Monday, February 25, 2008

Obama dan Anomali Faktor SARA

Christianto Wibisono
Suara Pembaruan


Di tengah gelombang idolisasi Obama, di AS tetap saja muncul faktor SARA yang mulai mencuat. Pada siaran CNN Kamis (21/2) pagi atau Rabu malam waktu AS, Joe Cafferty menyatakan kepada Wolf Blitzer sebagai berikut: "Wolf , every candidates are counting and embracing block voting, black, women, Asian, Hispanics, but there are majority groups which had been left out. And that is the white male group, yes Wolf men like you and me, have been left out in this election while we are the largest block vote in the US."

Fenomena Obama berdampak pada percaturan politik domestik di berbagai negara termasuk Indonesia. Ketua Golkar Muladi menyatakan bahwa meskipun Golkar menang 70 persen lebih baik tetap mempertahankan duet SBY - JK karena faktor Jawa - luar Jawa. Pernyataan itu dikritik oleh Akbar Tandjung yang ingin come back jadi calon presiden (capres) bila Golkar menang dalam Pemilu 2009. Jika selama ini Wapres Jusuf Kalla agak malu-malu kucing dan pasrah menerima nasib bahwa Indonesia belum bisa menerima suku luar Jawa sebagai Presiden, maka terobosan Obama bisa mencuci dogma tersebut. Ketika Habibie menjadi presiden, dogma itu sudah pecah di luar kekuasaan elite Indonesia. Krisis moneter menggusur Soeharto, yang merasa ditinggalkan oleh Habibie. Sampai akhir hayatnya Soeharto dan keluarga tidak bisa memaafkan Habibie.

Pada suatu curhat dengan Soegeng Saryadi setelah lengser, Soeharto malah bilang Habibie itu kualat. Soeharto punya 6 wapres: 3 Jawa, 1 Sunda, 1 Sulawesi, 1 Batak,

Setelah Reformasi, naiknya Gus Dur dan Mega melalui manuver Poros Tengah tidak langgeng dan Gus Dur turun diganti duet Mega Hamzah yang kalah pada Pemilu 2004, SBY - JK kembali ke formula 1945, Jawa - luar Jawa. Bila di kalangan masyarakat yang sebelum reformasi disebut pribumi saja masih ada pencadangan untuk mayoritas, maka tentu masih jauh bagi Indonesia untuk mencapai terobosan keturunan Tionghoa menjadi cawapres atau capres. Apalagi kelompok masyarakat ini praktis baru mulai bergairah dan diberikan keleluasaan berpolitik setelah Reformasi. Pada periode Orde Baru, tokoh keturunan Tionghoa harus rela hanya menjadi adviser atau pelaku di belakang layar. Meskipun pengaruh dan dampak politik Harry Tjan dan Wanandi bersaudara barangkali malah lebih besar dari Menteri Oei Tjoe Tat.

Oposisi

Di era rezim manunggal Soeharto tidak ada oposisi atau alternatif, karena itu baik elite keturunan Tionghoa maupun elite mayoritas akan digusur bila berani menjadi oposisi. Dua generasi elite politik terhadang kariernya. Di antara yang tergusur adalah rekan-rekan seperjuangan yang berada di garis depan pada penggulingan Bung Karno 1966. Mertua SBY, Letjen Sarwo Edie Wibowo, adalah korban marginalisasi elite yang dianggap potensial bisa menyaingi dirinya. Karena itu Soeharto tidak pernah mau memberikan posisi strategis atau tingkat menteri kepada Sarwo Edie.

Letjen Dharsono dipecat dari jabatan Sekjen ASEAN pada 1978 karena menuntut Soeharto turun setelah dua masa jabatan. Pangkostrad Kemal Idris dan Pangdam VI Siliwangi, Ibrahim Adjie, juga didubeskan karena kritis terhadap Soeharto. Generasi politisi baik jenderal maupun sipil yang umurnya sekarang 60-an, kehilangan peluang untuk menduduki jabatan teras. Generasi Cak Nur, Amien Rais, Nono Makarim, Goenawan Mohamad, dan Marsilam Simanjuntak kehilangan peluang emas untuk memimpin bangsa pada usia '50-an, karena singgasana dimonopoli sampai ke eselon satu oleh "cloning" Soeharto.

Pada masyarakat keturunan Tionghoa juga terjadi kemandekan generasi karena yang berperanan hanya kelompok CSIS dan kemudian konglomerat Yayasan Prasetiya Mulya.

Kwik Kian Gie terjun ke politik praktis akhir 1980-an. Terjadi vakum kaderisasi generasi muda keturunan Tionghoa yang sadar politik. Kini publik lebih mengenal para putra mahkota konglomerat usia 40-an yang melanjutkan imperium bisnis ayah mereka. Sebagian memang mulai terjun ke politik seperti menantu Ciputra dan putra pemilik Bank Mashill.

Ketika menghadiri pernikahan putri Prayogo Pangestu di Ritz Carlton Singapura pada 16 Februari saya menyaksikan generasi kedua konglomerat telah mendampingi para pendiri imperium bisnis Indonesia Inc yang teoretis mestinya akseptabel secara nasional. Tapi, warisan permasalahan masa lalu tetap mengganjal. Konglomerat itu aset nasional atau liabilities karena isu BLBI dan derivatnya yang diwarnai SARA.

Faisal Basri menulis secara jernih bahwa obligasi rekap bank BUMN justru menjadi beban terbesar bagi Pemerintah RI. Indonesia Inc baik konglomerat maupun BUMN telah mengalami set back dan sekarang sebagian sudah pulih bahkan tumbuh. Merebaknya Sovereign Wealth Fund (SWF) RRT, Timur Tengah, dan Singapura dalam percaturan ekonomi global menggugah Miranda Goeltom untuk membentuk SWF Indonesia. Tapi, kemelut status tersangka Gubernur BI tentu menjadi kendala dalam mewujudkan ide SWF.

Kepedulian Sosial

Saya baru saja membaca buku Cokin yang diedit oleh Ivan Wibowo, yang memuat bunga rampai karangan dari 20 orang yang membentuk Jaringan Tionghoa Muda (JTM). Mereka berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah, tapi mampu menerobos dengan aktivitas dan kreativitas intelektual, serta kepedulian sosial yang energik dan termasuk dalam mainstream penggerak reformasi.

Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Tapi, Ester Indahyani Yusuf saya kenal sebagai aktivis perempuan yang luar biasa, dan berkaliber Hua Mulan dalam legenda Tiongkok. Ivan Wibowo, editor buku, saya lihat sebagai moderator acara peluncuran buku Ester pada 13 Mei 2007. Ivan menulis tentang "Protokol Keselamatan Masyarakat Tionghoa" akibat rezim diskriminatif Orde Baru dan buku ini akan dibedah di CSIS oleh Harry Tjan sekitar Maret mendatang.

Di balik gemerlapan perayaan Imlek Matakin di Balai Sidang dan Capgomeh Forum Bersama Indonesia Tionghoa di Pekan Raya Jakarta, di Pontianak barongsai dilarang atas desakan kelompok masyarakat yang mengklaim mewakili suku dan agama tertentu. Andreas Harsono menulis di blog-nya agar insiden itu jangan disembunyikan, tapi harus dikaji untuk terus memantapkan ketegasan kebijakan non-diskriminatif agar tindak rasisme tidak kambuh.

Tajuk Rencana Kompas Sabtu (23/2) berjudul Merayakan Cap Go Meh, tersirat mengulas larangan barongsai di Pontianak tersebut. Di tengah gelombang pasang reformasi kita harus selalu sadar dan berjiwa negarawan untuk berani mengatasi dan bukan sekadar menyembunyikan pahitnya realitas konflik.

Menghadiri diskusi INTI Jakarta dan Harian Suara Pembaruan, Sabtu (23/2) yang membahas "Sikap dan Partisipasi Kaum Muda Dalam Menentukan Hari Depan Bangsa dan Negara," saya optimistis bahwa generasi elite keturunan Tionghoa dan mayoritas masih bertekad untuk menutup lembaran usang politik SARA secara tuntas. Ketua INTI Jakarta, Benny Setiono, mengorbitkan tokoh muda Yudi Latief (Paramadina), Budiman Sudjatmiko (PDI-P) , Indria Piliang (CSIS), Mahfuds Sidiq (PKS), Ulung Rusman, Nurul Arifin, Hanif Dhakiri, dan Arie Sudjito sebagai panelis. Sedang Hartono Sosrodjojo serta Faizal Reza sebagai moderator.

Masa depan Indonesia akan sangat bergantung pada daya tahan mempertahankan kebijaksanaan yang arif berlandaskan meritokrasi ketimbang terus-menerus mengidap sindrom diskriminasi.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

No comments: