Wednesday, February 10, 2021

Kartu Pers Majalah Pantau

Bongkar slorogan dan menemukan kartu pers reporter majalah Pantau buatan tahun 2000. Ia membangkitkan banyak kenangan. Majalah ini terbitan 1999 sampai 2003, tutup beberapa bulan, terbit lagi, Desember 2003, lalu tutup lagi Maret 2004. Ia lantas berubah jadi website dan khusus bikin pelatihan menulis dan jurnalisme. 

Bekerja untuk majalah Pantau adalah salah satu periode kehidupan saya yang paling menarik. Saya pulang dari studi di Universitas Harvard pada Juli 2000. 

Di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan, yang dulu ditakuti banyak wartawan karena wewenang mengawasi media bahkan bredel suratkabar. Ketiadaan Departemen Penerangan berarti orang media sendiri makin perlu mengawasi kerja media dan tantangan jurnalisme di Indonesia. 

Institut Studi Arus Informasi, yang menerbitkan Pantau, minta saya jadi redaktur sepulang dari Harvard. Tujuannya, bikin liputan dan analisis soal media dan jurnalisme di Indonesia agar mutunya ditingkatkan. Mereka ingin masyarakat juga tahu bahwa media bisa mengawasi media. Belajar bersama Bill Kovach dan dosen lain di Harvard membuat saya dianggap dapat banyak ilmu baru di bidang jurnalisme. 

Saya juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994. Pada 1998-1999, saya juga ikut berbagai rapat koalisi Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia buat merancang Undang-Undang Pers yang akhirnya disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan diteken Presiden B.J. Habibie pada 1999. Ia membuat Dewan Pers jadi independen. Saya juga ikut mempersiapkan Kode Etik Wartawan Indonesia. Mereka anggap saya punya modal cukup untuk meliput media. Saya dengan senang hati menerima pekerjaan ini. 

Pada akhir 2000, sesudah mendapat dana awal dari Ford Foundation, saya lantas jalan naik kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung, mencari wartawan, seniman, dan kartunis muda guna memberikan kontribusi buat majalah ini. Ini perjalanan yang membuat saya kenal banyak orang, termasuk Eka Kurniawan, mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan kini novelis terkemuka, maupun Agus Suwage, pelukis di Yogyakarta, yang bersedia menggambar kulit muka perdana, tentu saja dengan dorongan pasangannya Titarubi, kawan lama saya dalam dunia pergerakan. 

Majalah Pantau terbit dengan wajah baru pada Maret 2001. Bulan demi bulan berlalu, dari laporan satu ke laporan lain, dari gambar dan kartun, maka ia menarik lebih banyak talenta. Saya perkirakan 200 orang lebih, yang tentu tak bisa sebut nama mereka satu demi satu, jadi kontributor Pantau. 

Joko Sudarsono, redaktur disain, memperkenalkan saya dengan banyak sekali seniman. Saya bergaul, diskusi, brainstorming dengan mereka, membuat kehidupan intelektual saya makin kaya.

Pada Maret 2003, Institut Studi Arus Informasi menutup majalah Pantau dan setuju ia dilanjutkan oleh para kontributor dengan mendirikan Yayasan Pantau. Saya ikut mendirikan Yayasan Pantau pada 3 September 2003. 

Pada November-Desember 2003, guru saya, Bill Kovach, bahkan datang ke Indonesia, keliling lima kota: Medan, Jakarta, Bali, Surabaya dan Yogyakarta. Kovach meluncurkan edisi Indonesia dari buku The Elements of Journalism.

Kovach terkesan dengan berbagai ide baru yang dibawa Pantau ke berbagai orang media a.l. elemen-elemen jurnalismebylinekulit muka tanpa textnaskah panjang yang mengawinkan disiplin verifikasi dan kenikmatan sastrapagar api antara iklan dan redaksi, honorarium yang layak buat para kontributor dan seterusnya. Pantau memperkenalkan sistem pembayaran honor per kata, waktu itu, Rp 400 per kata, yang paling tinggi di Indonesia.

Coen Husain Pontoh mengatakan pada saya bahwa ketika ruang redaksi majalah tutup, dia kehilangan tempat yang nikmat untuk berpikir dan menulis serta dapat honor yang baik. Kini Pontoh ada di New York dan mengelola website Indo Progress. 

Yayasan Pantau lebih banyak bekerja dalam bidang pendidikan jurnalistik. Ia menerbitkan buku-buku soal jurnalisme. Berkat bantuan RTS Masli, Yayasan Pantau dapat kantor di Kebayoran Lama sejak 2004. Dari kantor baru ini dibikin puluhan pelatihan setiap tahun, praktis dari Sabang sampai Merauke. Yayasan Pantau pernah menyewa Hotel Sabang Hill serta meminjam sebuah biara Katolik di Merauke. Ia mengandalkan website, pernah punya kantor cabang di Banda Aceh dan Ende, buat dua proyek yang relatif besar. 

Ada lebih dari 10,000 orang pernah ikut pelatihan Yayasan Pantau sejak tahun 2000. Salah satunya Oktavianus Pogau, wartawan muda asal Sugapa, Papua, yang berbakat menulis, haus akan pengetahuan serta pemberani. Dia mendirikan Suara Papua namun meninggal usia 23 tahun. Namanya dijadikan nama penghargaan jurnalisme oleh Yayasan Pantau.  

Pengalaman pelatihan dari kota ke kota, dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Flores, Timor, sampai Ternate, bikin saya lebih mengerti berbagai persoalan media lokal di kepulauan ini. Ia mendorong saya menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Saya pindah kerja ke Human Rights Watch pada Juli 2008 dengan tugas pertama bikin analisis soal diskriminasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap minoritas Ahmadiyah.

Pengalaman bekerja buat dua organisasi ini, Yayasan Pantau dan Human Rights Watch, membuat saya punya rekam kerja dalam dua bidang: jurnalisme serta riset hak asasi manusia. Saya bersyukur bisa belajar dua hal yang penting buat kemanusiaan dan demokrasi. 

Sayangnya, saya tak mengalami bagaimana memakai teknologi internet buat mengembangkan jurnalisme di Indonesia. Makin cepatnya saluran internet di Indonesia serta menguatnya Google, Facebook, Twitter dan lainnya, terjadi ketika saya sudah pindah ke Human Rights Watch. 

Kartu pers ini dibikin majalah Pantau sebagai tanda pengenal. Geli juga lihat saya juga yang tandatangan kartu ini. 

Bikin sendiri, teken sendiri, pakai sendiri. 



No comments: