Tuesday, May 03, 1994

Phnom Penh

Andreas Harsono
Matra, Mei 1994

KETIKA PESAWAT MENDARAT DI BANDARA Pochentong, Phnom Penh, saya tidak membayangkan Kamboja sebagai negeri yang memikat sebagai objek pariwisata. Soalnya, perang berkepanjangan melanda negara tersebut selama ini. Khmer Merah membunuh etnis minoritas Vietnam, menyerang kereta api, meledakkan jembatan, dan membantai penduduk desa.

Media massa rajin menayangkan aksi keganasan di sana. Sering terlihat gerilyawan Khmer Merah berpatroli naik jeep buatan RRC di jalan-jalan. Atau serdadu Hun Sen sedang berjaga-jaga di check point sambil menghisap rokok lokal dengan AK-74 menghadang dada.

Belum lagi langkah-langkah kontroversial Norodom Sihanouk yang sering berubah sikap. Apalagi kalau mengingat film Killing Fields, yang menggambarkan periode berkuasanya Khmer Merah pada 1975-1979, dimana sekitar satu juta orang Khmer meninggal. Di film tersebut, tokoh wartawan Dith Pran digambarkan makan cicak dengan bergairah, hanya karena kurang makan daging. Suatu hari, dia bahkan nyaris dihukum mati gara-gara ketahuan mencuri-curi minuman ... darah sapi!

Mana ada turis yang mau berwisata di tempat seperti itu? Pendek kata, dalam benak saya, Kampuchea yang bernoda darah, berdesing peluru, dan berbau mesiu, bukan tempat yang cocok untuk berlibur. Saya ragu akan keberhasilan Visit Cambodia Year pada 1996 nanti. 

Tapi, setelah satu minggu di Phnom Penh, dengan jujur saya harus akui, bahwa bagaimanapun Phnom Penh, tak dapat menyembunyikan kecantikan yang telah bertahun-tahun tertutup cadar duka, keamanannya tak lebih jelek  dari kota-kota besar di Indonesia. Artinya, yang bisa menimbulkan rasa tidak aman buka bahaya perang. Tapi, lebih pada soal kriminalitas. 

Dibandingkan Singapura, boleh jadi Phnom Penh masih kalah. Dengan Jakarta, angka kriminalitas masih sama. Kalau ingat pencopetan, penodongan, pemerasan bahkan pembunuhan yang terjadi di Jakarta, Phnom Penh relatif jauh lebih aman. 

Saya tiba-tiba jadi sadar, bahwa pemerintahan Khmer Merah sudah berakhir 14 tahun yang lalu. “It was a long-long time ago,” ujar seorang Filipina, yang bekerja di di sebuah NGO. 
 
Membandingkannya dengan keadaan di Filipina sendiri, skala kerusuhan yang terjadi di Kamboja hampir sama dengan di Mindanao Selatan. Atau kalau di Indonesia, mungkin bisa sedikit disamakan dengan Timor Timur. Memang di daerah-daerah seperti Pallin, Campot dan Siem Riep banyak gerilyawan Khmer Merah berkeliaran. Tapi, peperangan tidaklah sampai ke Phnom Penh. 

Hal yang sedikit menggambarkan kalau Phnom Penh belum normal hanya listrik yang sering byar pet. Atau air ledeng yang sering terbatuk-batuk. Hingga wajar kalau tiap bangunan punya generator listrik dan pompa air sendiri. Hotel-hotel besar, seperti satu-satunya gedung bioskop yang terletak di Monivong Boulevard, memiliki ruang diesel sendiri. 
 
Pada siang hari, mobil-mobil berwarna putih dengan tulisan  “UN” (United Nations) lalu-lalang. Ini bukti kehadiran pasukan PBB yang masih mengawasi situasi keamanan di Kamboja. Selain itu, hanya ada gemuruh mesin diesel di Phnom Penh. Tak ada gemuruh peperangan!

Tiap turis memang ditawari untuk melihat Tuol Sleng Extermination Center, yang koleksinya termasuk serakan baju-baju tua bernoda darah, alat pencabut kuku, meja pemecah tulang, sel ukuran 1x0,75 meter, ribuan foto korban, dan dokumen-dokumen hasil interogasi. Sebelumnya museum ini terkenal sebagai rumah tahanan Khmer Merah. 

Para wisatawan juga diajak melihat-lihat Museum Killing Fields, yang penuh dengan tengkorak-tengkorak manusia korban kekejaman Khmer Merah. Atau mendengar cerita pelayan hotel, penjaga bar maupun sopir di jalanan, yang bercerita kepada setiap orang asing, bahwa zaman sekarang jauh lebih enak daripada zaman Pol Pot. 

“Pol Pot suka begini,” kata mereka sembari menggerakkan tangannya melintang di batang leher. 

Cerita tentang anak kecil yang direnggut dari ibunya lantas dibanting, saya dengar sendiri dari seorang bekas penghuni kamp konsentrasi. 

Jacques Bekaert, penulis buku Kampuchea Diary yang  juga dikenal sebagai ahli Khmer Merah, mungkin satu-satunya orang asing yang dengan detail pernah memaparkan cara-cara pemeriksaan yang sadis ala Khmer Merah. Di antaranya, kisah tentang seorang istri tokoh Khmer Merah yang suaminya dianggap berkhianat. Untuk membuat suaminya mengaku, maaf, payudara sang istri digunting di depan mata suaminya sendiri.

Ketika Khmer Merah berkuasa, ada 16.000 tahanan yang dimasukkan ke kamp konsentrasi. Kebanyakan mereka personil Khmer Merah yang dianggap melakukan subversi. Seorang diantaranya Hu Nim, bekas Menteri Penerangan Pol Pot. Mereka disiksa, dimintai keterangan dan “pengakuan”. Ketika Khmer Merah jatuh, hanya lima orang yang keluar selamat. Sisanya mati ketakutan, atau karena tak kuat menahan siksaan.

“Pengakuan” kader-kader Khmer Merah yang dianggap berkolaborasi dengan Vietnam atau Amerika Serikat bisa dilihat di Museum Toul Sleng. Agaknya menggelikan juga kalau membaca cara agen-agen Khmer Merah menyeluruh para tahanan menandatangani pengakuan yang jelas dibuat itu.

Sebelum digunakan Pol Pot sebagai rumah tahanan Security Service -21 (SS-21), dulunya Tuol Sleng adalah bangunan sebuah SMP di tengah kota Phnom Penh. Sebagai rumah tahanan, kelas-kelas diubah menjadi ruang penyiksaan. Di tiap kelas di bangunan A, misalnya, terdapat sebuah ranjang, lengkap dengan sebuah kotak US Army Ammunition dan jerigen tempat hadas. Juga ada besi panjang dengan rantai dan ring di ujungnya sebagai alat pengikat kaki tahanan. 

Terdapat pula papan tulis dengan gambar-gambar mayat yang terurai. Aula penuh dengan alat-alat penyiksaan seperti meja pemecah tulang, kursi dengan dudukan tajak, bak besar bersisi air, atau lukisan seorang perempuan yang ketakutan. 

Keluar dari Tuol Sleng, saya disambut puluhan pengemis yang satu atau kedua kakinya sudah lenyap terkena ranjau. Mereka mengemis, apalagi kepada orang asing, mengharap 100-200 riel.  

Menurut seorang rekan Khmer, kebanyakan yang menjadi pengemis ini adalah bekas serdadu dari fraksi-fraksi yang bertikai. Ketika masa damai datang, mereka kehilangan pekerjaan. Kalau badan tidak cacat, boleh jadi mereka akan menjadi bandit seperti kebanyakan. 

Phnom Penh juga punya keindahan nan romantis. Makan malam ditepi sungai Tonle Sap, di antaranya Uniknya, sungai ini berganti arus tiap setengah tahun. Di musim hujan, arus mengalir ke arah laut. Di musim kemarau, arus berbalik mengalir ke arah danau Tonle, yang berada di utara.

Di Tonle Sap kita juga bisa menikmati ikan bakar, udang, kepiting yang manis dan lezat. Atau sekedar menikmati sebotol Angkor Beer di tepi danau Boeng Keng Kang bersama dengan tenggelamnya matahari. Saya punya restoran favorit di tepi danau ini.

Monivong Boulevard di malam hari juga punya daya tarik tersendiri. Semua ada di sini. Dari nasi ayam yang beraroma manis hingga jus buah-buahan yang penuh citra rasa. Dan jangan lupa, srei saat (gadis cantik) ada di mana- mana. Dengan wajah berhias ringan, mereka ramah melayani pembeli di warungnya, di tengah celoteh bahasa Khmer yang nyaring. 

Angkor Beer mereka kenalkan dengan senang hati. “Made in Cambodia, Sir,” ujar seorang di antaranya, sembari menunjukkan botol besar berwarna gelap. Rasanya agak mirip Tiger Beer buatan Singapura. Es batu senantiasa tersedia. Tiap gelas berisi bir kosong dari es batu, dengan cekatan srei saat akan menambahkannya. 

Bir buatan Kamboja ini diperam dan dibotolkan di Sihanoukville, di pantai selatan Kampuchea. Ironisnya perusahaan yang menyandang nama legendaris “Angkor” itu milik orang Thailand. Dan orang Khmer suka sekali minum bir. Di desa-desa sekalipun, mereka menyuguhkan bir dingin kepada tamu terhormatnya. Bir dalam kaleng dijual dimana-mana, sama seperti minuman soft drink, “Tetapi mereka cepat mabuk,” komentar seorang rekan dari Swiss.

Harga minuman kaleng relatif mahal, karena harus didatangkan dari Singapura, Thailand atau Vietnam. Kalau makanan relatif murah. Roti ala Perancis baguette dijajakan tiap pagi oleh penjaja bersepeda yang membawa keranjang besar pada boncengannya. Jangan lupa, di Phnom Penh wisatawan masih bisa merasakan nikmatnya naik siklo, becak ala Indochina. 

Para penjaja roti ada yang membawa siklo sambil berteriak, "Peng-peng!" dengan suara cempeng, Peng-Peng berarti roti dalam bahasa Khmer. Pendek kata, Kampuchea adalah surga bagi mereka yang suka mencicipi makanan. 

Menurut seorang pegawai  Departemen Pertanian yang menemani saya, ada empat kategori rumah makan di Phnom Penh. Pertama, kategori pedagang kaki lima di pinggir jalan. Dari pisang goreng hingga kwetiau tersedia di sini. Kedua, warung makan kecil, butuh Rp 2.000-Rp 5.000 untuk makan di warung seperti ini. Orang Khmer yang makan tanpa sendok tengah, membuat saya terganggu. Soalnya, tiap orang dengan bebas menambah nasi atau lauk-pauk menggunakan sendok sendiri.

Yang ketiga, adalah restoran besar di jalan-jalan protokol yang kebanyakan menawarkan masakan Cina, Thailand atau Prancis. Di dalam terdapat semacam pub yang membuat orang bule betah berbincang berjam-jam lamanya. Restoran yang terdapat di hotel semacam Cambodiana Hotel – hotel mewah bintang lima kebanggaan orang Phnom Penh – merupakan kategori keempat.  

Di ibu kota Kamboja ini juga terdapat Le Royal Hotel yang berdiri sejak tahun 30-an. Saat Lon Nol berkuasa, bangunan antik buatan Prancis itu berganti nama Le Phnom. Lantas dikosongkan saat Khmer Merah berkuasa. Semua orang kota “didesakkan” dengan bekerja di lahan pertanian pedesaan.

Le Royal kembali jadi hotel ketika Khmer Merah takluk pada Heng Samrin. Namanya berubah lagi menjadi Samaky Hotel. Kini, hotel megah itu kembali menyandang nama Le Royal. Setiap rezim tampaknya punya selera dan nama tersendiri bagi hotel tersebut.

Terdapat juga hotel terapung di Tonle Sap. Tiap sore, dari kamar hotel dapat dilihat warga Phnom Penh sedang mencari angin di tepi barat sungai yang membelah kota Phnom Penh itu. Tidak hanya itu, tentu, Tonle Sap juga terkenal banyak ikannya. Biasanya, para tamu juga ditawari untuk mencicipi sup lobster yang rasanya manis campur kecut.

Bila tertarik pada kisah para wartawan perang yang meliput hari-hari terakhir tiap rezim yang jatuh bangun di Kampuchea, menginaplah di Hotel Monorom. Hotel ini terkenal sebagai tempat wartawan dan sukarelawan internasional bermalam.

Karena strategisnya lokasi Monorom sampai-sampai Hilfswerk der Evangelischen Kirchen der Schweiz, sebuah NGO dari Swiss, menyumbangkan sebuah lift awal 80-an. Tujuannya, agar pekerjaan wartawan maupun pekerja sosial dari NGO yang membantu rakyat Khmer memulihkan diri dari kekejaman Khmer Merah, bisa berjalan lebih mudah. 

Rugi rasanya tak melihat Istana Khemarin bila telah mengunjungi Phnom Penh. Istana yang terletak di tepi Tonle Sap ini dibangun paman Norodom Sihanouk 64 tahun lalu. Arsitekturnya khas Kampuchea. Ketika Sihanouk akan kembali dari pengungsian pada 1991, pemerintah Phnom Penh menghabiskan U$$ 200.000 untuk merenovasi istana itu. 

Sebelumnya pemerintahan Heng Samrin menyalahkan Khmer Merah karena menjarah istana ini. Belakangan, setelah penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja pada 1989, masyarakat Khmer banyak yang menuduh pasukan Vietnam yang merampok habis-habisan isi istana. Di sebuah paviliun istana itu pula Sihanouk bersama istrinya, Monique, dan dua putranya ditahan Khmer Merah selama tiga tahun. 

Monumen Kemerdekaan yang terletak di Sihanouk Boulevard merupakan bangunan monumental lain. Monumen indah dan bertaman luas – yang kini banyak digunakan rakyat Khmer untuk berolahraga di pagi hari dan lokasi foto pernikahan – ini di peroleh kemerdekaan dari Perancis pada 1953. 

Kampuchea juga terkenal dengan pagoda–pagoda nya  yang cantik. Mayoritas penduduk Kampuchea memang penganut ajaran Buddha Theravada. Setiap pagi kita harus menyaksikan para pendeta Buddha mendatangi rumah meminta makanan. Mereka memang dilarang memiliki harta benda selain jubah kuning, jarum, buku dan beberapa kebutuhan dasar lainnya. Mungkin dari kacamata kita, setiap pagi para pendeta itu mirip pengemis. 

Walau ritual Buddha sehari-hari bisa disaksikan, tapi pengaruh Hindu masih terasa kuat. Memang sebelum Buddha masuk ke (waktu itu) Kerajaan Angkor, “agama negara” adalah Hindu. Raja Jayawarman memutuskan masuk Buddha, antara lain untuk mengurangi subordinasinya terhadap kerajaan Hindu di Pulau Jawa. Jayawarman dalam salah satu prasasti yang diselidiki para ilmuwan, memang dinyatakan dalam masa mudanya pernah tinggal di Pulau Jawa – yang waktu itu menganut agama Hindu.

Hingga kini, pengaruh kebudayaan Hindu masih berakar dalam masyarakat Khmer. Atap rumah kebanyakan rakyat Khmer yang sekitar 9 juga orang itu misalnya, kebanyakan berhiaskan patung Dewi Apsara – dewi kesenian dan ilmu pengetahuan zaman Hindu.

Banyak dewa-dewi ini merupakan bukti masih adanya politeisme yang sangat Hindu. Di mana-mana dengan mudah kita jumpai gambar Apsara meskipun si empunya rumah adalah penganut Buddha. Dalam tari-tarian tradisional, pengaruh Hindu ini juga tercermin lewat cerita-cerita yang dibawakan. 

Mulai dari kekejaman Khmer Merah hingga keindahan tari klasik, semua bisa dijadikan komoditi pariwisata dan sumber uang. Karena itulah, menyambut Visit Cambodia Year, Tuol Sleng juga direnovasi bersama dengan Museum Purbakala Nasional.  

Angkor Wat pun turut berhias. Jembatan yang putus akibat  perang dibangun kembali. Layanan di bandar udara terus ditingkatkan. Para manajer Kampuchea Airlines dikirim belajar ke Eropa dan Amerika Serikat agar standar pelayanan penerbangan international terpenuhi. Kelak, manajer-manajer itu memang diharapkan mampu mendatangkan turis untuk berbelanja sejarah Kamboja.

No comments: