Friday, November 28, 2008

Rumah Toko Para Kuli di Singapura


Suatu siang Oktober lalu, sesudah pertemuan dengan perusahaan buku di downtown Singapura, aku memutuskan makan siang di daerah Chinatown. Aku pernah diberitahu ada satu "ruko" dimana suasana Chinatown tempo doeloe dipajang apik. Aku ingin melihatnya.

Aku ambil taxi dan berhenti depan pagoda Hindu Tamil, Sri Mariamman Temple, yang didirikan pada 1827 oleh pengusaha Naraina Pillai. Ini salah satu kuil paling terkenal untuk pemujaan dewa Sri Mariamman. Pada 1819, Pillai tiba di Singapura bersama pendiri koloni ini, Thomas Raffles. Pillai mendirikan bisnis, menjadi kaya raya dan mendirikan kuil. Ia menjadi salah kuil paling menonjol di Singapura. Di sebelah kuil inilah terletak Pagoda Street, yang dianggap sebagai Chinatown di Singapura.

Dulunya, Pagoda Street dikenal sebagai sarang opium. Pada 1850an hingga 1880an, Pagoda Street dianggap sebagai tempat mencari kuli Cina. Setiap pagi, para kuli, lelaki maupun perempuan, duduk di Pagoda Street guna menanti para pencari kuli. Pada awal abad 20, berbagai macam rumah toko di sepanjang jalan ini, berubah jadi tempat kontrakan para kuli.

Aku sering membayangkan kontrakan pada buruh pabrik di daerah Palmerah dan Kebagusan pada 1990an ketika aku sering meliput isu perburuhan untuk The Jakarta Post. Kamar-kamarnya kecil. Satu kamar ditempati dua hingga empat orang. Bila sudah berkeluarga, ayah dan ibu campur anak-anak hidup satu kamar, lengkap dengan alat-alat masak mereka.

Agak sulit mencari musium kecil ini. Pagoda Street hari ini adalah jalan penuh dengan toko-toko penjual souvenir untuk turis. Aku harus tanya tiga kali. Keempat kalinya, malah sudah kelewatan, tanpa sadar sudah melewati musium ini dua kali. Ia terdiri dari bangunan tiga lantai. Aku membayar tiket dan menaiki lantai demi lantai Chinatown Heritage Center.

Mereka mencoba menghidupkan kembali suasana ruko dengan minta sumbangan barang-barang asli dari mereka yang pernah tinggal di Pagoda Street. Rantang, kursi, meja, dingklik, gantungan baju, kain, kompor, koper kulit asli buatan Fukian, mesin jahit Singer maupun macam-macam produk tahun 1920an hingga 1950an, diatur rapi, sedekat mungkin dengan situasi asli. Setiap kamar sempit juga diberi televisi yang menceritakan penghuni kamar tersebut pada periode tertentu. Setiap tingkat menceritakan periode berbeda dari Pagoda Street. Pelacuran, perjudian, organisasi rahasia maupun premanisme mewarnai kemiskinan di daerah ini.

Arsitektur ruko sepanjang Pagoda Street, serta berbagai daerah Chinatown sekitarnya, berasal dari Raffles Town Plan buatan 1822. Peraturan itu mensyaratkan materi yang harus dipakai membangun ruko maupun keharusan membangun trotoar dengan lebar lima kaki, sekitar 1.5 meter. Akibatnya, muncul terminologi "five-foot ways" atau jalanan-lima-kaki. Pada 1950an, Pagoda Street terkenal sebagai daerah pertokoan kain dan tukang jahit. Di musium, aku juga mengamati lantai satu yang dijadikan toko tukang jahit pada jam kerja --dan tempat tidur pada malam hari.

Senang bisa melihat musium yang secara jujur mencoba memajang sesuatu apa adanya. Konteks sejarah juga dibuat transparan. Aku rasakan hal sama dengan Penang Heritage Walk dimana turis diajak mengelilingi kota Penang serta melihat bangunan demi bangunan, lengkap dengan keterangan historis masing-masing. Aku juga pernah mengamati rumah-rumah dengan lingkaran biru di London. Artinya, lingkaran biru menerangkan siapa dan apa yang pernah terjadi pada bangunan tersebut. Aku membeli buku, beberapa souvenir dan maket Chinatown shophouse. Aku kira penting untuk Jakarta buat membuat label-label macam begini. Aku memutuskan makan siang bubur ikan asin, di kedai persis sebelah musium-cum-ruko tersebut.

No comments: