Tuesday, February 14, 2006

Pos 2.14

Oleh Mulyani Hasan

Kontributor Pantau, bekerja sebagai koordinator liputan Bandung TV dan banyak memantau aktivitas politik di Gedung DPRD Jawa Barat. Liputan ini disponsori Unesco Jakarta.


SUATU siang di Bandung. Langit berselimut awan ketika saya tiba di Kelurahan Babakan Tarogong, Kecamatan Bojongloa Kaler. Jasa pengayuh becak mengantarkan saya ke sebuah lapangan yang terletak di tengah-tengah permukiman padat penduduk.

Lapangan itu kumuh. Sampah bertumpuk di setiap sudut. Beberapa pemulung terlihat memilah-milah sampah. Tak jauh dari sana, anak-anak sekolah berseragam putih-biru bermain bola.

Tiga tahun silam, tepatnya 28 Juni 2002, di situ Partai Keadilan Sosial (PKS) membagi-bagikan sembilan bahan pokok (sembako) dan pengobatan gratis untuk warga tak mampu. Setiap keluarga mendapat dua kilogram beras, minyak goreng isi dua ons, satu kilogram gula pasir, dan lima bungkus mie instan. Jumlah yang mendapat santunan lebih 100 keluarga.

Warga senang dengan pembagian itu. Nyai Sutirah (42 tahun), salah seorang warga yang tinggal di Gang Maskardi, rela panas-panasan mengantri untuk mendapatkannya. Sutirah orang kecil. Untuk hidup, dia berjualan makanan camilan gorengan.

Aksi sosial yang dilakukan PKS memicu rentetan pertanyaan. Apa motifnya? Kampanye terselubungkah? Dari mana dananya?

Asal tahu saja, di luar kampung tadi, PKS juga mengklaim telah memberi bantuan sosial kepada warga tak mampu di 25 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hampir bisa dipastikan nominalnya ratusan juta rupiah. Uang yang tak kecil untuk ukuran kas partai baru.

Kotak Pandora terbuka. Aib menyebar. Kepada wartawan yang mengikuti aktivitas PKS di kampung itu, Yudi Widiana Adia mengatakan bahwa dana santunan berasal dari bantuan pemerintah daerah. Yudi ketika itu ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, sebelum kini menjabat ketua umum Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jawa Barat.

Kisahnya ternyata cukup berliku. Kepada saya, Yudi mengatakan, pihaknya pernah mengajukan usulan untuk mendapatkan dana bantuan tersebut melalui fraksi yang dipimpinnya. Pemerintah daerah meresponnya. Masing-masing anggota fraksi mendapatkan kucuran uang senilai Rp 250 juta.

Menurut Yudi, tak hanya anggota fraksinya yang memperoleh uang bantuan, tapi anggota fraksi-fraksi lainnya. Praktis, seluruh anggota DPRD mendapatkannya.

Perbedaan persepsi berkembang. Fraksi-fraksi lain menganggap bantuan tersebut untuk kesejahteraan anggota, khususnya untuk membeli kavling perumahan. Sementara Fraksi Keadilan Sejahtera mengartikannya sebagai ”sumbangan fraksi.” Karena fraksi merupakan kepanjangan partai, Yudi mengalirkan uang itu untuk kepentingan partainya. Dan PKS menggunakannya untuk keperluan pembagian sembako di 25 daerah tingkat dua itu.

Urusan seharusnya selesai sampai di sana. Tapi, muncul pertanyaan ikutan, kenapa anggota DPRD mendapatkan Dana Kavling, bukankah mereka telah diberi fasilitas perumahan? Seluruh anggota DPRD mendapatkan rumah dinas di kompleks Cipageran, Cimahi.


AROMA skandal tercium. Sehari setelah berlangsung aksi sosial PKS, Pikiran Rakyat, suratkabar paling berpengaruh di Jawa Barat, menulis: ”PK Kembalikan Dana Bantuan.”

Yusran Pare, pemimpin redaksi Metro Bandung, segera menugaskan para wartawannya untuk mendalami apa yang terjadi di lapangan. Dia kaget mendengar penjelasan Yudi Widiana Adia. 250 juta rupiah per orang. 25 milyar rupiah. Anggota DPRD Jawa Barat memang berjumlah 100.

Hampir seluruh suratkabar di Bandung ramai-ramai memberitakannya. Selama kurang lebih tiga minggu, Pikiran Rakyat, Galamedia, sampai Metro Bandung berburu kabar terbaru.

Kalangan legislatif di DPRD Jawa Barat berang. Suasana memanas.

”Hampir semua anggota DPRD mangkir kerja, kecuali Yudi,” kata Sulhan Syafii, wartawan Gatra kepada saya. Majalah ini terbilang agresif memberitakan skandal tadi.

Rana Akbari Fitriawan, wartawan Koran Tempo, mengatakan pernah mendapat intimidasi dari satuan petugas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ketika gencar meliput kasus ini. Dia juga pernah beberapa kali akan disuap oleh beberapa orang yang diduga terlibat kasus ini.

Metro Bandung, yang kini bernama Tribun Jabar, pernah akan disomasi oleh Eka Santosa, ketua DPRD.

Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, H.A.M Ruslan –yang juga duduk sebagai anggota DPRD saat itu– mengatakan berada dalam posisi yang serba sulit. Kendati demikian Pikiran Rakyat terus memberitakan skandal ini. ”Saya ini Golkar, tapi tetap sebagai wartawan,” ujar Ruslan, sebagaimana dikutip buku Bola Kavling Gate. Ruslan kini ketua DPRD Jawa Barat.

Pembuka Kotak Pandora, Yudi Widiana Adia, tak kalah repotnya. “Saya mendapat tekanan dalam bentuk teror, kemudian tidak diundang dalam rapat-rapat dewan,” kata Yudi. Seraya menurunkan volume bicaranya, dia menambahkan, ”sempat ada yang mengancam menembak saya.”

Yudi kukuh pendirian. Dia tetap memandang uang itu tak pantas diterima anggota legislatif untuk kepentingan pribadi. Ketika dikatakan bahwa uang bantuan tersebut telah dirapatkan sebelumnya, Yudi membantah mengikuti. “Kononnya sih ada. Kami mengikuti rapat-rapat resmi saja.”

Dalam suatu rapat resmi, Yudi mengatakan dirinya sempat mengkritik pengajuan Dana Kavling yang akan diajukan melalui mata anggaran Pos 2.15, atau anggaran untuk bencana alam. Protes didengar. Pengajuan dana bantuan kini melingkar lewat Pos 2.21, anggaran belanja DPRD. Yudi tetap mengkritik karena anggota DPRD sudah mendapat rumah dinas.

Lantas, kenapa Yudi akhirnya menerima dana itu? Dana bantuan mengucur dari pos lain. Dan lebih dari itu, Yudi beralasan bahwa uang tersebut langsung masuk ke kas fraksi dan bukan orang per orang.

Dalam pandangannya, fraksi bukanlah kelengkapan dewan. Juga bukan bagian dari eksekutif. Fraksi perpanjangan dari partai. Dengan logika ini, keputusan Yudi untuk mengalirkan uang dari fraksi ke partai bertambah kuat.

Pernah mengajukan permohonan untuk soal ini?

Pernah. Tapi Yudi bilang suratnya berisikan tentang bantuan untuk fraksi dan bukan untuk kavling perumahan. Itu pun bukan inisiatifnya.”Kita ditagih surat pengajuan fraksi oleh pimpinan dengan instruksi surat segera diajukan,” ujar Yudi.

Kepemimpinan DPRD Jawa Barat berada di tangan empat orang. Mereka Eka Santosa sebagai ketua dan wakil ketua Kurdi Moekri, Suyaman, serta Suparno.


AGUSTUS 2005. Ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, berukuran sekira 15 x 10 meter, penuh sesak pagi itu. Di luar langit cerah. Wartawan foto berebut tempat untuk mengambil gambar di antara kerumunan orang dan raut-raut muka tegang.

Suasana terfokus pada sosok pria berbaju batik cokelat dan berpeci. Dia Kurdi Moekri, terdakwa kasus korupsi Dana Kavling.

Moekri tampak tegar menyimak pernyataan hakim yang dibacakan bergantian. Sesaat setelah palu hakim menghantam meja, dengan nada tinggi Moekri berkata, “Saya protes atas keputusan ini dan mengajukan banding.”

Dia dinyatakan bersalah dan dihukum empat tahun penjara. Tuntutan jaksa penuntut umum, yang diketuai Happy Hadiastuti, sebelumnya lima tahun penjara. Jaksa mendakwa Moekri telah menguntungkan diri sendiri sebesar Rp 1,45 milyar. Angka itu merupakan selisih dana yang dicairkan Rp 33,375 milyar dikurangi dana yang dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp 7,725 milyar, dikurangi lagi dana perumahan yang telah dibagikan kepada anggota DPRD sebesar Rp 24,200 milyar. Selain itu, Moekri juga didakwa mendapat bunga dari hasil penampungan dana tersebut sebesar Rp 171,144 juta.

Tak hanya penjara, Moekri juga harus membayar denda sebesar Rp 50 juta subsider enam kurungan penjara dan mengembalikan uang sejumlah Rp 600 juta ke kas negara atau subsider satu tahun penjara.

Hal yang memberatkan terdakwa, menurut jaksa, adalah posisinya sebagai pemimpin DPRD yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan.

Moekri, yang tak terima divonis bersalah, tak lagi tenang. Ruangan gaduh. Teriakan histeris, entah dari mana asalnya, memekakkan telinga. Puluhan wartawan kasak-kusuk mencari keping-keping informasi. Lainnya mengabadikan suasana.

Tepat di tengah ruangan sidang, istri terdakwa, Tuti Anisyah, terpuruk lemas. Dia jadi santapan kamera. Entah apa yang menarik bagi wartawan-wartawan foto itu.

Semua orang yang berada di persidangan itu seperti latah. Di mana ada kerumunan, ke sana mereka bergerak. Sementara di luar bunyi pengeras suara memaksa kerumunan orang di dalam gedung keluar.

Massa terbagi ke dalam beberapa kelompok pro dan kontra. Massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai tempat Moekri bernaung, terlihat geram. Suasana mereda setelah massa membubarkan diri. Hukuman bagi sang koruptor menjadi pemberitaan di mana-mana.

Moekri tak langsung masuk penjara. Dia masih menjalankan aktivitas sebagai petinggi PPP Jawa Barat. Kini, selain menjabat sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah PPP Jawa Barat, Moekri juga duduk sebagai anggota Komisi VIII DPR-RI. Saya sempat menemuinya di kantornya di Jalan Pelajar Pejuang 45 Bandung, selang dua bulan setelah jatuhnya vonis itu. Kurdi Moekri berpakaian safari, tampak cerah seperti tidak ada beban.

“Saya tidak mau dihukum lebih berat gara-gara pemberitaan Anda,” kata Moekri, di awal wawancara. Menurutnya, ”apa yang terjadi pada kasus Dana Kavling jelas terang-terangan dan masuk dalam anggaran APBD.” APBD yang dimaksud adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Berangkat dari sana, Moekri memandang perlu adanya penjelasan konsep mengenai korupsi yang dituduhkan kepadanya.

Konsep tadi sebenarnya sudah dijelaskan panjang lebar dari satu sidang ke sidang lainnya. Tak hanya sidang yang menghadapkan Moekri selaku terdakwa korupsi Dana Kavling, tapi juga sidang gugatan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung dan West Java Corruption Watch (WJCH) terhadap DPRD dan pemerintah daerah Jawa Barat.

Mereka menilai Dana Kavling tersebut adalah usaha akal-akalan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Caranya, para anggota DPRD mengambil dana bantuan tersebut dari APBD melalui Pos 2.14, padahal mereka memiliki pos tersendiri yakni Pos 2.21. Yang disebut terakhir adalah anggaran peruntukkan untuk DPRD.

Dari dokumen-dokumen, saya mendapatkan penjelasan bahwa mata anggaran eksekutif pada Pos 2.14 diperuntukkan untuk sembilan kegiatan, yang meliputi:

♦ 2.14.1131 : Bantuan kepada instansi vertikal dalam negeri.
♦ 2.14.1132 : Bantuan kepada instansi vertikal lainnya.
♦ 2.14.1133 : Bantuan kepada partai politik.
♦ 2.14.1134 : Bantuan kepada organisasi profesi.
♦ 2.14.11345 : Bantuan kepada organisasi sosial.
♦ 2.14.11346 : Bantuan untuk sarana dan prasarana keagamaan.
♦ 2.14.11347 : Bantuan untuk sarana dan prasarana pendidikan.
♦ 2.14.11348 : Bantuan untuk sarana dan prasarana kesehatan
♦ 2.14.11349 : Bantuan kepala organisasi pemuda, peranan wanita, olahraga, dan kebudayaan daerah.

Dana Kavling diambil dari Pos 2.14.1132 atau bantuan kepada instansi vertikal lainnya. Tapi, di mana letak kesalahannya?

Dalam surat dakwaannya, jaksa Happy Hadiastuti mengungkapkan, penggunaan pos itu melawan hukum lantaran tidak sesuai dengan peruntukkan. Dasarnya adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 huruf k yang menyebutkan: ”Instansi vertikal adalah perangkat departemen dan atau lembaga pemerintahan nondepartemen di daerah.”

Untuk sekadar menyebut contoh, beberapa yang disebut instansi vertikal adalah kejaksaan tinggi, kantor wilayah kehakiman, kepolisian daerah, dan kantor-kantor wilayah lain. DPRD jelas-jelas bukan instansi vertikal, melainkan penyelenggara pemerintah daerah berdasarkan asas desentralisasi yang mengacu Pasal 1 huruf d undang-undang tadi.

Ada sederetan peraturan lain yang juga dilanggar dengan semena-semena. Taruh saja Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 17 tahun 2000. Dalam pasal 5 ayat 3 disebutkan, ”Belanja atas APBD tidak diperkenankan jika untuk belanja tersebut tidak tersedia anggarannya atau untuk tujuan lain selain ditetapkan APBD.”

Bahkan, penggunaan mata anggaran pada Pos 2.14 itu melanggar aturan yang dibuat DPRD sendiri. Simak misalkan Keputusan DPRD Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2002 tentang perubahan atas Keputusan DPRD Jawa Barat No. 42 tahun 1999. Ini adalah peraturan tatatertib yang mengatur hak-hak keuangan dan administrasi DPRD.

Pasal 20 ayat 1aturan tadi menyebutkan bahwa ”untuk penyelenggaraan kegiatan DPRD atas beban APBD disediakan pembiayaan yang meliputi: uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan komisi, tunjangan khusus, tunjangan perbaikan penghasilan, tunjangan panitia, tunjangan kesejahteraan dan kesehatan, tunjangan perjalanan dinas, biaya penunjang kegiatan, serta pakaian dinas.” Di sana tak terdapat peruntukkan bantuan Dana Kavling.


SAYA punya salinan dokumen dua lembar kertas model continuos form, bolak-balik. Ini sebuah memo, yang berdasarkan kop suratnya, biasa digunakan di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat. Halaman pertama berisikan kop dan logo, kedua nomor rekening seseorang, dan ketiga sebuah draft surat dengan tulisan tangan, sedangkan keempat kosong.

Draft tulisan tangan di halaman ketiga itu menyediakan kolom tanda tangan atas nama ”wakil ketua DPRD Jawa Barat, Drs. H.A. Kurdi Moekri.” Kepala surat menandakan draft ini dipersiapkan untuk ditujukan kepada ketua DPRD Jawa Barat, dengan agihan waktu 23 April 2001. Surat berkenaan dengan ”Peningkatan Kinerja DPRD Jabar” bernomor 160/433-Setwan. Isinya melulu rincian uang senilai total Rp 15 milyar, yang peruntukkannya meliputi pengadaan 120 unit kavling, biaya administrasi kavling, pajak 15%, serta biaya operasional dana taktis pemimpin DPRD ”dalam mengantisipasi berbagai aspirasi masyarakat.”

Santer dikabarkan, nota itu adalah tulisan tangan Ijuddin Budhyana, kepala Biro Keuangan Pemerintah Daerah Jawa Barat, yang kini jadi kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Kepada saya, Budhyana membantahnya.

“Saya merasa dijebak,” ujar Kurdi Moekri, seraya membenarkan bahwa tulisan tersebut bikinan Budhyana. “Saya di-guidance,” katanya. Guidance versi Moekri adalah ”dituntun atau diberi petunjuk,” bukan atas inisiatif sendiri.

Menurut Moekri, dorongan untuk mendapatkan Dana Kavling berasal dari koleganya di DPRD Jawa Barat. Moekri didesak terus-menerus untuk merealisasikan bantuan Dana Kavling. Dia bahkan sering mendengar celetukan-celetukan anggota legislatif di luar rapat formal yang berbunyi ”turun pimpinan.” Ada juga beberapa orang yang mendatangi Eka Santosa untuk percepatan proses pencairan ini.

Moekri bilang dana tersebut diajukan oleh seluruh fraksi untuk peningkatan kinerja. Kemudian pemimpin DPRD menyampaikannya kepada gubernur melalui rapat formal. Rapat ini antara lain berlangsung di Gedung Pakuan, sehari sebelum APBD 2001 ditetapkan.

Dari beberapa rapat sesudahnya, diperoleh hasil kesepakatan antara pemimpin legislatif dan pemeritah daerah untuk menempatkan dana bantuan tersebut ke dalam Pos 2.14.

Sekretaris Daerah Danny Setiawan selaku ketua Tim Penyusun Anggaran (TPA) pemerintah daerah dikabarkan sempat menolak alokasi dana bantuan tersebut melalui Pos 2.14. Dokumen dari Kejaksaan Tinggi mengungkapkan bahwa penolakan tersebut berlangsung dalam rapat pimpinan antara eksekutif dan legislatif.

Rapat itu antara lain dihadiri oleh kepala Biro Keuangan Ijuddin Budhyana selaku sekretaris TPA. Sedangkan pemimpin legislatif yang hadir adalah Ketua DPRD Eka Santosa, Wakil Ketua DPRD Kurdi Moekri, Suyaman, dan Suparno, serta para ketua fraksi. Hadir juga ketua Komisi APBD Joel Pattipeilohy dan sekretaris Komisi APBD Amin Suparmin.

Danny Setiawan berusaha meyakinkan pihak legislatif agar menempatkan anggaran untuk bantuan Dana Kavling pada Pos 2.21.

”Justru yang melontarkan penggunaan pos 2.14 itu adalah pihak eksekutif, yang sebelumnya telah melakukan pembicaraan dengan komisi APBD, dalam hal ini Joel Pattipeilohy dengan Amin Suparmin,” ujar Kurdi Moekri.

Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Arief Mulyawan kepada saya mengatakan bahwa gubernur selaku pemegang otoritas tertinggi bisa saja mengabaikan permintaan kalangan legislatif macam itu. ”Tapi melihat situasi politik pascareformasi, tentu saja gubernur ketakutan apabila tidak memenuhi keinginan anggota DPRD. Gubernur bisa diturunkan setiap saat dari jabatannya, atau laporan pertanggungjawabannya tidak diterima.”

Bila pernyataan Danny Setiawan cenderung bernuansa politis, Ijuddin Budhyana, sekretarisnya, memilih pernyataan teknis. Menurut dia, Dana Kavling akhirnya menggunakan Pos 2.14. Ini karena Pos 2.21 yang mengalokasikan anggaran belanja rutin DPRD ternyata telah melampaui batas nilai yang dibolehkan. Nilai maksimalnya sebesar Rp 30 milyar, namun realisasinya, anggaran belanja rutin DPRD itu membengkak menjadi Rp 42 milyar.

Ketika ditanya oleh ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Happy Hadiastuti, mengenai boleh atau tidaknya Dana Kavling ditempatkan pada Pos 2.14, Budhyana menjawab, hal tersebut merupakan keputusan final antara legislatif dan eksekutif.

Budhyana mengungkapkan juga bahwa pencarian bantuan tersebut dilakukan dalam tiga tahap. Seluruh uang dialirkan melalui rekening milik Kurdi Moekri di Bank Jabar.


PENCAIRAN dana tersebut dimulai dengan memo Kurdi Moekri tertanggal 25 April 2001, yang ditujukan kepada Sekretaris DPRD (Sekwan) Dadang Sukarya. Moekri memerintahkan Sekwan mengirimkan surat kepada Sekretaris Daerah Jawa Barat. Isi lengkap memo berbunyi: “Segera kirim surat ke Sekda menyusul surat permohonan kita ttg 2.14. dan sampaikan agar ditransfer ke rekening No. 01.03.20.015151.1 a/n Drs. H. A. Kurdi Moekri – Bank Jabar Cabang Utama – Bdg.“

Sukarya mengikuti perintah itu. Pada 1 Mei 2005, dia meluncurkan sebuah surat kepada Danny Setiawan melalui Ijuddin Budhyana. Hanya dalam tempo sehari, Danny Setiawan membuat surat yang ditujukan kepada kepala Biro Keuangan, dengan tembusan kepada Suharsono, bendaharawan Pos 2.14 pemerintah daerah Jawa Barat. “Acc direalisir sesuai dengan ketentuan dan kemampuan likuiditas. Selesaikan,” demikian bunyi memo Setiawan.

Hari itu pula Suharsono membuat Surat Permintaan Pembayaran (SPP) Beban Tetap Anggaran Rutin, yang ditujukan kepada Budhyana. Surat berisikan uraian mengenai “Bantuan Biaya Kepada DPRD Provinsi Jawa Barat Kode Mata Anggaran 2.14.1132.”

Baru setelah SPP dan kwitansi dilengkapi, terbit Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) Rutin dengan Nomor 931.594/R.I tanggal 2 Mei, yang diteken atas nama gubernur dan sekretaris daerah, melalui Kepala Sub Bagian Perbendaharaan Anggaran Rutin, TB Dudi H.

Berbekal SPMU, pada 3 Mei 2001 Kurdi Moekri melayangkan surat bernomor 581a/965-Setwan. Surat ini isinya perihal pemindahan nomor rekening yang ditujukan kepada pemimpin Bank Jabar melalui Kepala Seksi Tabungan Cabang Utama Bandung.

Dalam surat tersebut, Moekri meminta Bank Jabar untuk mengalirkan dana tahap pertama ke rekeningnya sebesar Rp 15 milyar untuk kemudian ditransfer ke rekening anggota DPRD, masing-masing senilai Rp 100 juta. Jumlah penerima yang tercatat 99 orang. Nama Yudi Widiana Adia, yang sejak awal bersikap kritis, tak tercantum di daftar penerima.

Beberapa waktu setelah itu, pencarian tahap kedua dan ketiga dilangsungkan, masing-masing senilai Rp 50 juta dan Rp 100 juta. Total Rp 250 juta untuk masing-masing anggota DPRD. Dikurangi biaya administrasi, pajak, dan lainnya, seluruh uang yang mengalir dari pemerintah daerah ke seluruh anggota DPRD berjumlah Rp 24,2 milyar. Ke mana aliran sisanya, mengingat Dana Kavling totalnya sebesar Rp 33,375 milyar?

Dana Kavling ternyata ditujukan kepada 120 orang. Kepada saya, baik Kurdi Moekri maupun Eka Santosa, mengatakan bahwa ke-20 orang penerima di luar legislatif itu adalah pejabat di lingkungan pemerintah daerah.

Kurdi Moekri nenambahkan, dana untuk para pejabat tersebut ditransfer ke sebuah rekening di Bank Jabar. Diketahui nomor rekening itu adalah 01.03.10.012651.7. Dan sang pemilik rekening bernama H.N Sumarna. Dia bukan figur publik. Namanya tenggelam di antara puluhan pejabat di sana. Dari penelusuran, terungkap H.N Sumarna adalah salah seorang staf pada Biro Keuangan Pemerintah Jawa Barat, anak buah Ijuddin Budhyana.

Moekri mengatakan, seluruh proses Dana Kavling dilegalisasi melalui Surat Keputusan Pimpinan DPRD Jawa Barat, tertanggal 5 September 2000, mengenai pemberian bantuan dana perumahan bagi anggota DPRD Jawa Barat periode 1999-2004.

Eka Santosa, selaku ketua DPRD, tidak menandatanganinya. Alasannya, ketika permohonan itu muncul, dia belum lagi menjabat ketua. Eka Santosa diangkat menjadi ketua pada 27 Oktober 2000, menggantikan Idin Rafioedin yang meninggal dunia 18 Juli 2000.

Surat tersebut tak pernah ditemukan. Ida Hernida, kepala Hubungan Masyarakat DPRD, mengatakan tak pernah mengetahuinya. Ruangan arsip DPRD bahkan tak menyimpannya.

Belakangan diketahui surat keputusan itu dibuat medio 2002, atau setahun setelah dana itu cair. Penandatangannya tiga wakil ketua DPRD Jawa Barat: Kurdi Moekri, Suparno, dan Suyaman.


HALIUS Hosen, kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Dia dilantik 4 Mei 2005. Sebelumnya Hosen menduduki jabatan yang sama di Sumatra Barat. Di sana dia pernah menyeret 53 orang anggota DPRD sebagai tersangka dugaan korupsi Rp 4,6 milyar. Dia bertekad menuntaskan kasus ini, yang sudah ditangani dua kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebelumnya.

”Korupsi adalah satu tindakan menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga menyebabkan kerugian negara,” demikian Hosen.

Menurut Hosen, tersangka skandal Dana Kavling tak hanya Kurdi Moekri. Tapi juga Suyaman, Suparno, dan Eka Santosa. Selain menerima Dana Kavling, posisi mereka sebagai pemimpin juga turut memberatkan.

Apakah akan memanggil Danny Setiawan?

”Tanpa kesaksian Danny Setiawan, saya sudah dapat siapa orang-orang yang bersalah dalam kasus ini. Kesaksiannya (Danny Setiawan) tidak begitu diperlukan,” ujar Hosen.

Danny Setiawan kini jadi gubernur Jawa Barat sejak Agustus 2003. Dia mengatakan siap dipanggil sebagai saksi dalam kasus ini. ”Saya tidak merasa bersalah,” katanya ketika saya tanya dalam suatu kesempatan, usai menghadiri suatu acara seminar di Gedung Sabuga, Bandung, Desember 2005. Dia juga mempertegas tidak ada 20 orang pejabat eksekutif yang menerima uang itu.

Lantas siapa?

Sambil menutup pintu mobilnya, Setiawan berkata, ”Anda dapat menyimpulkannya sendiri.”

Endang Rahmat, ketua Panitia Khusus Monitoring Aspirasi Reformasi DPRD Jawa Barat, justru punya kesimpulan kalau 20 orang penerima dana tersebut adalah pejabat eksekutif. Dia merinci peruntukkannya, yang kemungkinan meliputi 14 kepala biro, empat asisten Sekretariat Daerah, sekretaris daerah, dan gubernur. ”Jadi genap 20 orang.”

”Dalam Berita Acara Pidana (BAP) atau duplik, data ke-20 orang itu mungkin tidak ada, karena uang yang mereka terima konon dikembalikan ke kas daerah,” ujar Endang kepada saya. Dia mengatakan sempat akan disuap untuk ”tutup mulut.”

Ada bias pada Endang Rahmat. Dia salah satu orang terdekat Ukman Sutaryan, mantan wakil gubernur di masa pemerintahan Nuriana. Ukman Sutaryan belakangan berseberangan dengan Nuriana. Ukman Sutaryan bahkan sempat diperiksa pengadilan atas dugaan kasus korupsi.

Analisis Endang Rahmat juga mungkin keliru. Sekurang-kurangnya dia salah menghitung jumlah biro, yang faktanya bukan 14, tapi 13. Fakta lain, tak semua biro punya akses ke Pos 2.14.

Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Arief Mulyawan malah punya versi lain. Menurut dia, ke-20 penerima lain itu semuanya dari legislatif. ”Ini berkaitan dengan masalah pergantian antarwaktu di kalangan anggota DPRD, termasuk anggota DPRD yang pindah ke DPRD Banten.”

Versi Mulyawan ditepis Yudi Widiana Adia. Alasannya, anggota DPRD saat itu, termasuk mereka yang kemudian pindah ke Provinsi Banten, berjumlah 116.

Titik terang datang dari Eka Santosa, mantan ketua DPRD Jawa Barat, yang kini sedang menjalani pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa. Menurutnya, ke-20 orang penerima dana perumahan di luar anggota DPRD adalah eksekutif. Namun menjelang pencairan dana tahap ketiga, pihak eksekutif memilih mengembalikannya.

Kabar tersebut diperoleh Eka Santosa dari Kurdi Moekri. Eka Santosa segera melakukan klarifikasi kepada gubernur. ”Sesuai saran dari pemeriksa keuangan Departemen Dalam Negeri, tidak dibenarkan adanya penyertaan 20 orang untuk eksekutif yang dimasukkan ke dalam permohonan dewan” balas Nuriana, gubernur kala itu, sebagaimana dikutip Eka Santosa.

Kurdi Moekri merasa heran dengan alasan tersebut. Baginya, Pos 2.14 adalah hak diskresi gubernur. Hak ini berkaitan dengan pengelolaan dan pengaturan keuangan untuk kelancaran pemerintahan daerah. ”Jadi pos ini benar-benar wewenang gubernur.” Gubernur tidak harus mendapat persetujuan dari pihak mana pun.

Mungkin karena jumlahnya kurang besar? Tak jelas juga. Tapi dalam suatu wawancara, Ijuddin Budhyana mengatakan pernah mengembalikan uang itu karena tidak jelas untuk siapa. Jika calonnya kalangan eksekutif Jawa Barat, jumlahnya tak cukup karena eksekutif di pemerintahan lebih dari 20 orang. Budhyana mengembalikan uang ”jatah eksekutif” tersebut melalui ”Pos Penerimaan Lain-lain.”

Endang Rahmat, yang pernah menjadi salah satu pejabat eksekutif Jawa Barat, menganggap pernyataan-pernyataan dari pihak eksekutif perlu diragukan. Dalam hal otak-atik macam itu, lanjutnya, Jawa Barat menduduki peringkat kedua sebagai provinsi terkorup. Baginya, skandal Dana Kavling hanyalah bagian kecil dari rangkaian korupsi di lingkungan pemerintahan Jawa Barat. Modusnya penggelembungan anggaran, manipulasi, dan penggelapan APBD.

Jakarta ©2005 - 2006

1 comment:

Ananta Politan Bangun said...

wah, liputan yang hebat, mas Andreas. jadi ngiri, kapan bisa punya prestasi seperti mas Andreas. hehe. :)