Thursday, April 29, 2010

Empat Model Media


Saya baru pulang dari media conference selama empat hari, oleh Hong Kong University bekerja sama dengan East West Center, dimana mereka bikin puluhan panel soal media, ekonomi, politik dan jurnalisme. Saya tertarik pada workshop tentang social media dari Thomas Crampton.

Crampton adalah director Asia Pacific dari 360 Digital Influence for Ogilvy Public Relations Worldwide. Mereka membantu berbagai perusahaan merancang, membangun dan menjalankan strategi dalam Social Media a.l. Facebook, Twitter, You Tube dan sebagainya. Crampton membagi media, untuk keperluan organisasi non-media, dalam empat model pada era internet ini.

Paid Media

Ini adalah media dimana orang membayar guna menyampaikan pesan. Kata lain adalah advertising atau iklan. Jadi, sebuah organisasi, entah perusahaan komersial atau organisasi nirlaba, memasang iklan di televisi, suratkabar, majalah atau dotcom. Ia bisa langsung bikin sendiri atau dibikinkan perusahaan iklan. Ia adalah model paling konservatif.

Earned Media

Ini adalah media dimana orang mengeluarkan press release atau ide berita, lantas ada wartawan menulis atau menyiarkan. Ia tak selalu harus dalam bentuk press release. Ia bisa juga berupa kunjungan kepada wartawan atau pengadaan press conference. Kegiatan ini lantas berbuah pada pesan lewat media dimana kemauan dan pernyataan si pengunjung tersalurkan. Wartawan suka dengan model kerja begini karena ia mudah dan resiko rendah. Sering kali perusahaan membayar perjalanan si wartawan, termasuk ke tempat jauh, agar bisa menulis pesan si perusahaan.

Media Platform

Ini adalah media milik perusahaan atau organisasi dimana mereka mengatur dan mengembangkan pesan yang mereka hendak sampaikan kepada publik. Umumnya, ia berupa situs web dimana semua siaran pers, gambar, mungkin juga audio dan video, di-upload agar publik bisa langsung akses. Banyak perusahaan sudah punya situs web canggih. Beberapa organisasi nirlaba, misalnya Human Rights Watch, juga punya situs web dengan kedalaman tinggi.

Conversational Media

Ini adalah fenomena baru dimana perusahaan, mau tak mau, harus ikutan mengingat ia sudah jadi trend, terutama pada generasi internet. Crampton menganggap generasi internet adalah semua orang kelahiran 1984 ke atas. Orang macam saya, kelahiran 1960an, dikategorikan "internet migrant" karena kami baru memasuki wilayah internet sesudah kami dewasa. Kami adalah "pendatang" --bukan "penduduk asli" kawasan internet.

Social media ini termasuk Facebook, You Tube, Twitter, Linkedin, blog dan dsb. Conversational Media punya audiensi yang sangat focused tapi sekaligus bisa jadi luas tanpa batas jelas. Internet membuat baatas-batas wilayah jadi berubah. Sekali seseorang menulis di Twitter, audience dia bisa puluhan juta orang di seluruh dunia, bila memang menarik. Namun follower dia sangat focused karena mereka segelintir orang yang memang tertarik mengikuti kegiatan atau pikiran si empunya Twitter.

Crampton membeberkan data-data perang antar blogger di Tiongkok dan di Amerika Serikat. Dia bicara dalam sesi "Sustainable Media Models in the Internet Age" dimana kebanyakan blogger Tiongkok, yang berpikiran sempit, menganggap blogger dari Amerika, yang mempermasalahkan kebebaran pers, kebebasan berpendapat atau hak asasi manusia, diperangi sengit oleh blogger dari Tiongkok. Pendapat para blogger Tiongkok tersebut ikut membentuk kebijakan luar negeri Beijing.

Bayangkan diplomasi internasional ditentukan para blogger!

Crampton memang mencurahkan banyak waktu untuk mengamati internet di Tiongkok. Saya kira, di Pulau Jawa, banyak organisasi --pemerintah, bisnis maupun organisasi nirlaba-- sudah biasa dengan bentuk paid media dan earned media. Namun belum terbiasa dengan conversational media.

Menurut Crampton, para CEO kini sebaiknya juga punya Twitter agar bila ada isu besar, yang mendadak menghampiri perusahaan mereka, secara cepat pula mereka bisa antisipasi. Dia kasih beberapa contoh dimana perusahaan besar, termasuk United Airlines dan Unilever, menderita kerugian financial besar gara-gara tak punya pemahaman untuk conversational media.

Dia menunjukkan situs You Tube dimana Dave Carrol, seorang penumpang United Airlines, protes United gara-gara gitar dia patah dalam bagasi United. Carrol menciptakan lagu dan video berjudul "United Breaks Guitars." Crampton bedakan antara Facebook (untuk orang2 yang kita kenal) serta Twitter (untuk orang2 yang ingin mengenal kita). Wall dari Facebook, menurutnya, ibarat ruang tamu kita. Tamu tak diharapkan mengucapkan kata-kata tak sedap di ruang tamu kita bukan?

Related Links
Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?
Sexism, Racism and Sectarianism
Menulis Butuh Tahu dan Berani
Kursus Jurnalisme Sastrawi

3 comments:

Billy Koesoemadinata said...

conversational media emang diperlukan, terutama untuk membuat brand semakin manusiawi dan dekat dengan para konsumennya. yang jadi pertanyaan adalah, seberapa besar kemampuan brand untuk beradaptasi pada conversational media tersebut, tanpa membuat blunder? apakah harus pula ditentukan dengan blogger? bisa jadi. tapi, seberapa efektif? kan, blogger juga memiliki keunikan yang timbul dari idealisme mereka karena tidak berada dalam sistem brand yang sudah mengakar. kecuali, brand itu mau mengubah paradigma seperti paradigma yang dimiliki para blogger -- yang menurut saya, adalah kebebasan berbicara apa adanya.

Tomi Satryatomo said...

Rangkuman yang menarik, mas Andreas. Kalau konteksnya diperlebar, bukan hanya para CEO yang perlu memahami 'conversational media', tapi juga para pejabat publik dan pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi politik, maupun masyarakat.

Tapi, dalam kondisi seperti Indonesia, dimana penetrasi mobile internet masih relatif rendah (kurang dari 25% dari jumlah penduduk), bagaimana memastikan bahwa keriuhan di panggung conversational media mencerminkan kegalauan publik dan bukan hanya kekisruhan hati sebagian elit terdidik?

Nena said...

Setuju dengan mas Tomi, mungkin saja keriuhan di social media sphere hanya mencerminkan keriuhan sebagian elit terdidik Indonesia. Tapi, tetap saja ini mencerminkan suara sebagian rakyat Indonesia. Social media menurut saya jadi penting di saat seperti sekarang, dan menjadi kritis dalam menyikapinya juga jadi kemampuan yang penting. Bagi CEO perusahaan, politisi, tokoh publik, dan rakyat pada umumnya.