Saturday, October 30, 2004

Wawancara, Wartawan, dan Ratu Kecantikan


Bagaimana wawancara dengan pikiran terbuka?

Oleh Andreas Harsono dan Esti Wahyuni*


JAKARTA -- Kalau Anda mengenal David Candow, seorang pelatih wartawan dari Canadian Broadcasting Corporation, Anda akan tahu bahwa seorang wartawan yang baik, kalau melakukan wawancara, bekerja dengan mewakili rasa ingin tahu audiens. Ia harus sopan. Ia harus siap dengan pemahaman bahan. Ia harus menggali informasi sebanyak mungkin. Ia tak bernada menghakimi. Ia tak menunjukkan kesan sudah tahu. Bukan sok pamer. Bukan sok pintar.

Ini penting karena wawancara adalah bagian penting dari reportase. Dan reportase adalah bagian penting dari jurnalisme. Wawancara yang baik akan menghasilkan banyak informasi. Wawancara yang buruk akan menghasilkan banyak bantahan.

Sumber yang menerima pertanyaan-pertanyaan yang buruk akan memakai waktu wawancara untuk memahami pikiran si wartawan, dan tak jarang, membantah asumsi-asumsi si wartawan. Atau lebih jelek lagi, meninggalkan si wartawan, tak menanggapi isi wawancara.

Anda boleh bertanya pada Candow, "Berapa jumlah kata ideal untuk sebuah pertanyaan?"

Candow biasanya menjawab, "Satu kata saja. Dan kata itu adalah mengapa?"

Namun, tentu saja, tak setiap pertanyaan bisa disarikan jadi satu kata. Prinsipnya, makin panjang suatu kalimat tanya, makin menurun kemampuan si sumber mencerna pertanyaan itu. Sebaliknya, makin pendek pertanyaan, makin mudah si sumber memahami si wartawan. Candow memberikan pedoman 16 kata.

Lebih banyak dari 16 kata, lebih menurun juga daya tangkap si sumber. Dan kalimat harus dibuat dengan pertanyaan terbuka dengan kata tanya 5W 1H. Artinya what, when, who, where, when, how.

Pertanyaan tertutup menghasilkan jawaban yang kurang memuaskan. Maksudnya, pertanyaan tertutup teoritis bisa dijawab dengan jawaban "ya" atau "tidak." Kami sering menyaksikan wartawan-wartawan Jakarta, baik televisi, radio, maupun cetak, belum menyadari teori dasar wawancara ini. Mungkin menarik untuk tahu bagaimana kesalahan-kesalahan itu dibuat dengan memperhatikan pertunjukan seleksi wartawan SCTV dalam acara Menuju Layar Liputan 6. Acara ini diadakan sejak 1997 di kampus-kampus. Namun tahun ini diselenggarakan lewat siaran langsung. Finalnya 3 Oktober lalu.

Acaranya diadakan layaknya, pemilihan penyanyi "Indonesian Idol" atau "Akademi Fantasi Indosiar." Ada acara cat walk. Peserta berputar-putar di panggung. Pakaian kelas disainer. Nyanyian. Hiburan. Lawakan. Pertanyaan disajikan oleh MC Tantowi Yahya. Lalu ada juri-juri: Okky Asokawati (model), Pia Alisjahbana (pengusaha Femina Group), Tengku Malinda (TVRI), Karni Ilyas (SCTV) dan Darwis Triadi (fotografer). Pokoknya, kesannya wangi, jauh dari kesan kerja keras mengejar berita yang jadi citra wartawan.

Seorang peserta dari Padang, Dora Multa Sari, tampil cantik dengan busana hijau pupus. Tantowi Yahya pun bertanya apa pendapat Dora soal korupsi di kalangan anggota parlemen. Dora menjawab bla bla bla.

TANTOWI: All right, wow, tepuk tangan tanda setuju membahana di studio malam ini. Eeeh ... Dora ini seorang yang penuh prestasi. Di samping sebagai presenter, Dora ini pernah berprestasi di bidang apa?

DORA: Saya pernah masuk 10 besar Puteri Indonesia.

Maka tepuk tangan pun membahana di studio. Dora tersenyum manis dan melenggak-lenggok meninggalkan panggung. Cantiknya, jangan ditanya. Singkat kata, dari 13 finalis, juri memilih lima orang "grand finalist."

Masing-masing diminta mewawancarai seorang nara sumber selama 2,5 menit, dipilih berdasarkan undian, dan nara sumber sengaja dipilih dari orang-orang yang biasa diwawancarai SCTV: Eep Saefulloh Fatah (komentator isu politik), Alan Budi Kusuma (pemain bulu tangkis), Ulfa Dwiyanti (pelawak dan penghibur), Baby Jim Aditya (aktivis HIV/AIDS), dan Brigadir Jenderal Pranowo Dahlan (komandan kesatuan polisi anti teror).

NAMA
RERATA
KATA
TANYA
BUKA
TANYA
TUTUP
SUMBER
Grace N. Louisa31.216Pranowo Dahlan
M. Achir25.833Baby Aditya
Linda P. Mada18.216Alan Kusuma
Dora M. Sari15.544Ulfa Dwiyanti
Wahyu R.19.635Eep S. Fatah


Dari lima orang ini, semuanya bertanya dengan panjang-panjang dan tertutup. Hanya Dora yang bertanya dengan singkat karena ia harus balik menjawab pertanyaan Ulfa Dwiyanti. Dora rata-rata hanya melontarkan 15.5 kata per kalimat tanya. Namun dari delapan pertanyaan itu, lima merupakan pertanyaan tertutup. Kira-kira begini tanya jawab antara Dora dan Ulfa:

DORA: Mbak Ulfa, saat banyak sekali talent show-talent show yang melahirkan bintang-bintang baru dalam waktu singkat, seperti mereka di karantina dalam waktu dua bulan, tiga bulan, kira-kira mereka menjadi bintang yang memiliki banyak sekali pengemar. Bagaimana Anda melihat talent show-talent show seperti ini?

ULFA: Maksudnya talent instant gitu roger?

DORA: Talent show Mbak.

ULFA: Kalau menurut saya itu masalah faktor. Faktor keberuntungan, beruntung bisa masuk dalam waktu singkat. Seperti kamu misalnya. Gitu lho.

DORA: Tapi Mbak Ulfa, apakah menurut Mbak Ulfa mereka itu sudah cukup siap atau bagaimana?

ULFA: Itu yang saya khawatirin. Apakah kalau kamu menang apakah cukup siap di lapangan?

DORA: Ya. Baik, Mbak Ulfa itu merintis karir dari awal?

ULFA: Sepuluh tahun lebih.

DORA: Sepuluh tahun lebih?

ULFA: Mbak berapa minggu?

DORA: Terima kasih Mbak Ulfa, jika nanti saya jadi bintang nantinya. Mbak Ulfa meniti karir lama sekali. Apakah Mbak Ulfa merasa ada ketidakadilan antara yang lama meniti karir dengan saat ini?

ULFA: Bukan ketidakadilan. Nasib beruntung. Itu dia.

Dora tampaknya memang beruntung. Malam itu juri memenangkan Dora. Namun dari perhitungan kami, para peserta rata-rata menggunakan 22 kata per pertanyaan, atau lima kata lebih banyak dari batas David Candow. Model bertanya mereka panjang-panjang dan tertutup. Ulfa Dwiyanti sendiri mempertanyakan kualitas Dora. Hanya keberuntungan saja. Tanpa kerja keras. Mereka hanya menang tampang tapi miskin pengalaman.

Tidak heran kalau banyak nara sumber yang bertanya ulang. Misalnya, Wahyu Rahmawati dari Malang, dalam segenap kegugupannya, bertanya pada Eep Saefullah Fatah, "Langsung saja. Sekarang perpolitikan setelah pemilihan presiden kedua telah dibuktikan bahwa SBY menang. Pada saat ini banyak sekali nama-nama yang dicantumkan, baik itu di SCTV sendiri maupun di suratkabar, tentang calon-calon kabinet. Menurut Anda, bagaimanakah persentase pemberian nama pemunculan nama itu terhadap kabinet nanti?"

Eep tampaknya tak mengerti pertanyaan versi 44-kata Wahyu. Eep bertanya, "Maksudnya?"

WAHYU: Maksudnya, seberapa kredibelkah orang-orang yang dicantumkan di televisi dalam kabinet nanti?

EEP: Sebetulnya belum ada satu pun konfirmasi dari SBY-Kalla tentang nama-nama yang beredar. Jadi saya kira, kita tidak bisa menilai seberapa kredibel mereka sebelum ada konfirmasi (Perhatikan Eep membantah asumsi Wahyu).

WAHYU: Tapi mengapa nama-nama itu harus dimunculkan. Apakah ini testing the weather dari SBY atau Anda optimis terhadap testing the weather dari SBY?

EEP: Sebetulnya ada kebutuhan memang untuk memunculkan nama sebelum pelantikan 20 Oktober dikarenakan masyarakat perlu tahu siapa yang akan menjadi pejabat publik. Tapi persoalannya, nama-nama yang muncul sekarang ini adalah nama-nama yang sebetulnya beredar begitu saja, tanpa ada konfirmasi. Itu yang jadi persoalan.

WAHYU: Kok bisa tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu, kenapa harus memunculkan?

EEP: Siapa yang memunculkan?

WAHYU: Kata Pak Eep tadi bahwa tidak ada konfirmasi terhadap pemunculan nama-nama tersebut.

EEP: Sampai sekarang SBY dan Kalla belum mengkonfirmasikan satu pun nama.

WAHYU: Dan siapakah yang memunculkan adanya nama-nama di televisi tersebut?

EEP: Media massa.

WAHYU: Media massa? Jadi tidak ada konfirmasi lebih lanjut dari SBY maupun Kalla.

EEP: Belum ada sampai sekarang. Termasuk ketika kemarin SBY mengadakan ujian doktor. Ada sejumlah nama yang ikut serta hadir dan SBY mengatakan bahwa mereka bukanlah calon-calon menteri.

WAHYU: Menurut Anda sendiri Pak Eep, bagaimana kredibel yang dicantumkan? Maksud saya, nama-nama yang dicantumkan ini, menurut Pak Eep, bagaimana posisinya dalam kabinet nanti? Apakah mereka cukup mampu dalam memimpin negara kita esoknya?

EEP: Belum ada nama masalahnya. Jadi kalau misalnya Anda menanyakan kredibilitas mereka, siapa mereka kita tidak tahu. Jadi ada ketidakjelasan di sini. Siapa yang Anda maksudkan?

Tanya jawab ini menghabiskan waktu 2.5 menit karena Wahyu memakai asumsi yang salah. Tapi ini bukan monopoli Wahyu. Wahyu dan kawan-kawannya semua menunjukkan kesan sok pintar, agresif, serta tak mampu mewakili audiens dalam wawancara. Grace Natalie Louisa dan Linda Puteri Mada bertanya enam pertanyaan dan hanya satu yang terbuka. Mohammad Achir bahkan bertanya 62 kata. Kesan belum tentu sama dengan esensi. Bisa saja Dora, Wahyu dan sebagainya sebenarnya rendah hati.

Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, tak setuju dengan argumentasi kami. Karni mengatakan bahwa kelima orang ini memang bukan wartawan. Mereka hanya calon wartawan. "Ketika mereka jadi juara, mereka baru jadi calon wartawan. Masa percobaan lagi. Begini saja, yang namanya Bayu Setiyono, pantas jadi wartawan atau nggak? Bayu itu juara kami 1997. Sekarang jadi pantas setelah enam tahun. Ketika jadi juara, boleh saja Anda bicara belum pantas."

Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers dan pemenang Hadiah Magsaysay, mengatakan pada kami bahwa ia tak setuju seleksi wartawan dilakukan secara komersial (Dora mendapat hadiah Daihatsu Xenia) dan memanfaatkan frekuensi publik untuk keperluan internal SCTV. Beberapa wartawan lain juga tak setuju karena kuatir citra wartawan diasosiasikan dengan kinerja Dora dan kawan-kawan.

Kami juga belum melakukan analisis kemampuan Bayu Setiyono. Tapi kami ingat Bayu pernah diperlakukan sama macam gaya Ulfa ketika Bayu mewawancarai Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan. Kwik menyebut Bayu "jongkok." Tapi menarik juga kalau mulai sekarang Anda memakai prinsip David Candow untuk menghitung jumlah kata pertanyaan-pertanyaan Bayu. Atau seberapa tertutup atau terbuka pertanyaannya? Dan tentu saja, bukan hanya Bayu, tapi kalau perlu semua wartawan televisi Jakarta. Jangan-jangan Anda akan menemukan kesimpulan bahwa kualitas mereka tak jauh lebih baik dari Dora atau Wahyu?

* Bekerja untuk Yayasan Pantau. Harsono sedang mengerjakan buku berjudul "Indonesian Political Journey." Transkrip lengkap acara SCTV ini bisa diminta lewat pantau-komunitas@yahoogroups.com. Esai dimuat Gatra, 30 Oktober 2004, Kolom Halaman 40-41

8 comments:

Asri said...

Bapak Andreas Harsono,
Saya sedang membuka-buka arsip lama tentang MLL 2004, dan saya sangat tertarik dengan tulisan Bapak di sini.
Saya adalah finalis MLL 2004 dengan nomor undian 4. Saya tidak masuk dalam lima besar, dan saya ingin sedikit berbagi cerita tentang apa yang saya rasakan dalam lomba tersebut.
Saya sangat bersyukur karena ternyata ada komunitas yang ternyata peduli dan merekam apa yang terjadi dalam kontes tersebut secara detail.
Sebelum terpilih sebagai grand finalis nasional, saya telah bekerja di sebuah jaringan radio berita nasional dan melewati berbagai pelatihan jurnalistik secara teoritis maupun langsung dalam evaluasi program talkshow yang saya bawakan. Tak hanya training dari network radio saya saja, tapi saya juga telah melewai training dari pihak lain seperti Internews Indonesia.
Setelah radio, saya bergabung dengan lembaga internasional untuk pemantauan pemilu di Indonesia dan banyak bergaul dengan komunitas wartawan.
Terus terang, saat memenangkan seleksi SCTV di daerah saya, saya berharap sangat besar terhadap SCTV dan lomba ini. Saya pikir, MLL akan menunjukkan bahwa dari 3B yang selalu diunggul-unggulkan dalam penilaian berbagai kontes termasuk putri Indonesia, unsur BRAIN akan menjadi prioritas utama.
Tapi, apa yang terjadi?
Sejak press conference pertama, prestasi yang selalu disebut-sebut adalah "Dora, 10 besar putri Indonesia". "Linda, penyiar TV Bali, pemenang putri..."
Padahal, saat itu juga saya baru saja pulang dari Paris untuk mewakili negara kita tercinta dalam Asia Europe Volunteers Exchange yang diadakan oleh UNESCO dan ASEF...Tahun sebelumnya, saya mewakili Indonesia dalam program Ship for South East Asian Youth... tapi rupanya prestasi seperti itu tidak laku dalam ajang MLL...
Perasaan saya sudah tidak enak. Saya mulai merasakan atmosfer penghargaan yang berlebih untuk PENAMPILAN FISIK.
Dalam berbagai sesi diskusi dalam training saya juga sangat kecewa. Bayangkan, sebagian besar teman saya tak tahu siapa Baby Jim Aditya! Beberapa peserta bahkan tak tahu sama sekali bagaimana cara browsing informasi di internet, tidak memahami isu yang sedang hangat dibicarakan di media massa...apalagi membuat analisa tentang suatu isu.
Menjelang hari terakhir karantina, ada sesi khusus yang membahas isu yang akan dilempar di panggung siaran live... lengkap dengan kisi-kisi jawabannya!!!
Sesi itu membuat saya menangis. Saya sedih karena nama liputan 6 dipakai untuk lomba sekelas lomba putri-putrian, dimana para finalis telah menghafalkan jawaban yang akan diberikan di panggung. Satu-satunya hal yang harus dijaga adalah bagaimana supaya kami tidak lupa, dan bagaimana kami berdiri dan berjalan dengan anggun di depan dewan juri yang kebanyakan sangat menghargai penampilan fisik (Okky Asokawati, Darwis Triadi...)...What a ridiculous drama!
Ditambah lagi saat penilaian di H-1, dua orang juri berkata bahwa saya tidak "camera face".
Olala... pupus sudah harapan saya untuk bertarung secara INTELEKTUAL di lomba ini, apalagi bertarung dalam hal kemampuan jurnalistik. Hum. Saya bersyukur, kesedihan saya dan beberapa teman finalis yang sempat berharap terlalu tinggi pada acara ini cukup terobati dengan kepedulian komunitas Bapak. Terimakasih banyak...

Anonymous said...

Java Flava atau siapapun Anda,

Cerita Anda sungguh menyentuh syaraf saya. Dari penuturan Anda, saya bisa merasakan seperti apa kualitas juri acara macam itu. Dan begitu saya selesai membaca alinea terakhir email Anda, segera saya senyam-senyum. Betapa senang saya, Anda tak terpilih. Saya kira kapasitas Anda kelewat besar sekadar untuk ikut posisi remeh-temeh itu. Saran saya, esok atau lusa atau kapan pun, Anda sebaiknya nggak ikut-ikutan acara serupa tadi. Ngapain gitu loh. Mendingan ikut kontes acara API di TPI aja sekalian. Happy, bikin orang ketawa.

Dan buat orang teve, saya mau kasih saran dikit. Sebaiknya, kalo nyari penyiar gak pake juri orang fashion. Keluar modal dikit kek, dengan misalnya cari host paling top dari CNN, CNBC atau ABC. Dijamin, mereka ngerti fashion. Dijamin juga, mereka ngerti apa itu camera face buat televisi. Mereka ini mungkin akan lebih mahal biayanya. Tapi, bagaimanapun televisi adalah media, dan media adalah institusi sosial sekaligus bisnis. Dan sebagai institusi bisnis, mbok ya jangan cari sumber daya juri murahan gitu. Ingat, televisi adalah media, dan media tak hanya institusi sosial, tapi juga bisnis. Dalam bisnis kan ada pemeo gini: Anda keluar duit, Anda akan mendapatkan duit. Anda keluar kacang, mungkin Anda hanya dapat monyet. Jadi, ya jangan kelewat ngirit. Kadang-kadang, bagi media, hemat itu pangkal lumat loh.

Atau kalau mau agak murah, jurinya ya di-ToT jurnalisme. Kalau mau agak lebih murah lagi, carilah penyiar tanpa pake kontes-kontesan segala. Gunakan saja prosedur talent scouting yang benar dan elegan.

Agus Sopian

Anonymous said...

Mbak Finalis MLL6,

Saya tidak tahu persis mengapa dari awal anda menginginkan ikut dalam MLL6.

Banyak sekali orang melakukan apa yang anda lakukan untuk mencari "their break" (kesempatan awal menuju kepopuleran)

Tapi perlu disadari oleh masyarakat, termasuk orang-orang yang sedang mencari "their break" bahwa menjadi orang yang menyajikan berita baik presenter, reporter, cameraman, editor dsb, sangat sulit disaring dari beauty contest seperti itu. Lain halnya jika beauty contestnya adalah
mengenai materi seperti berbagai award dalam jurnalisme.

Coba saja anda pikirkan, kenapa dari begitu banyak wartawan, cameramen, editor dsb, hanya beberapa saja yang berhasil menjadi icon?

Masyarakat tidak bodoh dalam memilih icon, dan seseorang menjadi icon setelah ia melalui proses waktu dan pembuktian hasil yang sangat panjang. Bukan beberapa minggu muncul di TV.

Kalau kita berbicara mengenai genre "Reality programming", seharusnya kita melihat lebih dalam mengenai maksud program. Misalnya, American Idol (yg dilahirkan kembali setelah POP Idol di Inggris), adalah mencari
superstar dalam bidang tarik suara. Dan terbukti hanya yang punya modal suara baguslah yang akan masuk. Karena saya tidak bisa menyanyi, saya sangat mengapresiasi dan kagum pada orang-orang super yang telah dikaruniai suara yang sangat indah. Masyarakat tidak bodoh, mereka memilih yang memiliki suara terbaik.

Kemudian untuk acara Bachelor, Bachelorette, Survivor, Amazing Race dsb, para peserta mengikutinya karena uang 1 juta dolar, bukan karena mau terkenal atau karena memiliki keahlian tertentu. Dan acara2 itu tidak
membutuhkan keahlian tertentu untuk menang.

Menurut saya MLL6 sama sekali bukan termasuk dalam kedua jenis Reality Show tsb.

Kemudian reality show Donald Trump "The Apprentice" adalah Donald mencari pegawai.. pada dasarnya sama dengan HRD melakukan screening terhadap calon pegawai.

Mungkin..mungkin.. kita bisa kategorikan sama dengan Apprentice dengan asumsi bahwa Liputan 6 mencari presenter baru, dan melakukan screeningnya dengan cara seperti ini. Tapi... kalau melihat bahwa hadiahnya hanya magang..ya..saya menganggap bahwa MLL6 is just a show, bukan bagian dari rencana Liputan 6 untuk secara serius mencari presenter.

Kalau demikian, maka acara MLL6 tidak ada maksudnya, tidak ada tujuannya baik untuk si peserta maupun si penyelenggara, melainkan "it's just a show". Mungkin kemudian ada komentar: So what?

Disinilah kritik saya, sebuah program televisi TIDAK BOLEH menjadi "it's just a show". Sebuah program harus memiliki tujuan, karena program televisi pasti memiliki dampak. Dalam MLL6, para peserta sudah buang waktu banyak mulai dari pendaftaran hingga ke final, pihak televisi sudah buang
biaya banyak untuk melakukan penyaringan. Lalu apa? Pihak televisi pasti mendapat uang banyak dari iklan. Peserta? Yah..menurut saya..paling tidak nongol di TV. Apakah ada apresiasi untuk para peserta?..saya rasa tidak.. apa yang mau diapresiasi? Wong tujuan peserta ikut saja tidak jelas..selain bisa "nongol" di TV. Memang Kalau menang, anda bisa magang di Liputan 6. Tapi tahukah anda, banyaaaaaakkk sekali mahasiswa yang magang di stasiun
televisi tanpa perlu melalui MLL6 dan jauh lebih bernilai daripada usaha keras anda karena mereka magang melalui proses yang lebih profesional tanpa dijadikan obyek tontonan.

Jadi, Mbak, menurut saya, anda adalah korban acara yang tidak
bertujuan, selain TV dapat iklan dan anda mendapat kesempatan "nongol" di TV.

Kalau menurut anda itu cukup dan memang demikian adanya... yah..
sebaiknya anda tidak mengeluh tentang acara tersebut (yang mungkin timbul karena tidak masuk 5 besar) dan mengatasnamakan kualitas sebagai dasar keluhan anda tersebut, karena kualitas yang anda maksud sangat berbeda dan jauh di bawah level standar kualitas dan kritik dari Andreas.

Jadi saran saya, sebaiknya anda baca lagi dan coba pelajari lagi, lalu pikirkan dan renungkan. Saya yakin bila anda paham, maka tanpa perlu ikut MLL6 pun anda bisa menjadi apa yang anda harapkan dengan kualitas yang anda miliki.

Salam,
Chrisma Albandjar

Anonymous said...

Mbak Flava...

Saya ikut sedih atas apa yang mbak alami...jujur saja saya juga pernah mengalami hal yang sama...atau paling tidak merasakan dikecewakan...

Saya pernah magang di beberapa tempat termasuk di stasiun TV besar di negeri ini..maaf jika ada diantara kita yang ada di milis ini adalah para petinggi di TV yang saya maksud...

Saya dijanjikan akan diangkat setelah bekerja tanpa gaji disana....SAYA ULANGI BEKERJA TANPA DIGAJI........saya menghabiskan hari dengan sebuah harapan bahwa saya akan diangkat bekerja.,..namun sial...saya menghadapi kenyataan pahit yang sangat menyakitkan

Saya tidak jadi diangkat, karena saya tidak sarjana...padahal seperti hal Mbak...saya memilki pengalaman sebagai wartawan sejak tahun 1997 lalu, sejak saya dan pernah bekerja di beberapa media...pengalaman pelatihan dan kursus...jangan tanya...namun apa...mereka membeli bentuk dan bukan isi....BENTUK DAN BUKAN ISI....saya berani bertaruh,,,apakah sarjana yang mereka cari tahu dan faham dengan dunia jurnalistik....????? entahlah.,...seperti anda...yang konon tidak kamera face...namun memilki kualitas hebat...

Dan yang paling menyakitkan, ketika saya berusaha meraih impian saya dengan bertanya kepada pejabat disana..dia malah mengatakan kepada saya untuk segera keluar dari kantor itu...sebab jika tidak akan menimbulkan masalah yang tidak saja merugikan dia namun juga saya....

Ternyata menjelang saya pergi....(saya tidak mau menuduh, namun ini yang saya alami) penyiar TV yang biasa jalan liputan dengan saya kehilangan Handphone dan saya dijadikan "tersangka" sampai saya diminta bersumpah dengan kitab suci segala....

Pun ketika saya keluar dengan perasaan tercabik akibat tuduhan itu saya masih juga mendengar kalimat bahwa saya dicap sebgai manusia yang tidak beretika selama bekerja disana...

Dan kembali ke soal MLL yang anda ikuti...anda tidak pantas kalah (menurut saya) sebab saat ini ternyata hampir semua anak anak lulusan MLLL6 masuk ke SCTV sebagai tenaga reporter...beberapa orang yang saya kenal adalah diantara mereka....

namun pertanyaannya apakah mereka faham apa itu TV dan bagaimana sebuah berita baik untuk media cetak dan televisi diproduksi...mengertikah mereka dengan Chyron, Sound bite, atau Rundown dan sebagainya....entahlah...mari sam asama kita tanya kepada produser dan korlip mereka.....

Anonymous said...

jangan sedih mas, terus berjuang masih banyak kantor berita-kantor berita asing yang mencari stringer di Indonesia seperti Bloomberg, AFP, Reuters.

BBC dan VOA biasanya selalu memasang iklan mencari stringer di beberapa media nasional. NHK, ABC atau DW juga tidak sekali dua kali memasang iklan mencari penyiar untuk bekerja di seksi Indonesia.

Kenapa media asing? yah, alasan pertama tentunya dari aspek finansial. Beberapa kawan stringer yang berkerja di kantor berita
asing biasanya berpendapatan lebih besar daripada media lokal.

Tapi tentunya itu juga diiringi dengan tanggung jawab yang cukup besar.

The point is: jika memang berniat jadi jurnalis, baik itu di cetak, elektronik, atau wire, jangan hanya terpaku di satu perusahaan saja.

Asri said...

Bapak Andreas Harsono, dan semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan menuliskan komentar atas cerita saya,
Terimakasih banyak. Saya tidak menyangka bahwa cerita saya mengundang banyak tanggapan. Saya kembali menulis di sini untuk memperjelas identitas saya. Nama saya Asri Wijayanti, dan Java Flava dulunya adalah nama yang tertulis dalam profil blog yang saya buat. Saya agak terkejut mendapati tulisan Bapak Harsono berikut komentar atas tulisan itu muncul di milis yang saya ikuti. Di situ dituliskan bahwa saya tidak memberikan identitas yang jelas. Untuk itu, semoga setelah ini tak ada yang berprasangka lagi tentang apa motivasi saya menulis cerita tentang MLL 2004. Saya hanya ingin berbagi pada orang yang tepat, yang sejak awal memperhatikan dengan cermat apa yang terjadi.
Bapak Andreas Harsono, terimakasih untuk komentar yang Anda tulis di blog saya. :)
Untuk siapapun yang pernah merasa kecewa atau dikecewakan, semoga kita selalu bisa berdiri tegar. Saat kita memandang diri kita dengan jujur, kita pasti tahu kekurangan dan kelebihan kita. Saya selalu percaya bahwa selalu ada tempat yang tepat bagi siapapun yang diciptakan-Nya, meski tentu saja, seperti halnya hal lain yang ada di bumi ini; tak ada yang terasa sempurna.
Saya tidak akan membiarkan kekecewaan mengaburkan pandangan saya terhadap jalan alternatif yang akan mengantarkan saya menuju tujuan akhir yang sebenarnya lebih baik untuk semuanya...

Asri said...

Bapak Andreas Harsono, dan semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan menuliskan komentar atas cerita saya,
Terimakasih banyak. Saya tidak menyangka bahwa cerita saya mengundang banyak tanggapan. Saya kembali menulis di sini untuk memperjelas identitas saya. Nama saya Asri Wijayanti, dan Java Flava dulunya adalah nama yang tertulis dalam profil blog yang saya buat. Saya agak terkejut mendapati tulisan Bapak Harsono berikut komentar atas tulisan itu muncul di milis yang saya ikuti. Di situ dituliskan bahwa saya tidak memberikan identitas yang jelas. Untuk itu, semoga setelah ini tak ada yang berprasangka lagi tentang apa motivasi saya menulis cerita tentang MLL 2004. Saya hanya ingin berbagi pada orang yang tepat, yang sejak awal memperhatikan dengan cermat apa yang terjadi.
Bapak Andreas Harsono, terimakasih untuk komentar yang Anda tulis di blog saya. :)
Untuk siapapun yang pernah merasa kecewa atau dikecewakan, semoga kita selalu bisa berdiri tegar. Saat kita memandang diri kita dengan jujur, kita pasti tahu kekurangan dan kelebihan kita. Saya selalu percaya bahwa selalu ada tempat yang tepat bagi siapapun yang diciptakan-Nya, meski tentu saja, seperti halnya hal lain yang ada di bumi ini; tak ada yang terasa sempurna.
Saya tidak akan membiarkan kekecewaan mengaburkan pandangan saya terhadap jalan alternatif yang akan mengantarkan saya menuju tujuan akhir yang sebenarnya lebih baik untuk semuanya...

Anonymous said...

Sejak saya mencintai tulisan, saya merasa sangat kagum pada para penulis (fiksi maupun nonfiksi) dan wartawan yg memiliki kata2 yg 'tajam' dan sangat kritis. mereka berkarir dengan penuh perjuangan dan kerja keras, sehingga kesuksesan yang dicapai mereka bisa terasa nikmat luar biasa. meski pengetahuan saya tentang jurnalistik masih seujung kuku, tapi kalau saya memiliki waktu dan kesempatan, saya ingin mempelajarinya dan menekuninya. Tentunya tidak dengan cara "instan" dan sarat komersialisme seperti yang dilakukan sctv dan beberapa "instant Show"(seperti yg mbak Ulfa bilang) yg sangat marak belakangan ini. sebab bagaimana pun yg instan tentu sulit menuju kualitas (makan mie instan saja, saya ogah).
Tetap berkarya, ya Pak! dan do'akan kita bisa bertemu dalam suasana jurnalistik...hehehe

(INDAH FITRAH YANI; mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar)
Oh iya, Salam kenal...