Saturday, October 09, 2004

Mencermati Kembali Kasus ”Tempo"

Oleh SEPTIAWAN SANTANA K.
Pikiran Rakyat Sabtu, 09 Oktober 2004

KETIKA pengadilan menjatuhkan vonis hukuman kepada Pemimpin Redaksi Tempo (16/9), atas kasus pencemaran nama baik Tomy Winata, terjadi silang-pendapat.

Di pengadilan, pihak Tomy Winata tetap kencang menuntut. Di kalangan pers, berbagai pihak menyoal keabsahan sumber anonim dan dokumen yang dijadikan dasar pelaporan Tempo.

Hal ini bermula dari pelaporan majalah Tempo berjudul “Ada Tomy di Tenabang” (edisi 3-9 Maret 2003). Dalam pelaporan tersebut, Tempo mengangkat kasus kebakaran di Pasar Tanah Abang. Pemberitaan Tempo berbeda dengan pemberitaan pada umumnya. Di laporannya, Tempo menyebut ada Tomy Winata tersangkut di belakang peristiwa kebakaran.

Berita ini mengutip sebuah sumber anonim yang mengatakan proposal Tomy Winata untuk melakukan renovasi Pasar Tanah Abang. Dokumen proposalnya sendiri tidak diberikan. Wartawan Tempo yang melihat langsung dokumen tersebut tidak diberi kewenangan untuk memfotokopi. Namun, hanya diberi jatah untuk mencatat, dan melihatnya dengan saksama.

Dari sana, berita dibuat. Bila melihat dari isi pelaporannya, berbagai pihak yang terkait dengan dokumen proposal renovasi diwawancara. Tomy sendiri diangkat.

Setelah kasus ini meledak, dari serangan mendadak ke kantor redaksi Tempo, sampai gugat-menggugat di pengadilan, ditambah berbagai diskusi di berbagai ruang publik, dan terakhir ialah keputusan pengadilan, keramaian pun terpicu. Keramaian mendiskusikan keabsahan pemberitaan Tempo. Keramaian menyoalkan Tempo vs Tomy.

Tulisan ini hendak menyoroti kaidah jurnalistik yang dipraktikkan Tempo di dalam pelaporan tersebut.

Kriminalisasi pers

Dari kasus Tempo, berbagai pihak menyoroti kinerja pers Indonesia. Di tengah berbagai sajian pers, yang kini leluasa memberitakan berbagai peristiwa tanpa takut pembredelan, orang-orang menilai bahwa kasus Tempo merupakan pelajaran bagi para awak pers Indonesia.

Tidak terlalu salah. Tapi juga tidak terlalu benar. Dalam kasus Tempo, tidak ada soal gosip dan pemberitaan yang berat sebelah yang menyerang satu pihak. Di berita ini, ada sanggahan dari Direktur Utama Pasar Jaya, Kepala Pasar Tanah Abang atau Gubernur DKI Sutiyoso, bahkan dari pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dan, dari pihak Tomy Winata sendiri, dilaporkan bantahannya. Berikut ini kutipannya:

Tomy Winata, 45 tahun, juga menyangkal keterkaitannya dengan rencana renovasi Pasar Tanah Abang. Ia merasa belum pernah berbicara tentang hal itu. “Anda orang keenam yang telefon. Saya belum pernah bicara dengan siapa pun, baik sipil, swasta maupun pemerintah,” katanya geram. “Saya ini enggak makan nangkanya (tapi) dikasih getahnya. Kalau (mereka) berani ketemu muka, saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti, atau data yang mengatakan saya deal duluan, saya kasih harta saya separuh.”

Pemunculan Tomy juga ada ketika Tempo memberitakan aksi penyerangan para preman ke kantor redaksi Tempo (Tempo, 23/3/03). Di sini, Tomy bicara panjang lebar, didampingi rekanannya, kepada delapan wartawan Tempo. Dalam wawancara yang cukup terbuka, laporan Tempo memberitakan penolakan Tomy dari tuduhan aktor politik di belakang aksi kekerasan di kantor redaksi Tempo.

Dengan demikian, bila melihat keseimbangan berita yang dilaporkan Tempo, sudah terpenuhi kaidah jurnalistik yang dilakukan Tempo. Berbagai pihak yang dinilai terkait dengan kebakaran Pasar Tanah Abang telah dikonfirmasi. Verifikasi terhadap berbagai nara sumber, yang harus menjawab keberadaan Tomy di belakang kebakaran, dilakukan. Berbagai jawaban itu merupakan klarifikasi terhadap pihak-pihak yang berkompeten dari keberadaan Pasar Tanah Abang. Tomy sendiri, sebagai orang dan fokus pemberitaan dari kebakaran tersebut, juga telah diklarifikasi.

Jadi, bila melihat teknis pelaporan yang dilakukan Tempo, beberapa kaidah dasar peliputan jurnalistik telah terpenuhi. Asas cover both side dilakukan. Verifikasi terhadap keabsahan dokumen proposal renovasi pasar dikerjakan. Klarifikasi kepada pihak yang menjadi tokoh berita (Tomy) dilakukan pula.

Dokumen

Diskusi melebar kepada permasalahan dokumen. Tempo telah gagal melaporkan sebuah berita karena ketiadaan dokumen yang bisa dijadikan barang bukti.

Jurnalisme mewajibkan fakta sebagai dasar pelaporan. Melalui fakta, jurnalisme mendapatkan kepercayaan masyarakat. Berbagai fakta itu bisa hadir melalui orang-orang yang terlibat di dalam sebuah peristiwa, data tulisan atau statistik, atau dokumen-dokumen yang dikeluarkan pihak-pihak atau instansi. Proposal merupakan data penting bagi sebuah pelaporan berita yang hendak mengungkap keberadaan atau kelangsungan sebuah kegiatan projek. Dalam kasus renovasi Pasar Tanah Abang, proposal itu juga merupakan alat penting bagi verifikasi wartawan di dalam mengalkulasi peristiwa yang hendak diberitakannya.

Tapi, keberadaan dokumen, bagi jurnalisme, memiliki konteks tertentu. Tidak setiap peristiwa berita akan memakai dokumen sebagai sandaran pemberitaannya. Sebuah media harian akan keteteran jika harus menemukan dokumen dalam memberitakan kejadian sehari-harinya. Ketika sebuah media melansir peristiwa pertemuan para pejabat kepolisian elite dengan tokoh pengeboman, di sebuah tempat, media tersebut tidak memerlukan keabsahan si pejabat tersebut dengan pencarian dokumen surat tugas yang dikeluarkan oleh instansi kepolisian terkait. Faktanya ialah wartawan melihat langsung keberadaan si pejabat dengan tokoh pengeboman. Jepretan kamera foto menjadi sarana lanjutan dari pemberitaan. Bila tidak ada foto pun, wartawan berhak memberitakan keberadaan peristiwa pertemuan tersebut.

Farid Gaban, seorang wartawan yang cukup serius mendiskusikan pelbagai soal jurnalistik, sampai berujar, “pembuktian atau verifikasi jurnalisme itu bukanlah pekerjaan ilmiah.” Bila seketat dunia ilmiah, pemberitaan forensik dan data-data jenis ledakan yang diungkap media akan keteteran. Atmakusumah, wartawan senior dan mantan Ketua Dewan Pers, menandaskan bahwa wartawan tidak mungkin harus mengecek sampai demikian rinci keabsahan data yang diungkap pihak-pihak yang berkompeten. Bukan hanya soal waktu deadline, yang jadi hambatan, tetapi hal ini terkait dengan soal tingkatan verifikasi data yang dikerjakan jurnalisme.

Dunia jurnalisme adalah dunia pelaporan. Kebertanggungjawaban jurnalistik adalah pada tingkat keakurasian fakta. Fakta-fakta yang terkompilasi, secara jurnalisme, merupakan hasil observasi. Tingkat observasinya, baik lewat wawancara dan penelusuran paper trail, merupakan upaya yang tidak serigid dunia akademisi. Metode riset dari pekerjaan peliputan jurnalisme berbeda dengan dunia akademisi.

Maka itulah, narasumber menjadi buruan media dalam mengangkat sebuah peristiwa. Nara sumber menjadi salah satu sandaran faktual media dalam menguatkan pemberitaannya.

Sumber anonim

Peliputan jurnalistik kerap menemukan nara sumber yang tak mau disebutkan jati dirinya. Sementara, dari kesaksian, keterlibatan, keterangan yang dimilikinya, pemberitaan tergantung. Hal ini merupakan permasalahan yang cukup pelik. Persyaratan jurnalisme ialah fakta-fakta yang siap diverifikasi, terbuka untuk ditelusuri datanya, mudah dikenali berbagai nara sumber yang memberikan informasinya, dan berbagai pertanggungjawaban berita lainnya.

Maka itu, jika ada kejadian nara sumber yang tidak mau dilaporkan keberadaan jati dirinya, atau disebut sumber anonim, hal ini akan mengurangi kredibilitas media. Pada momen tertentu malah mengakibatkan persoalan hukum. Penuntutan terhadap kevalidan laporan yang telah mencemarkan nama-nama atau pihak-pihak tertentu.

Maka itulah, jurnalisme mencantumkan beberapa persyaratan bila sebuah media hendak mengangkat pelaporan berita dengan sumber-sumber anonim. Pencantuman keterangan “menurut sumber yang layak dipercaya” dihadirkan, di laporan berita, setelah media atau wartawannya menghitung beberapa kriteria pencantuman sumber anonim.

Andreas Harsono mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (dalam buku Warp Speed, 1999), mengenai sumber anonim. Kovach dan Rosenstiel membahas pemakaian sumber anonim pada kasus Monica Lewinsky dengan Presiden AS, Bill Clinton.

Pertama, sumber anonim ialah orang yang berada pada lingkaran pertama “peristiwa berita”. Ia adalah orang yang menjadi saksi atau terkait langsung pada peristiwa tersebut. Kedua, keselamatan nara sumber terancam bila identitasnya diketahui, baik nyawanya atau orang-orang terdekatnya, atau bisa juga perkerjaannya. Ketiga, motivasi narasumber benar-benar untuk kepentingan publik. Keempat, integritas narasumber benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Kelima, pencantuman narasumber anonim ini diketahui dan atas ijin redaktur atau atasan si wartawan. Keenam, keterangan anonim ini minimal didapat dari dua nara sumber, atau sumbernya minimal dua orang. Ketujuh, membuat kesepakatan pembatalan keanoniman jika kemudian terbukti nara sumber sengaja berbohong atau menyesatkan publik.

Ketujuh, syarat pencantuman sumber anonim ini cukup representatif. Berbagai pihak mengamini kekuatan pemikirannya. “Saya pribadi sependapat,” kata wartawan Farid Gaban, yang cukup tajam pandangannya terhadap jurnalisme. Media massa harus memperlakukan sumber anonim dengan sangat hati-hati, dan memakainya seminimal mungkin. Semua wartawan harus menyimak dengan baik paparan tujuh syarat sumber anonim ini.

Bagaimana tujuh syarat sumber anonim ini di dalam kasus Tempo.

Menurut Farid Gaban, Tempo telah cukup justified dalam menggunakan sumber anonim. Syarat pertama telah terpenuhi karena sumber anonim Tempo ialah konsultan renovasi pasar. Syarat kedua juga terpenuhi, khususnya bila melihat brutalnya penyerangan orang-orang yang ingin membela Tomy Winata ke kantor redaksi Tempo. “Melihat begitu brutalnya reaksi kubu Tomy Winata dalam menanggapi berita itu,” menurut Farid Gaban, “saya kira kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ‘sang konsultan”. Dengan demikian, ada keabsahan Tempo untuk melindungi sumber anonimnya. Syarat ketiga, terpenuhi karena niat membela kepentingan publik termaktub di dalam laporan Tempo: hal ini terkait dengan berbagai kerugian yang harus diderita para para pedagang Tanah Abang.

“Syarat ke-4, saya tidak tahu persis,” kata Farid. “Ini merupakan wilayah yang sama sekali menjadi judgment dari wartawan dan redaktur Tempo. Kecuali bisa dibuktikan sebaliknya, bahwa sumber tersebut suka berbohong.” Menurut penulis, mengukur integritas sumber anonim memang sangat sulit bagi kita. Namun, dari pemberitaan Tempo selama ini, majalah berita Tempo termasuk media yang memiliki integritas jurnalisme yang cukup representatif. Demikian pula dengan wartawannya, Ahmad Taufik, yang melaporkan pemberitaan tersebut. Jadi, keintegritasan narasumber dapat diukur dari integritas Tempo dan wartawannya selama ini dalam melakukan pekerjaan jurnalistik.

Syarat selanjutnya ialah syarat kelima. Tempo telah memenuhi persyaratan ini. “Baik reporter maupun redaktur mengetahui adanya deal untuk melindungi kerahasiaan sumber.” Secara keredaksian, antara wartawan dengan redaktur telah bersepakat untuk melindungi kerahasiaan sumber.

“Kecuali syarat ke-6 (Aturan Ben Bradlee) dan mungkin syarat ke-7 (Aturan Bill Kovach),” nilai Farid Gaban, “semua syarat terpenuhi bagi Tempo untuk memakai sumber anonim dalam berita tentang kebakaran Pasar Tanah Abang.”

Dalam beberapa kali perbincangan dengan wartawan Tempo Ahmad Taufik, penulis mendapat keterangan akan beberapa nara sumber yang telah diklarifikasinya. Taufik melakukan beberapa pengecekan ke beberapa sumber anonim. Karena itulah, di dalam laporannya, ia mengklarifikasikannya kembali kepada beberapa narasumber lain, yang berwenang dan kompeten (bukan sebagai sumber anonim) dan menolak keterkaitan Tomy Winata di dalam peristiwa tersebut, serta melaporkannya. Akan halnya syarat ketujuh, hal ini pun kembali berpulang pada integritas Tempo sebagai sebuah media berita yang harus tetap mewaspadai kemungkinan terjadinya atau terbuktikannya nara sumber yang sengaja berbohong atau menyesatkan publik. Bila ini terjadi, Tempo wajib memberitahukan kepada masyarakat bahwa pemberitaannya telah menyesatkan masyarakat.

Demikianlah beberapa segi jurnalistik yang dipraktikkan Tempo di dalam pelaporan berita mengenai kebakaran Pasar Tanah Abang, yang berbuntut panjang, dan telah setahunan lebih ini menjadi wacana bagi pers Indonesia.***

Penulis, Pengajar Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunitas Universitas Islam Bandung.

No comments: