Tuesday, February 28, 2006

SMAK Sint Albertus Malang

Pada pertengahan 1982, aku pindah dari Jember, kota kelahiranku, menuju ke Lawang, satu kota kecil sunyi dekat Malang. Tujuannya, melanjutkan sekolah ke SMAK Sint Albertus di Malang. 

Aku baru lulus bangku sekolah menengah pertama. Hubungan orang tua aku lagi kacau. Papa berpisah dengan Mama. 

Aku dikirim ke luar kota Jember. Mereka tampaknya tak ingin aku terpengaruh sengketa dan perang mulut mereka. 

SMAK Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Waktu aku masuk, ia dipimpin E. Siswanto O. Carm, seorang pastor-cum-edukator. 

Kami memanggilnya "Romo Sis." Alumni sekolah ini cukup beragam, ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi juga Jenderal Rudini. Keduanya sudah almarhum. Di Malang, ia lebih dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo. 

Aku sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan teman-teman di Jember. Di Jember, aku memelihara banyak burung merpati dan ikan. Aku merasa sedih meninggalkan mereka. Papa berjanji memelihara semua ikan dan burung merpati milikku di villa keluarga kami di Rembangan, sebuah daerah pergunungan dekat Jember. 

Di Lawang, Mama menitipkan aku pada keluarga Joseph Kumala, kenalan Mama, yang punya rumah di Jl. Argopuro 25. Ketika Mama pulang ke Jember, aku mengantarnya ke pintu gerbang. Lalu aku masuk ke kamar dan menangis sendirian. 

Usiaku baru 17 tahun dan belum pernah sekali pun tinggal jauh dari keluarga. Keluarga Kumala memberiku sebuah kamar kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang Belanda. Kamar bersih. Ada ranjang besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua lusin pohon. Mereka suka menanam bunga. 

Perlahan-lahan aku mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda, di jantung kota Malang. Banyak pohon-pohon dan jalan yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan siang. 

Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, aku diantar mobil ke Malang. Mobil Colt Mitsubishi juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah. Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Aku lebih sering tinggal sendirian di rumah Lawang. 

Sopirnya bernama "Goan" dari Pulau Madura. Umurnya hanya terpaut beberapa tahun dari aku. Goan lebih sering jadi temanku bercerita. Kami cukup sering bicara dalam bahasa Madura. Beberapa bulan kemudian, satu keluarga Korea, Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Mereka pendeta dan jadi dosen Institut Theologi Aletheia, yang terletak lima rumah lagi dari rumah tempatku tinggal. Mereka punya dua anak kecil. 

Aneh juga, aku menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Han menempati rumah utama. Kikuk juga. Mereka mengajak "pembantu" kami ikut makan bersama. Aku tidak tahu banyak soal pergaulan. Tapi pengalaman itu membuat aku jadi belajar banyak. Bagaimana harus membawa diri? Bagaimana menghormati pekerja rumah tangga? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar belakangnya berbeda dengan aku? Bagaimana belajar toleran? 

Di Lawang, aku bergaul dengan remaja-remaja dari Gereja Kristus Tuhan. Ini gereja Protestan, terletak empat rumah dari tempat tinggal aku. Aku bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja. Di Malang, aku jatuh cinta pada perpustakaan SMAK Sint Albertus. Aku mulai meminjam buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi cara aku memandang dunia. Aku baca Albert Camus, Somerset Maugham, Mochtar Lubis, dan hampir semua pustaka Time-Life. Semua karya-karya klasik, rasanya, tidak ada yang tidak aku baca. 

Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di loud speaker sekolah bahwa mulai bulan lalu dipilih tiga murid yang paling banyak meminjam buku dari perpustakaan. Ia mengatakan sudah mendapatkan nama tiga orang tersebut. Nama pertama yang disebutnya, "Andreas Harsono." 

Aku terkejut. Itu pertama kalinya aku disebut kutu buku. 

Di kelas satu, semester pertama, kami semua masih belum mendapatkan penjurusan. Baru semester kedua, aku memilih masuk kelas ilmu pengetahuan alam –jurusan lain adalah ilmu sosial dan ilmu bahasa. Minatku sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun pada awal 1983, aku hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya dunia. Aku kesepian dan tak banyak yang aku kerjakan di luar sekolah dan gereja. Aku hanya berpikir menurut kebanyakan teman-temanku. Jadi, insinyur, dokter atau apapun, paling penting ilmu alam. Murid pandai dianggap harus masuk ilmu alam. Maka aku pun masuk jurusan ilmu alam. 

Ini keputusan yang keliru. Aku tidak pernah menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku berpikir bagaimana keadaanku hari ini bila sejak sekolah menengah sudah berpikir soal ilmu sosial? 

Di kelas baru, teman-temanku ternyata tak banyak berubah. Aku masih bergaul lintas jurusan. Aku suka ikut kegiatan olah raga. Aku bermain basket dan saat kelas dua aku jadi pengurus klub olah raga kami. Tanggungjawab ini aku pegang hingga lulus. Setiap minggu, minimal dua sore, aku berurusan dengan bola basket. 

Namun kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Aku pernah ikut lomba topeng, didandani macam make up kelompok musik Kiss. Aku juga suka ikut kegiatan menyanyi. Bersama dengan beberapa rekan, kami membentuk sebuah kelompok vokal, dan membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple dan sebagainya. 

Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan menirukan permainan gitar. Ada juga Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan Agustinus Simply Satu main piano. Aku jadi penyanyinya. Image hosting by Photobucket 

Salah seorang temanku adalah Nanik Susilawatie (pakai kebaya merah). Suatu saat, Nanik pernah ditugaskan kelas untuk menghias wajahku dengan hiasan aneh ini. Kostum juga aneh. Aku lupa acara apa. 

Nanik teman yang baik. Kami mengingatnya karena ia pernah mengalami kecelakaan naik sepeda motor dengan teman-teman sekelas. Ia terkena otak dan harus dioperasi kepalanya. Selama beberapa waktu, rambutnya botak atau pendek sekali, sehingga ia harus memakai kain penutup kepala. 

Aku suka sekali dengan Sint Albertus. Dari semua sekolah yang pernah aku datangi, dari taman kanak-kanak "Tjahaja" di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge pada 1999, aku merasa periode sekolah Sint Albertus adalah saat yang paling meninggalkan banyak kenangan. 

Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami. Terkadang murid dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya, disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya, "Saya berjanji tidak akan bolos lagi." 

Romo Sis sendiri yang menghukum kami. Aku kira ini kebijakan baik sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman. Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak kami bicara. Itupun kami sudah merasa nervous

Aku merasa jadi murid yang agak diperhatikan sekolah karena keluargaku pecah. Ada guru bimbingan psikologi yang pernah aku jadikan tempat konsultasi. 

Pelajaran yang paling aku sukai dan nilainya bagus adalah sejarah. Aku ingat ketika kelas satu, aku menulis makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Entah dimana makalah itu sekarang tapi guru kami memuji karya tersebut. Aku juga suka bahasa Inggris. Tapi aku tidak suka Fisika, Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Itu pun aku masih mengambil les bahasa Jerman di sebuah tempat kursus bersama Webb, dekat sekolahku. 

Pelajaran mengarang atau menulis buat majalah sekolah juga aku sukai. Tapi aku belum banyak menulis. Lebih sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar. Aku belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Papa. Aku lebih leluasa bergerak. 

Aku bukan murid yang nakal. Mungkin malah pendiam walau beberapa kawan, ketika kami sudah dewasa, mengingatku juga sebagai anak yang bandel, berani untuk menentang arus. Mereka ingat bagaimana aku menaiki sebuah tumpukan loud speaker ketika menyanyi dalam sebuah konser sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian. Masih mencari perhatian orang. 

Pendek kata, aku senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa. Mungkin aku masih remaja. Cinta pertama aku ada di Kolese Santo Joseph atau "Hwa Ing" --juga sekolah Katholik di Malang. Aku jatuh cinta pada gadis Tionghoa, lebih muda dua tahun dari aku. Kami kenal di Lawang. Namanya Phoa Hwie Eng. Kami memanggilnya Fe En. Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. 

Aku sering pergi ke rumahnya, cerita aneh-aneh dan membual. Aku tidak punya uang banyak. Kemana-mana aku naik kendaraan umum. Aku menderita sekali dengan asap rokok. Fe En sudah mengendarai mobil sendiri. Ketika kelas dua, aku pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan hubungan kami. Aku merasakan sakit hati pertama kali. 

Ia hanya mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku." Maka aku lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu libur, aku kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adikku dan saudara-saudara jauh. Malang juga membuatku lebih menjauh dari kehidupan gerejawi --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaanku yang kurang suka berdekatan dengan institusi agama apapun.

  Baris atas pertama (kiri ke kanan): Hantje, Petrus Prajitno, Stephanus Winarno, Bambang Suharsono, Christian Johan, Pudji Hastomo dan Siauw Min a.k.a Erwin Gunawan. Baris kedua berdiri (kiri ke kanan): Liza, Nita, Indriani Liuwanda, Liliana Pudjiastuti a.k.a Lingling, Lely, Indira, Ibu Fariati, Ingrid Dwiyani, Shinta Dewi, Nanik Susilowatie, Lily Gunadi, Tetra (gadis berbadan kecil), Tjandra Anggono a.k.a Thjay Tjen (laki-laki berdiri belakang Tetra). Baris ketiga duduk (kiri ke kanan): Sri Kusumawardani, Retno, Lely, Laurentia Dyah Widia a.k.a Otik, Bambang Kuswadi, Donny, Agustinus Dwijatmiko a.k.a Pak Raden, Hanjaya Nursalim, Antonius Budiatmojo aka Gepeng, Hergita, Hermanto Notodiharjo dan Sutrisno. Baris keempat jongkok (kiri ke kanan): Andreas Harsono a.k.a Kompyang, Eindry Marcos, Sugiyano, Ignatius Anton, Agus Kurniantoko, Agustinus Simply Satu, Supriadi dan Made Tantra. 

Pada pertengahan 1984, aku lulus dari Sint Albertus dengan nilai lumayan. Jalan hidupku mulai berubah. Aku kuliah teknik elektro di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Aku berkenalan dengan dosen-dosen kritis macam Arief Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Aku anak teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik. Aku ikut kelompok diskusi Arief Budiman. Aku ikut kelompok mahasiswa. Makin sering membaca. 

Apa yang aku pelajari di Sint Albertus mendapat dorongan yang lebih besar lagi di Satya Wacana. Di Salatiga, aku mulai ikut upaya melawan penindasan negara Indonesia. Namun di Salatiga pula, aku mulai mengalami pengalaman yang lebih pahit seiring dengan aktivisme, takut ditangkap, nilai pelajaran yang tidak baik, harus mulai bekerja dengan mengajar komputer, membantu sais dokar dan seterusnya. Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang kritis, termasuk Arief Budiman. 

Aku tak merasa memiliki kampus Satya Wacana. Tapi aku masih merasa sayang pada Sint Albertus.

19 comments:

Anonymous said...

Mas Andreas itu yang duduk di barisan depan paling kiri. Betul kan?

Jadi kangen juga mau mampir ke Pantau. Dan main ke apartemen.

Hasan

Anonymous said...

Andreas,
saya bantuin ya untuk mengingat beberapa nama yang ada di foto,sayang foto kurang besar dan agak gelap,mudah-mudahan bener nama2 mereka.
Baris I yang ada di kusen pintu dari kiri ke kanan al:
Hantje-....-Edward-Zainal Fanani-Christ Johan-Bambang Sarwoadji-Siauw Min(Erwin).
Baris II berdiri dari ki-ka al:
Liza-Nita-....-Liliana(Ling2)-Lely-Indhira(iin)-Bu Fariati-Inggrid-Sinto-Nanik-Lily Gunadi-Petra-Candra Anggono(Jay Cen).
Baris III duduk dari ki-ka al :
Sri Kusumawardani(Dani gede)-Retno-Lely(adik e Edy EnEn)-Otik-Alb.Bambang Kuswadi-Doni-Agustinus Dwijatmiko(P Raden)-Hanjaya-Antonius Budiatmojo(Gepeng)-Hergita-Hermanto Notodiharjo(Mbo)-Sutrisno.
Baris IV jongkok dari ki ka al :
Andreas(Kompyang)-Eindri Marcos-....-....-Agus Kurniantoko-Agustinus Simply Satu-Supriadi-.....
Kalau masih punya foto2 SMA,tolong dong saya dikirimi/dipinjami untuk saya scan lagi untuk keperluan buku kenangan Alumni.
Apakah bisa datang pada tanggal 26 Agustus 2006 ke Malang? ada Reuni Besar dalam rangka Lustrum Dempo/Ultah Dempo ke 70 tahun....
Salam Persaudaraan,
Abraham Hamzah
Alumni Dempo 1984-1985

andreasharsono said...

Rekan Hasan di Batam,

Dugaannya benar sekali. Saya memang duduk di depan paling kiri. Wajah tidak berubah tampaknya ya dalam 20 tahun ini?

Sekarang rekan-rekan sering kumpul Sabtu malam. Ada sebuah apartemen yang cukup luas dijadikan tempat mengobrol. Mungkin karena mereka tersebar bekerja di berbagai tempat, acara Sabtu malam jadi media berkumpul.

Kalau datang di Jakarta, ikutan deh, kami makan, minum dan olahraga bersama. Biasanya sampai tengah malam. Acara paling utama ... ya diskusi soal politik. Terima kasih.

andreasharsono said...

Hamzah di Malang,

Mengagumkan sekali! Aku akan perlahan-lahan cari nama semua teman kelas ini. Nama lengkap. Bila sudah selesai, aku akan bikin caption di bawah foto. Aku akan usaha datang saat reuni Dempo. Semoga jadwal kerja aku tidak amburadul. Bagaimana ide pemotretan tempo hari dan bikin pameran? Itu ide brilliant. Terima kasih.

Anonymous said...

Andreas,

aku baru liat foto kelasmu (ex IIIA3) dari nama2 yg sdh diberikan Hamzah ada beberapa tambahan & koreksi...

...depan: sebelom Agus Kurniantoko itu = ign anton hartono
...berdiri belakang: sebelom Liliana (ling-ling) itu = indriani liuwanda, dia ada di jkt
...belakang berdiri di pintu: sebelah Hantjie itu = Prajitno, sebelah kanannya bukan Edward tapi Stephanus Winarno (krn ini kelas IIIA3 sedang Edward itu sekelas sama aku di IIIA4) sebelah kanan winarno ini bukan Zainal Fanani (krn dia bukan di IIIA3) mungkin Made Tantra (I'm not sure) sebelah kanannya lagi betul Christ Johan, tapi next to him bukan Bambang Sarwoadji krn dia IIIA1...I don't know who he is... terakhir betul siauw Min.

Jadi yg belom ketauan identitasnya cuma 3 orang, mungkin temen sekelas di IIIA3 yg lebih tau :D

-anne marie-

Anonymous said...

Ling ling = Liliana Pujiastuti
Oti = Laurentia`Dyah Widia

-anne marie-

Anonymous said...

'Yas,

ada bbrp 'typo' : Sinta (bukan Sinto), n Thjay Tjen (bukan Tjai Tjen)

Andhy

andreasharsono said...

From: erwin gunawan
Date: Tue Mar 14, 2006
Subject: Re: [alumnidempo1984] Re: Butuh nama lengkap kelas Dempo

Andreas,

Beberapa ralat,

Sebelah Chris Johan dan aku adalah Pudji Hastomo. Tetra bukan Petra. Sebelahe Eindry (bukan Hendrik) Marcos adalah Sugiyanto. Shinta Dewi bukan Sinto.

Semoga bermanfaat.

Ciao

andreasharsono said...

Sahrudin,

Senang juga dengar Anda memutuskan menikah April ini. Semoga berbahagia. Perkawinan bukan sesuatu yang mudah. Ia ibarat bahtera, badai dan topan harus dilalui bersama. Setialah dengan isteri kamu. Suka dan duka hadapi bersama.

Posting ini judulnya ya cuma "SMAK Sint Albertus." Ini cuma keisengan sesudah dapat foto dari Naniek, teman saya, dari Surabaya. Anak kami pernah bermain bersama. Naniek punya sebuah restoran di Surabaya. Dia seorang organizer buat teman-temannya di seluruh penjuru dunia. Berkat Naniek, kenangan saya tentang masa sekolah menengah terbuka kembali.

Anonymous said...

duh hebat hafal semua nama semua teman SMA. Pak Adreas saya juga alumni Sint Albertus. sama dengan bapak, tiap istirahat saya menghabiskan waktu di perpustakaan yang hebat itu. sayangnya, saya kok sampai sekarang tak seaktif bapak dalam hal menulis di luar lingkup tugas saya sebagai wartawan. tulisan sampeyan kayaknya menohok saya untuk menulis. sudah saatnya memang.. salam buat calon istri

purwanti malang

Augustinus Simply said...

Wah...sorry aku baru buka blog ini. Tadinya sih iseng mau lihat alumni SMA Dempo angkatan 1984..Pas ada blognya Andreas disitu..
Jadi saya coba-coba buka ...Eit ndak tahunya ada foto bersama eks kelas III dengan guru kimia (yang dari Brawijaya itu). Wah wah...jadi kangen saya ngeliat foto-foto tersebut. Lalu melintaslah semua peristiwa yang pernah dialami bersama (dari masa pertama masuk sekolah, praktikum, makan cwie mie Dempo, nonton di President Theater, latihan band bersama, latihan koor, ngeliat Dani ikutan lomba pidato, dll)...
Terbayang kalo seandainya pada ngumpul bareng bisa nggak habis ceritanya ...
Bagaimana kabar mereka semua ya??

Bagaimana masih tetap senang dengerin lagu Queen?? Nggak bisa lagi ngeband ya?

Memang juga sih menurut saya yang paling berkesan tuh SMA Dempo kita yang tercinta itu...Suasana sekitar Tanggamus emang cocok buat sekolah..Adem dan rindang..Nggak tau kalau sekarang bagaimana??

OK! Begitu dulu curhat saya hari ini...Salam buat semua teman-temin dimanapun mereka berada (kalau sempat membaca blogger ini)

Cherriooooooo,
Augustinus Simply
(augustinussimply@gmail.com atau augustinus_simply@hotmail.com)

Rianty said...

ANDREAS,
kalau saya tidak salah, Andreas pernah kuliah di Universitas Jember?


Rianty Budiono

Bambang S. said...

Horas Dempo...
Luar biasa, masih ingat nama2 teman2 semasa SMA dulu... salut dech.
Ada sedikit koreksi dari saya, nama saya lengkapnya Bambang Suharsono bukan Bambang Sarwoadji.
Sy jadi ikut bangga punya teman yang sudah hebat...
Sy sekarang lagi di pelosok Porsea, 1 jam dari Parapat (Danau Toba), kebetulan ngikut kerja proyek PLTA Asahan 1.
Tolong kalau ada kabar dari teman2 kasih kabar ya...
Oh ya no hape kamu berapa andreas, kalo saya 081533163332.
Saya di kelas dulu duduknya di belakang Dani (Sri Kusumawardani) bersebelahan dengan Agus Dwijatmoko.

Bambang Suharsono

andreasharsono said...

Bambang yang baik,
Terima kasih untuk informasi tambahan. Aku lagi ada di Singapura. Bila sudah kembali ke Jakarta, aku akan segera telepon kamu.

andreasharsono said...

Dear Rianty,
Saya pernah terdaftar kuliah hukum di Universitas Negeri Jember. Namun saya tak lama kuliah disana. Mungkin kurang cocok dengan materi-materi yang diajarkan. Saya hanya sempat kuliah sebentar. Lalu saya pergi ke Salatiga untuk kuliah di Satya Wacana. Sebenarnya saya juga tak cocok dengan materi elektro di Salatiga. Tapi saya tertolong karena suasana intelektual (waktu itu) di Satya Wacana.

Augustinus Simply said...

Ho ho... Lagi ada di Sgp mas Andreas??
Pasti banyak ide yang bisa dituliskan dalam blogger Anda.
Dan untuk mas Bambang...horas juga. Di Asahan sudah lama ya mas?
Salam juga utk mba Riyanti (pernah sekelas deh waktu kls I dulu, kalo ngga salah) yang berasal dari Magelang.
Kalo lihat foto kita semua di blogger itu "cute" sekale ya?? Tapi sekali lagi emang menyenangkan pernah berada di sekolah yang beralamat di Tanggamus tersebut.

Farrah said...

Dear Sir,

I am pleasantly surprised to read that you stayed at the house at Jl. Argopuro 25, Lawang in the 80s.

My husband and I bought this house last summer from John Kumala.

I am now looking for information on its history. We plan to renovate the house next year but would love to keep its original features. Some parts do not seem to be part of the original setting though. Do you happen to have any photographs of the house/garden?

Kind regards,
Farrah Robberecht

andreasharsono said...

Dear Farrah,

I lived there only in 1984-1985. It belonged to John Kumala indeed. John's father, Joseph Kumala, used to live in Samarinda. He moved his family to Lawang and Malang in the early 1980s. They lived mostly in Malang. Lawang was their weekend villa. I used to ask questions about that house. It was apparently built during the Dutch period by a Chinese merchant. The house on your left is an older one --if it still exists.

Farrah said...

Dear Andreas,

Thanks you very much for your swift reply. I guess I will have to dig a little deeper to find more information about the Chinese merchant! Didn't know that. Could not find anything in the original docs though! Had secretly hoped it would have been a londoh.....I live in Holland so it would have been easier to check. Kind regards, Farrah