Friday, April 08, 2005

Ule Lheue Diterkam Tsunami

Aku tak tahu sejak kapan aku mulai memperhatikan penderitaan rakyat Acheh. Mungkin pertemanan. Sama dengan ketika pertama kali kenal dengan Manuel Abrantes, seorang aktivis Timor Leste di Salatiga pada 1980-an. Manuel mengajarku soal penderitaan rakyat Timor Leste. Manuel bilang orang Indonesia baik, tapi tentara-tentara Indonesia banyak bikin orang Timor Leste menderita.

Aku bisa kenal dengan Manuel karena kami sama-sama kuliah di kampus yang sama. Sebuah kebetulan. Tapi Acheh? Aku dulu tak punya banyak kawan dari Acheh. Maklum, aku kuliah di sebuah universitas Kristen. Paling-paling kenal satu atau dua mahasiswa Aceh ketika lagi main-main di Universitas Islam Indonesia di Jogjakarta.

(Setelah Republik Demokratik Timor Lorosae merdeka, Manuel ditunjuk oleh Presiden Xanana Gusmao dan Perdana Menteri Mari Alkatiri menjadi menteri junior urusan hukum)

Tapi kalau aku harus tarik garis mundur dan mencari peristiwa dengan orang Acheh yang paling penting pada titik awal. Aku kira perkenalan dengan Z. Afif adalah titik awal itu.

Afif seorang penyair Acheh tinggal di Stockholm. Ia mengajar Bahasa Acheh untuk anak-anak Acheh yang ikut orang tua mereka mengungsi di Stockholm.

Kejadiannya pada Januari 2001 --ketika aku bikin liputan soal Gerakan Acheh Merdeka di Stockholm, Swedia. Aku mewawancarai baik kubu Hasan di Tiro maupun saingan mereka, MP GAM pimpinan Husaini Hassan. Afif dan isterinya, Rondang Marpaung, datang menemuiku di hotel. Afif lebih dekat dengan kubu Husaini.

Afif bukan tipe orang yang berapi-api. Ia sopan sekali. Kami juga bicara soal Indonesia dengan nyaman. Tak ada nada kebencian pada struktur Indonesia. Afif juga senang melihat dummy majalah Pantau yang aku bawa ke Stockholm karena memang lagi mengerjakan persiapan majalah Pantau.

Mereka cerita riwayat hidup mereka. Hidup di Hanoi, Beijing dan Stockholm karena represi Orde Baru. Afif pula yang secara bijak mendorongku untuk pergi ke Aceh dan melihat-lihat.

Tapi sepulang dari Stockholm, aku harus memimpin Pantau. Aku jadi editor. Aku harus memberikan kesempatan pada orang lain untuk bepergian. Aku sendiri harus jaga gawang di Jakarta. Seorang editor, menurut kepercayaanku, tidak bisa jadi egois. Aku harus memberi kesempatan pada orang lain untuk jalan. Kalau kami ada dana bepergian, biasanya aku memberikannya pada para wartawan.

Apalagi belakangan Chik Rini, seorang wartawan Banda Aceh yang berbakat, ikut gabung dengan Pantau. Aku tak bisa ke Aceh. Rini praktis meliput Aceh dengan sempurna. Ia bahkan membuat laporan "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" yang mendapat banyak pujian.

Namun nasib berkata lain. Majalah Pantau tutup pada Februari 2003. Aku merasa sakit hati. Tapi ada hikmah juga. Aku bisa bekerja lagi sebagai reporter. Aku bisa jalan-jalan lagi. Pada Juni 2003 aku pergi ke Aceh pertama kalinya. Aku keliling ke banyak tempat.

Perjalanan ini jadi awal dari love affair Aceh dan aku. Sama dengan Timor Leste jadi sering aku kunjungi, maka Aceh pun jadi salah satu tempat dimana aku sering datang. Aku bahkan punya hotel langganan, warung kopi langganan, kedai nasi, tukang cukur dan sebagainya. Aku mulai lebih sering menulis soal "Aceh dan Acheh."

Ketika tsunami 26 Desember 2004 menghantam Acheh, aku sebenarnya lagi jalan di pedalaman Sambas di Kalimantan Barat. Aku lagi meliput soal pembunuhan orang-orang Tionghoa 1967 serta Madura 1997-1999. Tapi sempat nonton televisi tentang tsunami. Juga sempat geram membaca pernyataan-pernyataan bodoh para pejabat Jakarta di harian Pontianak Post. Liputan Sambas aku bikin lebih pendek. Aku langsung terbang ke Banda Aceh.


Suatu sore Nani Afrida dan Hotli Simandjuntak, sepasang wartawan Banda Aceh, mengajakku melihat nelayan Aceh menanam bibit pohon bakau di pantai Ule Lheu. Kami datang dengan four wheel drive milik Hotli. Aku bergidik melihat kerusakan di pantai ini. Pada Juni 2003, aku lewat disini, sebuah perkampungan nelayan padat, yang sempat aku rekam dalam tape recorder. Kini ia jadi serakan puing. Ule Lheue salah satu daerah paling rusak karena tsunami 26 Desember 2004.


Sunset in Ule Lheu. Ketika senja menjelang, aku termenung di Ule Lheu. Aku hanya berdiam. Ada keindahan dalam kengerian. Aku melihat para nelayan menanam bakau. “Orang-orang tua kami bilang pohon bakau mengurangi tsunami. Bisa sekilo (meter) kurangnya,” kata seorang nelayan. Aku mengirim SMS kepada banyak teman tentang kerusakan di Ule Lheu ini. Ule Lheue dihajar ombak hingga lebih dari 5 KM. Garis pantai bergeser. Kehidupan mengenaskan setelah 26 Desember 2004.

1 comment:

Radite said...

saya rasa, ada perasaan yang berbeda antara mereka yang sudah seringkali ke aceh sebelum tsunami dan baru ke aceh setelah tsunami.

maaf kalau saya menjadi jujur, tapi menurut saya, segala yang terjadi di aceh sekarang adalah tanggapan yang berlebihan, tanggapan yang sifatnya "aji mumpung". maaf kalau pernyataan saya jadi salah.