Wednesday, March 05, 2008

Nisa, Pancake dan Es Pohon Aren


Nisa Rachmatika, seorang mahasiswi komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung, datang ke apartemenku Jumat lalu. Tujuannya, dia dan Diemas Kresna Duta, sesama mahasiswa Padjadjaran, minta agar aku bicara dalam suatu acara mereka di Bandung. Goenawan Mohamad juga setuju datang ke Bandung. Sayang sekali, minggu depan aku sudah janji datang ke Semarang dan Salatiga.

Namun Nisa mengirim SMS dan belakangan menulis pertemuan tersebut dalam blognya bungkusterasi.wordpress.com. Aku ambil beberapa alinea buat membantu menggambarkan --dari pandangan orang ketiga-- tentang hubungan Norman dan aku. Agak tersipu ketika tahu mereka memergoki kami, di pinggir jalan, dekat stadion Senayan, sedang minum segelas es air legen dari pohon aren.


Malam itu Andreas asyik memasak pancake untuk anaknya, ketika aku dan seorang kawan memutuskan untuk bertandang dari Bandung. Di apartemennya, Andreas menyambut kami dengan sangat ramah, walau kedua tangannya tak henti menyiapkan ini dan itu. Anak semata wayangnya yang asyik menonton televisi datang mengambil pancake hangat yang sengaja Andreas buat. Andreas tersenyum senang.

Dua orang yang dikenal malas mandi, malas mendengarkan dosen, dan malas mengerjakan tugas, tiba-tiba saja dengan semangat menggebu ingin bertemu dengan orang-orang yang namanya hanya sering disebut di buku. Bandung – Senayan - Utan Kayu – Senayan - Bandung, rasanya seperti berangkat dari kamar kosan ke kampus.

Kini Andreas duduk di hadapanku. Kaus putihnya senada dengan parasnya yang selalu menimbulkan respek. Sikapnya yang antusias membuat kami merasa sangat diperhatikan. Sorot matanya sangat ramah. Tapi di panasnya malam Jakarta, Andreas malah bercerita tentang keluarganya.

Kecintaan pada anak semata wayangnya, Norman, yang tak bisa ia sembunyikan, mantan istri pertamanya yang tak kunjung ia mengerti, hingga baby sitter Norman yang ternyata dipecat mantan istrinya pagi tadi.
“She is the only light, the only candle in the darkness…” Seingatku, itu yang dituliskan Norman pada Komisi Perlindungan Anak tentang baby sitter itu. Dan kini ia telah pergi.

Saat mengungkapkan semuanya, tiba-tiba dalam sorot matanya yang ramah, kulihat ada kepedihan…

Tapi aku memang tak bisa berkata apa-apa. Aku mengutuk diriku karena tak mampu melakukan apapun untuknya. Apa yang mampu kulakukan hanya satu, mengirimkan beberapa pesan singkat ketika aku berada dalam bus, yang mungkin tak akan mengubah apapun baginya.

Sebelum malam itu aku dan kawanku tersenyum simpul. Sebabnya, siang hari sebelum kami mendatangi apartemen Andreas, secara tak sengaja kami berpapasan dengannya. Kulihat ia berjalan sambil mengapit lengan putranya, Norman. Dua orang itu kemudian berhenti di pinggir jalan sambil menikmati es tebu. Sungguh pemandangan yang semakin sulit didapatkan di pinggiran kota Jakarta. Ah, andai saja kami membawa kamera…

No comments: