja apa Hwie?

Suwanto Gunawan (duduk paling kiri, kaos hijau) dan Harry Santoso (berdiri paling belakang, ketiga dari kiri) dalam reuni kecil pada Oktober 2014 di Jakarta. 



Thursday, December 23, 2021

Perjalanan Ubud, Kuta dan Sanur

Kami sekeluarga pergi ke Bali dari Jember, sesudah menengok keluarga saya di Jember, mengunjungi Ubud, Kuta dan Sanur di Pulau Bali. Saya mencoba program work from Bali

Norman, anak saya, yang wartawan The Jakarta Post, kerja dari Canggu, dekat Denpasar. Dia langsung pergi ke Ubud dari Canggu. Saya manfaatkan kesempatan ini, menemui Norman, sekaligus bertemu dengan beberapa cendekiawan publik di Bali. 

Perjalanan dari Jawa ke Bali termasuk naik ferri Ketapang-Gilimanuk. Ia hanya 35 menit. Sopir Ahmad Nuroni Irwansyah, orang Madura dari Jember, punya pengalaman dan kenalan sepanjang Jember-Ketapang. Dia membuat pembelian tiket ferri maupun tes rapid antigen di Rogojampi, dekat pelabuhan Ketapang, berjalan cepat. Ini masa pandemi. Setiap orang harus jalani tes buat buktikan dia tak membawa virus ketika melintasi perbatasan. 

Di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, kami tak perlu antri, langsung masuk ke ferri. Di pelabuhan Gilimanuk, dia juga ngemel agar langsung keluar pelabuhan. Namun saya tak sangka bahwa route Gilimanuk-Negara-Tabanan-Mengwi-Ubud sangat lambat. Jarak 120 kilometer ditempuh empat jam. Rata-rata hanya 30 kilometer per jam padahal lalu lintas tak seramai biasa, kata Nuroni.

Namun saya pikir ada baiknya juga tidak ada jalan tol dalam route Gilimanuk-Denpasar. Saya tak bisa bayangkan kerusakan lingkungan, termasuk polusi udara dan suara, bila ada jalan tol di pulau sekecil dan sepadat Bali. Kemacetan akan makin parah. 

Di Ubud, kami menginap di Hotel Gana, persis depan Museum Arma di Jalan Pengosekan. Sapariah, isteri saya, memilih hotel ini. Ia hotel baru, buka Mei 2021, ketika masa pandemi. Ia hanya ada 15 kamar, milik orang Bali, disain khas tradisional Bali. Dalam hotel bahkan ada sawah dengan tanaman padi. Malam hari terdengar suara-suara serangga. Adem rasanya. Malam pertama, hanya ada empat kamar disewa termasuk dua kamar kami. 

Ubud adalah ibukota intelektual dan kesenian Bali. Ia bukan saja tempat dimana maestro I Gusti Nyoman Lempad bertemu seniman Walter Spies dari Jerman pada 1930an --era yang sering dielu-elukan soal Bali-- namun juga kerja sama yang berkembang menjadi magnet buat kegiatan seni dan intelektual di Pulau Bali. Spies dan Lempad termasuk pendiri Pita Maha, perkumpulan pelukis yang dibuat pada 1938 di Ubud. Pengaruh Pita Maha menyebar ke seluruh Bali dan memicu gerakan pembaruan kesenian Bali. 

Diana Darling, seorang penulis dan penterjemah Amerika, yang tiba di Bali sejak 1980 dan tinggal di Ubud, mengajak saya kongkow di Monsieur Spoon --cafe Perancis dengan croissant yang harum. Almarhum suaminya, John Darling, membuat film Lempad of Bali (1980). John juga salah satu penulis dari buku Lempad of Bali terbitan Museum Puri Lukisan (2015). Diana sendiri menulis novel The Painted Alphabet

Rio Helmi, fotografer kelahiran Jakarta, namun sudah bekerja di Bali sejak 1978, mengajak makan malam di Table Talk Ubud, sebuah restoran milik orang Bali. Saya mencicipi pork ribs yang lezat --sambil kepikiran berat badan. Rio memperkenalkan saya dengan berbagai foto yang diambilnya di Bali termasuk soal trance

Kami juga cerita soal almarhum Aristides Katoppo, redaktur Rio ketika kerja di mingguan Mutiara, yang meninggal September 2019. Katoppo saya kenal baik karena kami sama ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta pada 1995. 

Kadek Purnami, mantan manajer Ubud Writers' and Readers' Festival, cerita berbagai pengalaman, manis maupun pahit, selama 16 tahun ikut membangun festival. Lonely Planet, sebuah buku soal perjalanan global, rekomendasi orang untuk datang ke festival ini bila mau ke Indonesia. Ia diadakan setiap bulan Oktober. 

Janet de Neefe, ketika lihat Instagram saya duduk dengan Kadek, juga kirim pesan dan mengajak ketemuan. Maka saya pun jalan kaki ke Casa Luna, restoran dekat Puri Ubud, yang didirikan Janet dan suaminya Ketut Suardana. Mereka adalah penggagas Ubud Writers' and Readers' Festival. Senang bisa mengobrol dengan Janet. Dia banyak kenal orang. Dia juga pendengar yang sabar. 

Kami juga bertukar cerita soal keluarga kami. Janet baru pulang dari Melbourne, kota kelahirannya di Australia, dimana dia mengurus rumah orang tua. Mereka sudah meninggal, kini rumah disewakan. 

Setiap kali ke Ubud, saya juga selalu mengunjungi berbagai museum. Kali ini beruntung bisa bertemu Agung Rai, pemilik museum Arma, seluas tujuh hektar. Harian The Jakarta Post menjulukinya sebagai "guardian" (penjaga) kesenian Bali. Museum tentu sedang sepi karena pandemi. 

Bali sangat terpukul dengan pandemi karena pembatasan perjalanan global. Ketika saya berada di Bali, berbagai media mengutip dinas pariwisata Bali yang mengatakan Bali hanya kedatangan 45 turis internasional pada 2021. Bandingkan dengan kedatangan hampir 6.3 juta turis internasional pada 2019. 

Agung Rai cerita pengalaman dia, mulai dari penjual souvenir serta lukisan tradisional Bali, lantas jadi kolektor, serta membangun museum yang juga dilengkapi dengan kebun, sanggar lukis, hotel, galeri serta beberapa toko. Dia bangga bisa membeli dan memperbaiki sebuah lukisan Raden Saleh Bustaman asal Semarang (1811-1880) yang karirnya banyak dilakukan di Eropa abad 19. 

Uniknya, Agung Rai, dengan kain batik dan udeng, sering mengantar pengunjung museum, menerangkan lukisan satu demi satu. Dia bangga cerita bahwa dia masih tinggal di rumah warisan leluhurnya berdekatan dengan tetangga-tetangga yang juga beberapa generasi tinggal di sana. 

Saya punya kesan, Agung Rai ingin mengatakan bahwa dia hidup sederhana, tak memiliki keperlucan pribadi berlebihan, tenang dengan gaya hidupnya sendiri. Dia minum kopi bubuk biasa, walau dia tentu punya dompet tebal. Hitung saja harga ribuan lukisan di museum ini. Lebih mahal kopi saya daripada kopi yang diseduhnya sendiri. Ini agak bikin malu diri saya.

Suatu pagi saya juga jalan kaki ke sanggar musik Cudamani, salah satu kelompok musik yang berhasil membawa musik tradisional Bali ke pentas dunia. Saya suka dengan album "Bamboo to Bronze" mereka. Kini Cudamani dipimpin I Dewa Putu Berata. Cudamani artinya fokus. Ia juga berarti nama mata ketiga Dewa Syiwa.

Sanggar ini mengingatkan saya pada Colin McPhee (1900-1964), seorang komposer kelahiran Montreal, Kanada, yang lama tinggal di Bali dan belajar gamelan dari para seniman Bali. Dia bikin komposisi "Tabuh Tabuhan." McPhee datang ke Bali pada 1931. Kehadirannya menambah deretan seniman-seniman global yang mendapatkan inspirasi dari Bali. Coba dengarkan McPhee di Spotify. Saya suka putar komposisinya ketika sedang setir mobil sendirian. 

Bagus Ari Saputra, pemilik Gayatri Ubud, hotel boutique dekat Puri Ubud, mengundang makan malam dan diskusi. Ibunya orang Finlandia, ayahnya orang Bali. Saya dikenalkan oleh Sebastian Partogi, seorang penerjemah dan mantan wartawan The Jakarta Post. Tamunya, beberapa produser film, seniman dan aktivis. Diskusinya soal buku saya, Race, Islam and Power. Saputra sudah membaca buku tersebut. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Tak terasa hampir empat jam di Gayatri.

Norman terkejut melihat Ubud, sesudah dia sering tinggal di Canggu, "Ubud is empty. The only lively place is Pengosekan."

Sapariah jatuh cinta dengan kedai kopi Seniman di Jalan Sri Wedari. Kedai ini terkenal karena membuat lingkaran "Roda Rasa Kopi Indonesia." Flavor wheel ini diciptakan lewat konsultasi ribuan barista dan laboratorium kopi di Indonesia serta dilengkapi 36 acuan aroma serta 82 deskripsi sensoris. Mereka juga pakai botol bekas sebagai gelas yang dipotong agar ukuran cocok buat berbagai taningan kopi. Sapariah bisa ngopi dua kali dalam seminggu di Ubud. Kedai Seniman kelihatannya ramai sekali, tak terpengaruh pandemi. 

Dari Ubud kami pindah ke Kuta dan sempat mencicipi wine di Sababay Winery di Gianyar. Ayu Wulandari, pemandu Sababay, seorang perempuan Bali, menerangkan entah berapa abad, anggur buat sakramen Gereja Katolik di seluruh Indonesia didatangkan dari luar negeri. Padahal setiap bikin misa harus ada anggur. 

Kenapa? 

Perusahaan anggur sedikit sekali. Negeri tropis macam Indonesia sulit buat fermentasi buah anggur dengan suhu 5-10 Celcius. Tak berarti Indonesia tak punya gunung dan suhu dingin tapi tak ada sistem transportasi serta pekerja trampil dekat gunung bukan? 

Sababay mengubah keadaan. Mereka dapat sertifikat Konferensi Waligereja Indonesia pada 2018 buat produksi sacramental wine. Ia tak dijual kepada umum. Mereka pakai tangki stainless steel dgn mesin pendingin. Senang juga lihat teknologi baru buat bikin wine. Saya beberapa kali mencicipi wine di Eropa dan Amerika Serikat. Senang kini ada tujuan wisata wine tasting di Indonesia. 

Nama perusahaan diambil dari Teluk Saba (Saba Bay) yang terletak dekat winery ini. Sababay juga produksi wine jenis lain. Paling populer adalah Moscato, menurut Wulandari. Anggur mereka kebanyakan datang dari para petani Singaraja. 

Sababay juga menang beberapa penghargaan internasional dari produk mereka termasuk Moscato. Pembuat wine mereka adalah Nicolas Martin asal Perancis. Ini transfer teknologi yang penting. Saya senang Sababay bisa lakukan kerja di Bali.

Di Kuta, kami menginap di Risata Resort, yang pintu belakangnya  terletak sebelah Lippo Mall. Hotel luas dengan kebun hijau menggiurkan. Kamarnya ada lebih dari 140 namun hanya belasan yang terisi. Mereka terpukul dengan pandemi sehingga restoran harus tutup. Makan pagi diantar ke kamar. Sebagian karyawan dirumahkan. Malam hari, saya diberitahu hanya lima karyawan bertugas. Kasihan. 

Kami melihat bagaimana banjir melanda Kuta ketika hujan deras. Tampaknya pemerintah kabupaten Badung, yang mengatur Kuta, perlu bekerja lebih keras buat memperbaiki manajemen lingkungan hidup di Kuta. Trotoar tampaknya perlu diperlebar agar orang dimudahkan buat berjalan kaki. Bukan melulu motorisasi. Pemerintah Badung juga setidaknya perlu menertibkan pengendara sepeda motor dan mobil yang parkir di atas trotoar. Mereka merampas hak pejalan kaki dan bikin rumit usaha melindungi alam. 

Tidakkah motorisasi juga dilakukan di Pulau Jawa? Tentu saja. 

Pejalan kaki dan alat transportasi non-motor --sepeda, dokar, pedati, perahu, rakit dan lainnya-- maupun kereta api, yang punya kemampuan transit jauh lebih besar dari jalan tol dan motorisasi, tidak diperhatikan di Pulau Jawa. Ia menular ke seluruh Indonesia sejak 1970an. 

Saya sampai capek menulis soal bahaya motorisasi sejak 1990an. Motorisasi bikin kemacetan, polusi udara, polusi suara, serta tak menjawab keperluan transit masyarakat. Tapi Jawa kan Jawa. Ia tak diharapkan secantik dan secerdas Bali. Mungkin beban orang Bali untuk bisa sedikit membuat baik naluri buruk yang sering muncul dari pikiran-pikiran orang di Pulau Jawa, terutama Jakarta. Saya kecewa bila Bali tak mau mengatasi bahaya motorisasi.

Di Sanur, kami menginap di Sri Phala Resort, yang terletak dekat museum Le Mayeur di pinggir pantai. Museum yang cantik ini didirikan dengan rumah yang dibeli pelukis Adrien-Jean Le Mayeur (1880-1958) asal Belgia. 

Dia mulanya berpikir hanya tinggal delapan bulan di Sanur namun jatuh cinta pada Bali dan memutuskan tinggal di Bali seumur hidup. Pada 1935, Le Mayeur menikah dengan Ni Nyoman Polok, seorang penari legong cantik, yang juga sering jadi modelnya. Pameran-pameran lukisan Le Mayeur sukses di Singapura. Mereka membangun rumah dengan ukiran tradisional Bali. Ni Polok mengabadikan warisan suaminya dengan museum ini. 

Sayang, ada belasan lukisan sudah rusak termasuk karya yang dibuat dengan kain bagor dari zaman Jepang. Kayu-kayu juga ada yang keropos. Sapariah berpendapat, "Museum tepi pantai dan bersuhu panas mempercepat kerusakan lukisan. Ruang tempat lukisan panas, tak ada pendingin ruangan." 

Dinas kebudayaan Bali perlu segera memasang mesin pendingin serta memperbaiki kayu-kayu yang keropos di museum ini. Kami menghabiskan waktu hampir tiga jam berkeliling di rumah yang indah ini. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah mendatangi rumah merangkap studio Le Mayeur. Saya bayangkan hari ini seandainya Presiden Joko Widodo atau Raja Filip Leopold Lodewijk Maria dari Belgia datang ke museum ini. Sayang, bila generasi yang akan datang tak bisa menikmati keindahan ini. 

Saat hari libur, saya juga menemani keluarga berenang dan bermain di Pantai Semawang. Diana, anak saya, bisa bermain di pantai sampai empat jam. Kulitnya terbakar tentu.

Ketika sedang ngopi di Infinity Coffee, Sanur, saya ditelepon Anton Muhajir dari media Bale Bengong. Dia sedang jogging di pinggir pantai Sanur. Maka jadilah kami mengobrol pinggir pantai. Anton wartawan lepas, blogger serta aktivis kritis dari Denpasar. Bale Bengong blog yang menarik sekali, sudah lebih satu dekade mencatat berbagai perubahan sosial di Bali. 

Saya tanya bila bekerja dari Bali, sebaiknya tinggal dimana. "Di rumah warga," jawabnya. Ini akan membuat pendatang lebih tahu Bali dari pikiran dan pandangan orang Bali. Jangan tinggal di villa atau hotel, katanya. Ia etalase pariwisata Bali. Saya kira nasehat yang baik. Ini mengingatkan saya pada seniman 1930an. Semuanya tinggal bersama masyarakat. Memang pariwisata belum sebesar sekarang.

Saya juga bertemu Rudolf Dethu, putra Bali yang mengelola Rumah Sanur Creative Hub, dengan kedai, panggung seni serta kantor dan penginapan kecil. Rudolf seorang penulis musik, aktivis pluralisme, pustakawan, disc jockey, dan event organizer, dan pernah mengatur manajemen dua band punk rock Bali, Superman Is Dead dan Navicula. 

Kami bicara soal meningkatnya intoleransi Indonesia, bukan saja di Jawa dan Sumatra, tapi juga Bali. Dethu kritis terhadap politisasi Hindu Dharma. Dia juga prihatin dengan ratusan aturan yang diskriminatif di Indonesia, atas nama syariah Islam, terhadap minoritas agama, gender dan seksualitas. 

Saya cerita laporan Human Rights Watch soal setidaknya 64 aturan wajib jilbab dari tingkat nasional sampai daerah di Indonesia. Aturan-aturan tersebut mengandung sanksi. Murid bisa dikurangi nilai atau di keluarkan dari sekolah negeri. Pegawai negeri, termasuk guru dan dosen, bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Mereka menciptakan pelataran buat merundung anak dan perempuan Muslim buat berjilbab tanpa punya ruang dan waktu buat memilih dengan bebas. Di Indonesia, juga makin marak peraturan diskriminatif terhadap minoritas seksual, termasuk gay, lesbian, transgender dan seterusnya.

Dethu mencoba mendidik masyarakat dengan bikin toilet di Rumah Sanur lengkap logo seksualitas dan gender non-biner. Bukan hanya lelaki dan perempuan. Anda perhatikan logo dengan gambar tiga manusia tersebut. Juga logo disabilitas. Ini pertama kali buat saya menemukan toilet non-biner di Indonesia. 🌈

Saya senang bisa berkenalan dengan Dethu. Banyak cerita datang dari Dethu termasuk kriminalisasi terhadap musikus Jerinx dari Superman Is Dead. Saya akan sering mengajak kawan-kawan saya buat makan malam di Rumah Sanur. 

Kai Mata, penyanyi muda kelahiran Jakarta, juga menemui saya di kedai Over the Moon. Saya kagum dengan bakat musik, sikap kritis dan keberanian Kai. Dia dulu belajar di Jakarta International School, salah satu dari setidaknya 10 sekolah terbaik di Jakarta, lantas lulus dan kuliah di University of California, Davis, cuma 10 minggu. Cita-citanya jadi musikus.

Dia memutuskan keluar dari bangku kuliah, pergi ke Mesir, selama enam bulan, lantas enam bulan di India, berkat tabungan yang dikumpulkan di Jakarta serta hidup hemat.

Kai Mata memutuskan tinggal di Bali. Dia adalah seorang lesbian yang terbuka. Dia sering membawakan lagu dengan tema LGBTIQ. Lagunya yang paling terkenal, "Where Love Goes," baru saja tembus 2 juta pendengar di Spotify. Ini prestasi buat penyanyi umur 24 tahun. Diana, anak saya, bangga sekali bertemu Kai. Diana minta selfie. 

Di Sanur rugi bila tak makan sup kepala ikan dan ikan goreng di Mak Beng. Sapariah mengajak saya dua kali makan di Mak Beng. Rumah makan ini berdiri pada 1941 ketika zaman pendudukan Jepang. Sambalnya alamak! Sup diberi potongan mentimun. Segar sekali. Senang lihat bisnis keluarga ini sudah lewat tiga generasi. 

Bali selalu menawarkan kesegaran setiap kali saya datang berkunjung. Saya bukannya tak tahu dengan berbagai tantangan terhadap toleransi dan demokrasi di Bali --dari pembantaian 1965 sampai pelarangan organisasi Hare Krishna (legalnya bernama International Society for Krishna Consciousness). Namun saya kagum dengan perjuangan, dengan segala kesulitan serta tekanan, yang dihadapi orang-orang Bali --termasuk para pendatang macam generasi 1930an sampai Rio Helmi, Diana Darling, Anton Muhajir dan Kai Mata-- untuk berpikir dan bertindak buat kemanusiaan dan lingkungan hidup. 

Sebagai seseorang yang banyak meneliti dan menulis soal intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, saya kira kunjungan ke Bali tersebut --tidak sekedar sebagai turis-- menyegarkan saya, serta memberi tambahan energi buat tetap bekerja dan berjuang soal hak asasi manusia, termasuk perlindungan minoritas, serta lingkungan hidup di tahun yang akan datang. 

***












Wednesday, December 22, 2021

Berkunjung ke Jember dalam masa pandemi

Dua minggu lalu
, kami mengunjungi mama dan beberapa adik saya di Jember termasuk Susanna yang tiga kali masuk rumah sakit tahun ini. Susan kehilangan berat badan 16 kg. Mama saya dua kali masuk rumah sakit. 

Selama pandemi, sejak awal tahun 2020, saya praktis tak bisa bertemu mereka. Sudah hampir dua tahun kami tak saling bersua. Hanya bisa komunikasi lewat telepon. Lega melihat mereka sehat dalam masa pandemi ini.

Susan dan saudara kembarnya, Rebeka, adalah adik saya. Mereka kini saling membantu di Jember karena keduanya ada kondisi mental. Ketika sakit, Susanna itu tak bisa angkat kepala, bahkan makan harus disuapi, buang air harus pakai pampers, pokoknya tak bisa gerak. Rebeka, yang tinggal di Tangerang, memutuskan pulang ke Jember pertengahan tahun 2020, dan menemani Susan di rumah sakit. 

Rebeka banyak membantu Susan termasuk ketika lantas berjalan pakai kursi roda, belakangan tongkat, lantas berjalan pelan. Kini sudah mulai lancar bahkan berenang juga bisa. Kagum dengan semangat Susan bertahan dan sembuh.

Saya juga melihat peternakan ayam petarung milik Dani Hariyanto, adik lelaki saya satu-satunya, di Rembangan, selatan kota Jember.

Dani memiliki sekitar 50 ekor ayam petarung. Dia bilang salah satu jago harganya Rp 5 juta. Dani juga seorang petani merangkap pedagang hasil bumi. Dia punya banyak kawan di Rembangan. Supel dan pandai bergaul. 

Kuswati, isteri Dani, cerita soal dia sebagai relawan Keluarga Berencana di daerah Kemunir Lor, Rembangan. Senang juga dengar cerita bagaimana mereka berusaha meningkatkan gizi anak, rutin periksa kesehatan reproduksi. 

Dani mengingatkan saya pada Ong Seng Hay, kakak dari papa kami, yang juga dikenal pada 1970an sebagai peternak ayam petarung di Jember. 

Dani cerita mereka sekampung terkena coronavirus, termasuk ibu, isteri dan dirinya, namun mereka tak pernah tes karena prosesnya repot. Ibunya bahkan sakit lebih dua bulan.
 
Kami pergi berenang bersama. Dani, Kuswati dan anak mereka ikuta menginap di hotel. Anak kami bisa bermain bersama. 

Ini hanya kunjungan tiga hari, saya tak sempat menemui banyak kerabat dan kawan di Jember dan sekitarnya. Kami tentu punya kerabat di Kalisat, Ambulu, Balung, Kasihan, Ajung, sampai Puger dan Bandealit. Kami juga cerita soal kerabat dan kenalan di Surabaya dan Banyuwangi. Banyak dengar cerita sedih soal pandemi di kota kelahiran saya termasuk kenalan yang meninggal. 

Wednesday, December 08, 2021

The Internet, Islamism and Repressive Regulations Pressure Indonesian Media

Associated Press Photo/Dita Alangkara

Andreas Harsono

Agus Sudibyo, a member of Indonesia’s Press Council, is worried about the state of journalism in Indonesia. He just published a book, Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara (“Digital Battle: Computational Propaganda in Many Countries”), about the pressures that internet giants such as Google and Facebook have put on Indonesian media by sucking up more than 50 percent of media revenue.

In Jakarta, the digital disruption has led to frantic efforts by local media to find new sources of revenue.

“Some companies have introduced so-called content creators. Their task is more or less observing and writing what is viral in cyberspace in a bid to increase and maintain traffic. It’s sensationalized. What kind of journalism is this?” Sudibyo told me.

Journalism related to decline of democracy

These kind of content creators are filling the media and social media with disinformation. Professional journalism should be a source of accurate information and work as a corrective, but it is no longer funded well enough to do this. This is frightening, as many experts have noted that the decline of quality journalism is related to the decline of democracy.

One result has been to allow many people who call themselves journalists to use their platforms to present their own views as news. Bias that rejects accurate reporting is increasingly becoming a big problem in Indonesian newsrooms.

Growth of Islamism – and its perils

Among the most dangerous trends in Indonesia is the rise of Islamism, a political ideology that seeks the formalization of the Islamic sharia. Religious minorities, including Christians, Hindus, Buddhists, Ahmadiyah, and Shia Muslims, as well as native faith believers, face increasing levels of discrimination, intimidation, and violence – fueled by hate speech and disinformation masquerading as “news.”

This has provided impetus in recent years to close thousands of churches since the Indonesian government introduced the so-called “religious harmony regulation” in 2006, which effectively gives the majority veto power over religious minorities.

Women and LGBTIQ people also face increasing discrimination, in part because of distorted media. Provincial and local governments have introduced regulations that require girls and women to wear the jilbab, leading to bullying and psychological distress. Girls who don’t comply have been forced to leave school or have withdrawn under pressure, while female civil servants have lost their jobs or resigned to escape constant demands to conform.

Media outlets fail the test

Journalists are now often confronted by sensitive subjects, such as homophobia and misogyny, that test the notion of professional journalism. And many media outlets have failed the test.

“Unbalanced reporting, which is common in Indonesia, has the potential to kill LGBTIQ individuals,” said Kanza Vinaa of the Swara transgender group.

Yendra Budiana, the spokesperson for the Ahmadiyah community in Indonesia, said: “Religious minorities always struggle from the first second news coverage on their religion or beliefs begins, facing media framing that plays on emotions, escalates tensions and is always unfair towards the victims.” 

All of this takes place within a legal framework that includes colonial-era criminal defamation provisions and repressive homegrown laws and regulations, including regarding the internet.

David vs. Goliath

To address the deprofessionalization of the media in recent years, journalist associations are asking the Indonesian parliament to pass a draft bill that could compel tech giants to negotiate with Indonesian media to provide a fairer share of revenues, a move inspired by a groundbreaking new Australian law.

Smaller organizations are also working to train Indonesian journalists, especially in conservative provinces, to be professional reporters.

Free speech advocates have long campaigned to get rid of the country’s oppressive and speech-chilling criminal defamation laws. All of these efforts, and more, are necessary to preserve the gains made since the Suharto dictatorship. It is a fight for the soul of Indonesian journalism —and the future of democracy and human rights in Indonesia.

Friday, November 19, 2021

Pelatihan Menulis buat Universitas Ciputra

Andreas Harsono dalam wawancara Al Jazeera di Jakarta.

PELATIHAN ini dirancang buat mahasiswa dan dosen Universitas Ciputra, Surabaya, yang ingin belajar menulis fakta agar enak dibaca –biasa disebut “jurnalisme” serta melakukan wawancara, riset dan verifikasi. Tujuannya, agar peserta bisa menulis buat media sosial atau media biasa, berupa feature atau komentar. 

Hasil sampingannya, peserta diharapkan mengerti berbagai pasal karet di Indonesia agar peserta tak terjebak dengan kelenturan pasal-pasal ini dalam memakai WhatsApp, Twitter, Facebook, Instagram dan lainnya. 

Peserta diharapkan transparan, memakai nama lengkap dalam media sosial. Total empat sesi, setiap Rabu pukul 19.00-20.30 WIB dengan Zoom. 

Pelatihan online ini diadakan School of Entrepreneurship and Humaniora bekerja sama dengan Biro Mahasiswa dan Alumni dari Universitas Ciputra. 

INSTRUKTUR

Andreas Harsono, bekerja buat Human Rights Watch, anggota International Consortium of Investigative Journalists, ikut Nieman Fellowship di Universitas Harvard, menerbitkan buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme serta Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

Sesi 24 November – Sesi ini membahas “Sepuluh Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Ini adalah dasar dalam orang menulis buat keperluan publik termasuk media sosial. 


Sesi 1 Desember -- Tak ada hukum dalam menulis namun menulis punya perkakas, tepatnya 50 buah, terbagi dalam empat bagian besar. Sesi ini juga dilengkapi dengan teknik wawancara. 

Bacaan: Perkakas menulis dari Roy Peter Clark. Bila Anda biasa, atau sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris, tidak rugi untuk membeli buku Writing Tools karya Clark. Khusus wawancara, bacalah ”Ten Tips for Better Interview.” 

Sesi 8 Desember -- Feature adalah salah satu struktur penting dalam penulisan, mulai muncul pada 1920an. Setiap orang yang ingin menulis perlu belajar soal struktur ini. Di Indonesia, ia secara sistematis diperkenalkan oleh Goenawan Mohamad dari Tempo. Ia terdiri dari fokus, angle dan outline. 

Bacaan: “Feature: Ibarat Menggoreng Telur Mata Sapi” karya Andreas Harsono. 

Pekerjaan rumah: Wawancarailah seseorang lalu buatlah satu tulisan pendek, 200-500 kata. Bacalah “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah guna mengetahui cara menggambarkan sesuatu dan menciptakan suasana.

Sesi 15 Desember -- Para peserta akan membacakan tugas feature. Peserta lain menanggapi. Pekerjaan rumah mohon dibagikan kepada sesama peserta agar setiap peserta bisa membaca. 

***




Thursday, November 04, 2021

End Closures and Prevent Demolition of Ahmadiyah Mosque


Brad Adams
Asia Director at Human Rights Watch

On September 3, at least 130 Malay Sunni vigilantes attacked an Ahmadiyah mosque in Balai Harapan village, Sintang regency, West Kalimantan. The attack occurred after Friday prayers, during which the imam at a nearby Sunni mosque, Mochammad Hedi, delivered a speech in which he called the Ahmadiyah “blasphemous,” witnesses said. A local man named Zainudin can be seen on a video leading the mob, armed with bats and wooden sticks, as they burned down a warehouse and ransacked the mosque.

Because of previous threats, police had been posted to protect the Ahmadiyah community of 76 families. Despite desperate requests, the police did not intervene, possibly deciding to allow the attack on the mosque to avoid the chance that their intervention would lead to attacks on the Ahmadiyah villagers, or themselves.

There is now a serious risk of a new round of violence. This is particularly worrisome given the long history of ethnic and religious violence involving Malay, Indigenous Dayak, Madurese, and other groups – usually with complete impunity.

September 3 wasn’t the first time that the local authorities had capitulated to extremists. On August 14, they  sealed the mosque, citing a 2008 decree issued by the government of then-President Susilo Bambang Yudhoyono that ordered the Ahmadiyah community to “stop spreading interpretations and activities that deviate from the principal teachings of Islam.” The decree violated international law, which protects the right to freedom of religion. Yudhoyono acted in part under pressure from the Indonesian Ulama Council, a quasi-state institution that had declared the Ahmadiyah to be heretical in a 1980 fatwa and then reissued it in 2005.

The government also claimed that the Sintang mosque did not have a permit. But in remote areas like Sintang, most houses of worship, including Sunni mosques, do not have building permits.

But closing the mosque wasn’t enough for Hedi’s Malay Men’s Union (Persatuan Orang Melayu), which demanded that the government also demolish it. When that didn’t happen, on September 3 they took matters into their own hands.

The Ahmadiyah faith was founded in 1889 in Qadian, a town in what is now India’s Punjab, by a Muslim scholar, Mirza Ghulam Ahmad. The community identifies itself as Muslim, though many Muslims consider the Ahmadiyah to be “deviant.” The Ahmadiyah are banned in Saudi Arabia, Pakistan and some other Muslim-majority countries. Indonesia has  approximately 55,000 Ahmadiyah families.

The Ahmadiyah community has also been targeted in other parts of the country this year. In Garut and Depok, both in West Java province, local governments also sealed Ahmadiyah mosques in May and October.

Indonesia’s National Commission on Human Rights has repeatedly called on the government to revoke the 2008 decree. According to Ahmadiyah sources, more than 30 mosques have been closed down since the 2005 fatwa, mostly in Indonesia’s 24 Muslim-majority provinces. In some cases, Ahmadiyah figures have negotiated with local officials and Muslim leaders to quietly reopen the mosques.

After media coverage of the September 3 events, the police arrested 22 men, including  Hedi and Fathurruzi, charging them with destroying private property and provoking the attack. They are  detained at the West Kalimantan police headquarters in Pontianak.

Ahmadiyah

But the problem is far from over, as politicians and others try to make political capital from a highly inflammatory issue. West Kalimantan Governor Sutarmidji called on the Ahmadiyah “to return to the true path of Islam.” In a shocking development, he also visited Hedi and Zainudin in police detention in Pontianak on the day after they were arrested, posing for a photo with both and posting a video of the visit. On September 17, he ramped up the tension, issued a circular calling on the local government to “monitor to what extent the Ahmadiyah are obeying the 2008 decree.”


Meanwhile, an acting regent of Sintang has now issued a warning letter, demanding that the Ahmadiyah community demolish their mosque by November 5.

The Ahmadiyah in Sintang and around Indonesia fear that they are being targeted as part of a larger sectarian fight for political power among other groups.

The government of President Joko Widodo should make it clear that it will have zero tolerance for anyone invoking religion to commit violence against any group in Indonesia. The National Police should investigate the possible role of the Malay Men’s Union and politicians such as Sutarmidji. They should take steps to ensure that the trial of Hedi, Fathurruzi and Zainudin will be free of political pressure.

If the government is serious about Widodo’s claim that Indonesia is a moderate Muslim country, he should ask his cabinet, including Home Affairs Minister Tito Karnavian and Minister of Religious Affairs Yaqut Cholil Qoumas, to revoke the anti-Ahmadiyah decree and end all discrimination in law against religious minorities in the country.

Friday, October 15, 2021

Liburan di Pantai Selatan Pulau Jawa

SAYA baru selesai menjalani cuti sebulan termasuk sembilan hari berlibur di Pangandaran, Pulau Nusa Kambangan, Cilacap, Kebumen, dan Cirebon. Rekan-rekan saya di Human Rights Watch mendorong saya buat cuti dan liburan sesudah berbagai kesulitan dan masalah kesehatan --plus kematian selama pandemi dari kerabat dan kawan saya-- yang saya hadapi. Ini juga termasuk keluarga saya sendiri terkena virus corona. Kami naik mobil sekeluarga. Ada hotel yang yang menyenangkan dengan disain kayu tua di Cirebon. Ada juga penginapan kecil dengan enam kamar terletak dekat laguna di Pangandaran. 

Kami lewat makam penyanyi rock Nike Ardila (1975-1995) di Ciamis. Maka kami pun mampir. Ini perjalanan santai, tak diburu waktu, jadi setiap kali Google Map memberitahu tempat menarik, kami akan diskusi.

Nike Ardila terkenal dengan laku "Bintang Kehidupan." Dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Bandung, mobilnya menabrak tembok. Umurnya tak sampai 21 tahun. Ini pemakaman keluarga. Makam Nike Ardila paling menonjol dalam area ini.

Saya senang lihat makam seorang perempuan diletakkan di tempat paling penting di kalangan keluarganya. Makam Nike Ardila mengingatkan saya pada makam RA Kartini Djojo Adhiningrat (1879-1904) di Mantingan, dekat Rembang.
 
Di Pangandaran, kami tinggal di sebuah hotel kecil dengan hanya enam kamar. Namanya Java Lagoon. Ini hotel yang menyenangkan. Kamar bersih dan rapi.

Bahan makanannya segar. Sederhana tapi enak. Nasi gorengnya enak. Steak tuna mereka yummy. Cumi goreng tepung juga enak. Bagian yang terbaik dari hotel ini adalah pemandangannya. Itu terletak sebelah laguna. Suasana tenang, hanya mendengarkan ombak. 

Kami juga menginap di Hotel Menara Laut daerah downtown. Internet lelet. Sinyal telepon juga hanya satu strip dalam kamar kami. Isteri dan anak saya, yang memerlukan sambungan internet buat bekerja, terpaksa mencari-cari kedai kopi buat dapat sambungan stabil. Ini habiskan waktu serta menambah biaya.   

Daya tarik Java Lagoon adalah laguna. Ia mengikuti air pasang. Nelayan disini banyak memasang bagan bambu dan taruh jaring besar. Saya suka jalan pagi dan melihat nelayan menarik jaring. Mereka juga banyak pelihara anjing buat bantu jaga. 

Ada seekor anjing muda yang sering mengikuti keluarga saya. Ia suka berlarian di laguna ketika air surut pada pagi hari. Suasana enak buat bermain air. 
Kami juga menelusuri sungai Cijulang di Pangandaran. Arus deras. Pakai jaket penyelamat. Anak-anak paling suka dengan acara ini. Ada dua jam kami menelusuri sungai dalam jarak hanya 4 km.

Ini campuran antara jalan kaki, berenang, merambat, mendaki, maupun pakai perahu pada bagian terakhir. Saya sempat hanyut dan menabrak batu. Ada luka goresan di tangan kanan, dengkul kanan biru-biru.

Norman dan Diana paling lincah. Sapariah Saturi juga kuatir. Saya hanyut karena kuatir Sapariah tak bisa menjangkau sebuah batu besar.

Pantai timur Pangandaran adalah daerah nelayan. Ini tempat enak buat memilih makanan seafood. Ada banyak rumah makan dengan pilihan menu dari udang sampai ikan, dari cumi sampai kepiting. 

Kami naik mobil lihat pasar pelelangan ikan, serta ratusan kapal, di daerah Cikidang. Namun kecewa melihat pusat pendidikan soal hutan mangrove --tertera di Google Maps-- sudah habis, jadi jalan menuju Politeknik Kelautan dan Perikanan Pangandaran. 

Cilacap dan Nusa Kambangan

Dari Pangandaran kami pindah ke Cilacap, langsung ke kampung nelayan, naik perahu ke sebelah timur Pulau Nusa Kambangan. Anggun Purnawati, seorang tour guide dari Kebumen, menemani kami di Cilacap dan Kebumen. 

Sejak 1905, Pulau Nusa Kambangan jadi pulau penjara, namun orang jarang tahu bahwa ada beberapa benteng buatan Belanda buatan abad 19. Kami pergi melihat dua benteng. Mereka sudah tinggal reruntahan. Pohon-pohon raksasa tumbuh dari bangunan benteng. Saya jadi kembali lagi kelak dan lebih lama memotret dan melihat benteng-benteng ini.

Benteng-benteng Nusa Kambangan tampaknya dibuat untuk mempertahankan Pulau Jawa dari kemungkinan serangan lewat pantai selatan. Ada belasan benteng di pantai selatan Jawa.

Bila ingat pelajaran sejarah, pada 1942, Jepang hanya perlu sembilan hari buat menyerang Pulau Jawa dan mengambil kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda. 

Benteng-benteng ini tak cukup buat pertahanan memadai terhadap Pulau Jawa. Militer Jepang sendiri banyak bikin bunker guna pertahanan Jawa dari pantai selatan. 

Ini merupakan bukti bahwa Pulau Jawa adalah pulau terpenting di kepulauan Nusantara. Militer Jepang bersiap tempur lawan Sekutu yang diperkirakan akan menyerbu dari pantai selatan. 

Namun pertahanan ala Jepang tak pernah bisa jadi bukti bila cara mereka lebih kuat dari Belanda. Di Tokyo, Kaisar Hirohito menyerah tanpa syarat kepada Sekutu sesudah Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir pada kota Hiroshima dan Nagasaki 7-9 Agustus 1945. 

Pulau Nusa Kambangan sebelah timur adalah kawasan cagar alam. Masih ada macan tutul dan macan kumbang di kawasan ini. Sayangnya, Kementerian Hukum dan HAM memberikan izin penambangan kartz di pulau ini. Ada cerita orang disergap macan tutul karena daerah mereka dijadikan tambang. 

Saya datang ke Petapaan Cemara Putih --biasa disebut Jambe Lima karena ada lima pohon jambe, dahulu kala. Pertapaan ini terletak di daerah Cilacap, di kawasan hutan Gunung Selok. Jalanan curam, banyak tempat belum ada listrik.

Mbah Salio, seorang Kejawen, mengantar saya untuk masuk ke petapaan. Dia membakar kemenyan serta berdoa. Presiden Soeharto dulu pernah ziarah ke pertapaan kuno ini. Saya baca buku David Jenkins berjudul Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945 guna tahu perjalanan spiritual Soeharto dari desa Kemusuk di Yogyakarta (kelahiran 1921) hingga jadi presiden di Jakarta.

Petapaan ini terletak sebelah vihara Buddha, yang kosong tanpa penjaga (mungkin sedang pergi) kecuali beberapa anjing. Di Jambe Lima, kami dapat kunci untuk masuk ke kamar dalam dimana ada lukisan Ratu Roro Kidul serta Petruk, Gareng dan Bagong. Atau mungkin Semar? 

Mbah Salio juga mengajak saya pergi ke Gunung Srandil dekat Jambe Lima. Dia berdoa di sana dalam bahasa Jawa. Dia sebut nama saya dalam doanya. Sesudah berdoa, dia tanya apa yang hendak saya mintakan.

Saya ingin prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan dihormati di  Indonesia. Saya harap pasal penodaan agama dihapus. Saya harap peraturan rumah ibadah ditinjau ulang dan dibuat tanpa veto mayoritas terhadap minoritas.  

Dia terdiam ... lantas bakar kemenyan. 

Acara terakhir, minum teh dengan daun tanaman sendiri.



Thursday, September 30, 2021

Susanna Harsono terkena stroke di Jember

PADA 6 September, Metri Harsono, mama saya, pertama kali menengok anaknya, Susanna, adik saya, yang masuk rumah sakit di Jember sejak 21 Agustus. 

Mulanya, Susanna diduga terkena coronavirus dan dibawa ke rumah sakit Bina Sehat, Jember. Namun hasil tes tiga hari kemudian negatif. Di Jember, tes coronavirus memang tak secepat di Jakarta. 

Maka dilakukan berbagai usaha kedokteran lain untuk tahu mengapa Susanna tiba-tiba tak bisa jalan bahkan berdiri. Dia terlihat lemas terus, perlahan-lahan sejak Mei. 

Rebeka, saudara kembar Susanna, menemani terus di rumah sakit Bina Sehat. Rebeka terpaksa juga ikut tinggal dalam kamar sakit karena pandemi. Dia tak bisa keluar masuk. Saya salut lihat kesabaran dan ketelatenan Rebeka merawat saudaranya, dari kasih makan sampai kebersihan. 

Pada 1 September, Susanna dipindah dari Bina Sakit ke rumah sakit daerah Soebandi, Patrang, Jember, dimana ada dokter Evy Tyaswati, seorang psikiater, yang sudah merawat Susanna hampir dua dekade karena schizoprenia. Tyaswati dengan sigap menerima kehadiran pasien langganan. 

Diagnosanya, Susanna mengalami penyempitan pembuluh darah otak. Ini bikin dia lumpuh dari leher ke bawah, badan sebelah kiri. Ada lima dokter, termasuk Tyaswati, yang memeriksa dgn macam-macam spesialisasi. Lantas ada tulang pinggul retak, mungkin akibat jatuh di toilet. Juga kekurangan nutrisi.

Mama tak bezoek selama ini karena pandemi. Dia sudah berumur 78 tahun serta belum vaksin. Pada 6 September, pertama kali dia melihat anaknya di rumah sakit. Saya tak bisa bayangkan bila saya harus melihat anak saya sendiri lumpuh. Perasaannya pasti berkecamuk.

Para perawat mengatakan agar kami bersiap dengan Susanna kembali ke rumah dengan kursi roda. Dia tampaknya perlu perawatan 24 jam sehari karena dia tak bisa makan dan minum sendiri, tak bisa duduk, berdiri apalagi berjalan. 

Pada 10 September, Susanna diizinkan pulang ke rumah di Jember dengan check up setiap minggu. Dia akan berobat jalan dengan fisioterapi agar ada perbaikan dari otaknya supaya bisa memerintahkan otot-otot bergerak. Organ-organ lain normal. 

Ini masa yang sulit buat saya pribadi. Ada puluhan kawan serta beberapa kerabat saya meninggal selama pandemi. Saya mengantar Rebeka berobat di Jakarta awal Mei selama dua minggu. Mama sendiri masuk ke rumah sakit karena malnutrisi pada 23-25 Mei. Dia ditemukan pingsan dalam rumah. Susanna menemani mamanya di rumah sakit. Rebeka lantas pulang ke Jember pada 8 Juni. 

Bulan Juli, saya sekeluarga terkena coronavirus di Jakarta, harus isolasi mandiri. Di Pontianak, Kamal, adik ipar isteri saya, meninggal karena penyakit hati pada 2 September. Hampir setiap hari saya bikin video call dengan Susanna, lewat bantuan Rebeka, dan mengajaknya bicara. 

Update

Pada 30 September 2021 Susanna bisa jalan dengan memakai tongkat dari ranjang ke kamar mandi. Ini perkembangan baik tentu. Namun buat bergerak jauh dia masih harus pakai kursi roda. 

Thursday, September 02, 2021

Kamal bin Yatem meninggal dunia di Pontianak, usia 45 tahun

Kamal bin Yatem, saudara ipar saya, meninggal dunia di rumah sakit Sudarso, Pontianak, dengan penyakit hepatitis B dan livernya mengeras. Dia meninggal siang ini dalam usia 45 tahun. 

Kamal seorang sopir, etnik Madura, kelahiran Pontianak, bekerja lama di klinik bersalin Amanda di Pontianak hingga tahun 2019 ketika membeli sebuah toko makanan burung dan burung berkicau. Kamal memang suka dengan burung dan tanaman. Tangannya dingin dengan tanaman, banyak pohon dibesarkannya. 

Dia seorang pendiam dengan kepribadian menyenangkan. Kamal beberapa kali menemani saya ketika wawancara "orang-orang berbahaya" di Pontianak. Dia juga biasa menemani saya bila wawancara ke rumah-rumah warga minoritas termasuk orang Madura, Ahmadiyah, Millah Abraham dan lainnya. 

Hari Minggu, 29 Juli 2021, Kamal dibawa ke rumah sakit daerah Pontianak, sesudah jatuh dan muntah darah di kamar tidur. Sakit hepatitis "sangat serius," kata salah seorang keponakannya. 

Isterinya, Tursih Satoeri (baju pink), adalah adik dari isteri saya, Sapariah Saturi. Tursih seorang guru di sebuah sekolah negeri di Kubu Raya. Kamal meninggalkan tiga anak Kayla (12), Binar (4) dan Rumeksa (2). 

Ini kehilangan besar buat keluarga besar di Pontianak. Dia disukai oleh keluarga dan kawan, termasuk keponakan-keponakan, yang biasa memanggilnya "Aak." Dia orang yang suka mengulurkan tangan dan bantu sesama. Saya berduka dengan kepergiannya, kepikiran dengan ketiga anak kecil, yang ditinggalkan ayah mereka. 

Thursday, August 12, 2021

Selalu taruh tanda petik bila menulis "tes keperawanan"

SAYA usul setiap kali Anda menulis istilah "tes keperawanan," selalu ketik di antara tanda petik. Ini mendasar karena kegiatan memegang vagina serta memeriksa hymen, yang merendahkan perempuan tsb, sebenarnya hanya ilusi.

Praktek tsb tidak ada dasar keilmuannya. Menurut World Health Organisation, tak ada metode yang bisa membuktikan seorang perempuan, maupun lelaki, pernah berhubungan seks atau tidak. Ia menerangkan, "... the appearance of a hymen is not a reliable indication of intercourse and there is no known examination that can prove a history of vaginal intercourse."

Istilah hymen sebaiknya juga ditulis himen dalam Bahasa Indonesia --bukan "selaput dara."

Kenapa?

Kata "dara" (perawan) bisa dikonotasikan dengan "darah" yang keluar dari vagina bila perempuan berhubungan seks pertama kali. Ini juga ilusi. Saya dulu juga percaya ini sampai saya belajar dan membaca, sejak 2014 ditugaskan Human Rights Watch, untuk meneliti praktek ini di Indonesia. 

Namun ilusi tsb dipercaya banyak orang di Indonesia --termasuk para lelaki (senior) yang mengambil keputusan soal praktek ini-- dan dijalankan oleh berbagai dokter, suka atau tidak suka, dengan berbagai traumanya pada perempuan korban. Saya seringkali mendengar berbagai pembelaan para lelaki yang membela praktek ini, dari yang bisa diterima akal (jujur bilang ini keputusan organisasi) sampai yang muter-muter, banyak bohong, bikin perut mules. 

Praktek ini merendahkan perempuan, bikin trauma, dan diskriminatif. Ia harus dihentikan. Human Rights Watch, berkat riset dan masukan dari dua peneliti, Aruna Kashyap dan Nisha Varia, mewajibkan pengetikan "virginity test" dengan tanda petik. 

Laporan Human Rights Watch

Pada tahun 2014, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang praktik tersebut di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dengan wawancara korban di beberapa provinsi termasuk polwan yang mengalaminya pada 1965. 

Pada Januari 2015, Human Rights Watch bersama Nihayatul Wafiroh (jilbab kuning), politikus Partai Kebangkitan Bangsa asal Banyuwangi, bertemu dengan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia guna membicarakan praktek tersebut. Wafiroh mengangkat persoalan ini dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat. 

Pada tahun 2015, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang praktik di lingkungan militer Indonesia – angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara – di mana ia minta perhatian 16 angkatan bersenjata dari 16 negara sahabat untuk angkat bicara. Mereka hadir dalam sebuah pertemuan International Committee of Military Medicine di Bali. Ada 23 korban yang buka suara dalam wawancara dengan Human Rights Watch dari ketiga angkatan. 

Pada tahun 2018, Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang bagaimana Ikatan Dokter Indonesia serta Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia tetap diam, tak mengeluarkan sikap soal praktek yang merendahkan perempuan dan tanpa dasar keilmuan tersebut.  

Pada Mei 2018, Human Rights Watch beserta Brigadir Jenderal Sri Rumiati (batik merah putih), seorang pensiunan polwan yang tanpa lelah protes soal praktek ini sejak 2006, bertemu dengan pengurus Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta. Individu dokter sering beri informasi kepada kami namun organisasi-organisasi mereka bungkam. 

Pada 18 Juli 2018, ada diskusi soal "tes keperawanan" di Jakarta dimana beberapa dokter, termasuk Mayor Jenderal TNI-AD Daniel Tjen (baju putih), pensiunan dokter militer dan mantan kepala Pusat Kesehatan Tentara Nasional Indonesia, ikutan bicara. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga datang. 

Daniel Tjen bilang organisasi militer adalah organisasi top down. Para dokter militer, yang sadar bahwa praktek ini tak ada dasar keilmuannya, tak bisa memutuskan praktek ini dihentikan. Dia berharap semua pihak bekerja sama untuk advokasi persoalan ini. 

Komnas Perempuan memainkan peran sangat penting dalam advokasi terhadap dihentikannya praktek ini. Beberapa tokoh perempuan juga datang termasuk Julia Suryakusuma, kolumnis Jakarta Post, yang besoknya berulang tahun.

Pada Juli 2021, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa memerintahkan agar semua praktek ini dihentikan. Perkasa mengatakan para pelamar pekerjaan dalam Angkatan Darat seharusnya hanya boleh dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk ambil bagian dalam latihan fisik. Dia menambahkan bahwa permohonan yang diajukan anggota Angkatan Darat laki-laki untuk menikah hanya mencakup “urusan administrasi” tanpa memerlukan pemeriksaan medis atas calon mempelainya.

Sebenarnya, secara lebih diam-diam, Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian Indonesia sudah hentikan praktek ini masing-masing pada 2014 dan 2015 sesudah muncul laporan Human Rights Watch. Namun keputusan tersebut tak begitu banyak diliput media. 

Andika Perkasa lantas diangkat sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Perkasa memerintahkan agar keputusan tersebut dijalankan juga buat Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada April 2022, semua matra dalam militer Indonesia sudah resmi hentikan praktek "tes keperawanan" yang langgar hak perempuan dan tidak ilmiah ini. 

Tuesday, August 03, 2021

Indonesia Army Chief to Terminate Unscientific ‘Virginity Test’

Female Recruits Subjected to Abusive, Discriminatory Practice for Decades

Female national army officers and police officers escort hundreds of women who packed the area in front of the State Palace in Jakarta, Indonesia on March 8, 2020, in commemoration of International Women's Day. ©2020 Kuncoro Widyo Rumpoko/Pacific Press/Sipa USA/AP Images


Andreas Harsono

Indonesian Army Chief Gen. Andika Perkasa told army commanders in July that the required medical check-up in the recruitment process for female officers should be similar to the male medical test, signaling the end of the so-called “virginity test.”

He said applicants should only be assessed on their ability to take part in physical training, adding that the application for male army personnel to get married should now cover only “administrative matters” without requiring a medical check of officers’ fiancées.  

This is a reference to an apparent decision to stop the abusive, unscientific, and discriminatory “virginity test” that all branches of the Indonesian military have used for decades for female recruits. The requirement had been extended in some cases to female fiancées of military officers.

“Virginity testing” is a form of gender-based violence and is a widely discredited practice. The testing includes the invasive practice of inserting two fingers into the vagina to supposedly assess whether the woman has previously had sex. In November 2014, the World Health Organization issued guidelines that stated, “There is no place for virginity (or ‘two-finger’) testing; it has no scientific validity.”

Human Rights Watch first exposed the use of “virginity tests” by Indonesian security forces in 2014, but while police have ceased the examinations, the government  has failed to stop the practice by the military. The Indonesian Society of Obstetrics and Gynecology and the Indonesian Medical Association remained silent and never demanded that the military cease inflicting the procedure on female applicants.

Individual doctors, including those in the military, have regularly provided information to Human Rights Watch about the continuing practice. Dozens of women subjected to the “virginity test” when they married into military families in Indonesia also quietly spoke against the practice.

General Perkasa said that the army’s medical officers and hospital directors will inform the commanders about the new procedures.

The army command is doing the right thing. It is now the responsibility of territorial and battalion commanders to follow orders, and recognize the unscientific, rights-abusing nature of this practice. Increased pressure also needs to be focused on the top commanders of the navy and the air force to follow the army’s lead, and end this practice.

Thursday, July 22, 2021

Carmel Budiardjo: A Lifetime Campaigning for Everyone in Indonesia

Andreas Harsono

Multatuli Project

In August 2005, I visited Carmel Budiardjo, then an 80-year-old human rights campaigner, in her London townhouse. We talked on the second floor, which was also the office for Tapol, the human rights organization that she helped set up in 1973 (in Indonesian, the word “tapol” stands for tahanan politik – political prisoner).

In the 1970s, Tapol led a global campaign to release the approximately 30,000 political prisoners held by the then-dictator, Soeharto. It prompted US President Jimmy Carter in 1978 to call for the prisoners’ release. Soeharto released almost all of them, keeping several dozen jailed in Jakarta. Tapol later became a leading voice on rights issues in Indonesia, particularly in the troubled areas of Aceh, East Timor and West Papua.

Carmel, who passed away in London on July 10 at 96, is among the very few people whose work in the region has been recognized in both conservative Muslim areas, like Aceh, and predominantly Christian areas, like East Timor and West Papua. Her efforts to release and then help political prisoners were immeasurable. In 1995, she received the Right Livelihood Award in Sweden. In August 2009, East Timorese President José Ramos-Horta, who had helped campaign for East Timor’s independence from Indonesia, presented her with the Order of Timor Leste. She also received awards from independent groups in Aceh and West Papua. She is probably the only person to receive such wide recognition from so many diverse groups in this archipelago.

In 2005, she and I talked about why many people living in Java, Indonesia’s most populous island and home to the capital, were oblivious to the disparities between Java, as Indonesia’s “core”, and the “outer islands” (which the Dutch colonists called the Buitengewesten, or Outer Territories). 

“It also applied to me when I lived in Jakarta in the 1950s,” she told me. 

“Only when I left Indonesia in 1971, I began to understand the problem. I was caught up by the concept of the liberation of West Papua in the 1960s. I had to be outside Indonesia to begin to think about the reality of Indonesia. West Papua is not necessarily a legitimate part of Indonesia.”

Carmel also spoke about the underlying causes of human rights abuses in Indonesia. The notions of a nation-state and a sense of equal citizenship are very thin in Indonesia. Many dominant identities, whether as Muslims or ethnic Javanese, are often used to discriminate against and repress minorities, which frequently led to violence. 

“I am not an advocate of breaking apart Indonesia,” she told me. 

“But in West Papua and Aceh, there are strong feelings of injustice and their own nationalisms. West Papua was an international issue. The Act of Free Choice in 1969 was an absolute fraud.”

Carmel was born in London in 1925, between the two world wars, into a Jewish family, whose anti-fascist views influenced her left-wing politics. In 1947, she met Suwondo Budiardjo, a young Indonesian official, in Prague. They married and moved to Jakarta in 1952. She worked as a translator and later wrote economic analyses and speeches for both President Sukarno and the Indonesian Communist Party. When General Soeharto toppled Sukarno in 1965, her husband was jailed for “political offenses” and spent 12 years in prison without trial. Carmel herself spent three years in detention, also without trial, before her deportation in 1971. She wrote about these years in her heartbreaking memoir, Surviving Indonesia’s Gulag.

When she returned to London, her townhouse became a gathering place for activists from all backgrounds. Over Chinese food, she told me about the need for raising awareness about nation building and the stories of political prisoners, as well as about her hopes for Timor Leste, a new nation that ended Indonesia’s occupation and had no political prisoners.

Though much time passed since we last spoke, all of our conversations are still relevant to the challenges Indonesians and others face today. Carmel was a towering figure. As James Ross, a longtime Human Rights Watch colleague, wrote after hearing of her passing, “If there were a human rights movement Hall of Fame, Carmel would have been one of the first inductees.”


Andreas Harsono works for Human Rights Watch. He is the author of Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia (2019), in which excerpts of his interview with Carmel Budiardjo were first published.