Monday, April 09, 2007

Kemerdekaan yang Hakiki untuk Aceh

Rony Zakaria adalah satu-satunya wartawan dan fotografer yang mengikuti perjalanan kampanye Irwandi Yusuf, yang kemudian terpilih sebagai gubernur Aceh. Dia mengungkapkan rahasia di balik kemenangan mantan gerilyawan GAM itu.

KANTOR pusat Komite Peralihan Aceh atau KPA berada di tepi jalan Lamdingin, Banda Aceh. Berlantai dua. Di situ dipajang bendera bulan bintang, bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan foto almarhum Abdullah Syafe’i, panglima GAM yang sangat dihormati dan dicintai orang Aceh. Syafe’i gugur ditembak tentara Indonesia pada tahun 2003 dalam sebuah operasi militer di desa Jiem Jiem, Aceh Utara.

KPA diketuai Muzakir Manaf, panglima GAM yang menggantikan Syafe’i. Badan ini jadi wadah untuk bekas panglima dan anggota Teuntara Neugara Aceh (TNA) setelah kesepakatan damai Helsinki ditandatangani. Tanggung jawab KPA antara lain membantu mereka kembali ke kehidupan sipil dan bekerja di masa damai.

Siang itu, 23 November 2006, saya menemui Irwandi Yusuf di salah satu ruang. Rambutnya sudah memutih. Sorot matanya tajam. Perawakannya tidak mirip anggota militer, tapi akademisi.

Irwandi adalah dokter hewan lulusan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan pemegang gelar master dalam bidang kedokteran hewan dari Universitas Oregon, Amerika Serikat. Ia bergabung dengan GAM pada 1999 dan jadi penasihat intelijen militer GAM di bawah komando Muzakir Manaf.

“Tapi nanti ada yang off the record juga yah,” selorohnya, ketika saya mengutarakan niat saya untuk mengikuti perjalanan kampanyenya.

Sambil berbincang, ia sibuk memeriksa tinta mesin printer yang baru dikirim dari Jakarta. Ia menjelaskan bahwa kampanyenya dikerjakan orang-orangnya sendiri. Tidak ada pihak luar yang terlibat.

“Kerja saya merangkap. Apa yang bisa dikerjakan, dikerjakan,” katanya. Telepon selulernya terus berbunyi.

Kami akan berangkat ke Pidie tanggal 26 November untuk kampanye pertamanya. Tetapi sebelum tanggal tersebut, saya akan dikabari lagi.


PADA 26 November, pukul enam kurang lima menit, saya tiba di Lamdingin. Ternyata kantor sepi. Padahal Fahlevi, anggota Sentra Informasi Referendum Aceh atau SIRA, yang jadi salah seorang tim sukses Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, meminta saya datang pukul enam pagi. Nazar, yang jadi pasangan Irwandi dan mencalonkan diri jadi wakil gubernur Aceh juga orang SIRA.

Rumah bertingkat dua tersebut tampak gelap, sama seperti langit pagi buta di atasnya. Saya menunggu, sendirian. Saat jam hampir sampai pada pukul tujuh, Irwandi datang. Ia menyetir mobilnya sendiri dan di sebelahnya duduk seorang perempuan muda, yang kemudian saya ketahui adalah istrinya.

Saya menyapa Irwandi dan istrinya, Darwati. Saya bertanya pada Darwati apakah ia akan ikut serta ke Pidie. “Iya ikut, sekalian mau pulang ke Bireuen,” jawabnya.

Irwandi dan keluarganya memang punya rumah di Bireuen, Aceh Utara, namun sehari-hari ia lebih banyak di Banda Aceh dan mengontrak rumah di kawasan Darussalam.

“Nazar sudah berangkat kemarin malam ke Aceh Selatan,” kata Irwandi menjawab pertanyaan saya tentang kampanye Nazar hari ini.

Ia mulai sibuk dengan telepon selulernya, lalu menemui anggota tim suksesnya di halaman depan. Suasana sedikit kaku karena Irwandi tampak sedikit kesal, mungkin karena banyak anggota tim sukses belum datang.

“Kalau marah, Bang Wandi bisa lebih seram daripada Muzakir Manaf,” kata Nashruddin, tim sukses Irwandi yang baru saja tiba.

Akhirnya kami berangkat ke Pidie pada pukul 07.30. Saya dipersilahkan masuk ke mobil yang dikemudikan Irwandi. Saya duduk di belakang, sedangkan istrinya di kursi depan.


DIIRINGI alunan musik Scarborough Fair, laju mobil cukup kencang, bahkan cenderung ngebut. Melihat kekhawatiran saya, salah seorang tim sukses Irwandi yang duduk di sebelah saya berkata, “Maaf, tapi kami harus mengejar waktu.”

Di tengah perjalanan, mobil berhenti untuk beristirahat sebentar di sebuah rumah kecil milik lembaga swadaya lokal. “Dulu bapak ikut membantu di sini,” kata Darwati tentang keterlibatan Irwandi di Flora Fauna Indonesia (FFI). Lembaga ini bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup dan Irwandi merupakan salah satu pendirinya.

Menurut jadwal, jam sepuluh seharusnya kami sudah tiba di Pidie. Tetapi beberapa saat sebelum memasuki perbatasan Sigli, mobil mengalami masalah. Asap keluar dari kap depan mobil. Perjalanan harus terhenti sebentar.

Radiator mobil ternyata bocor. Irwandi sendiri yang memeriksa keadaan radiator. Jalanan tempat mobil berhenti sangat lengang, hanya satu dua mobil saja yang lewat. Salah seorang anggota rombongan berkata, “Dulu di sini sering terjadi kontak.” Yang ia maksud adalah kontak senjata antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Ya, mudah-mudahan dengan rahmat yang di atas, tetap seperti ini,” lanjutnya, sebelum ia kembali membantu Irwandi. Ia ingin masa damai selamanya.

Ketika rombongan kami sampai di perbatasan Sigli, di sana sudah menunggu massa dan simpatisan Irwandi-Nazar. Jumlah mereka kurang dari 100 orang. Mereka membawa poster dan memasang stiker Sinar (Seramoe Irwandi Nazar) di motor dan mobil mereka. Banyak yang ingin bersalaman dengan Irwandi atau sekadar mengabadikan momen tersebut dengan kamera telepon seluler.

Tepat jam tiga sore, mobil kami sampai di lapangan sepak bola Beureunuen. Podium tempat orasi terlihat sangat sederhana. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Irwandi bahwa dia calon yang paling miskin dalam kampanye.

Panggung terbuat dari kayu yang ditumpuk sejajar dan ditumpu beberapa drum kosong. Atapnya pun hanya terpal plastik dengan bambu sebagai penyangga.

Di lapangan tersebut berkumpul kurang dari seribu orang. Pidie memang bukan basis pendukung Irwandi-Nazar. Daerah tersebut merupakan basis kuat pasangan H2O, sebutan untuk pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, yang merupakan rival utama mereka. H2O calon dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan secara resmi pernah didukung KPA. Dukungan ini diduga karena Hasbi Abdullah tak lain dari saudara kandung Zaini Abdullah, menteri luar negeri GAM di Swedia.

Kampanye disampaikan dalam bahasa Aceh yang saya tidak mengerti, walau ada beberapa kosa kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Walau demikian saya sempat menangkap ucapan Irwandi tentang desas-desus hubungannya dengan Jusuf Kalla.

“Saya tidak menerima uang dari Jusuf Kalla,” katanya, yang disambut dengan tepuk tangan dan riuh massa. Kabar burung mengatakan bahwa kampanye Irwandi-Nazar mendapat sumbangan uang sebesar Rp 5 miliar dari Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia.

Di tempat itu pula saya bertemu dengan anggota tim sukses Irwandi yang lain, Isjkarudin Muda bin Usman. Pertama kali jumpa, ia mengira saya adalah wartawan asing. Perawakan saya seperti orang Jepang, katanya. Setelah saya berbicara dalam bahasa Indonesia, baru ia paham bahwa saya wartawan Indonesia. Isjkarudin adalah pengawal khusus Irwandi, sehingga ia akan selalu satu mobil dengan atasannya itu.

Rombongan kemudian menuju Bireuen untuk beristirahat dan bermalam di sana. Dalam perjalanan pulang, Isjkarudin sering terlihat bercanda dengan Irwandi dalam bahasa Aceh yang menunjukkan ia orang kepercayaannya. Usianya tigapuluhan dengan postur yang seperti tentara. Tegap dan kekar. Kebanyakan anggota tim sukses Irwandi, mantan TNA.

Sehabis berbicara dengan Isjkarudin, Irwandi berkata pada saya, “Dik, kami mendapat banyak laporan dari teman-teman di lapangan, banyak pemilih yang liar.”

Saya tak paham apa yang ia maksud.

“Banyak pendatang yang baru seminggu atau sebulan tiba, sudah dapat KTP (kartu tanda penduduk) dan didaftarkan,” tuturnya

“Mereka umumnya pekerja konstruksi dari Jawa,” katanya, menjelaskan asal pemilih liar itu. Irwandi dan orang-orang GAM mencurigai kuli-kuli bangunan ini, yang mereka sebut sebagai permainan intelijen Jakarta.

“Kami sudah lama tidak percaya sama pemerintah Indonesia,” kata Isjkarudin. Mereka khawatir suara-suara itu akan diberikan ke salah satu calon pesaing mereka yang didukung partai dari Jakarta. “Kami kalau kalah tidak apa-apa, asal adil,” tambah Isjkarudin.


ROMBONGAN tiba di Bireuen, tepatnya di desa Sagoe. Mobil berhenti di muka rumah keluarga Irwandi. Kami akan bermalam di sini sebelum melanjutkan kampanye ke Lhokseumawe keesokan harinya.

“Silahkan.” Ia mempersilahkan saya masuk. Rumah sederhana, punya empat kamar dan berlantai semen, bukan keramik.
Saya menempati kamar belakang bersama Isjkarudin.

Suara kokok ayam yang berulang-ulang terdengar di pagi 27 November 2006 itu. Saya baru setengah terjaga dan berusaha tidak menghiraukan suara itu.

Tapi saya benar-benar terbangun ketika Isjkarudin membangunkan saya dengan setengah memaksa.

“Rony, Rony bangun! Sudah jam tujuh, ayo cepat mandi. Sebentar lagi kita sudah mau jalan,” katanya. Mau tidak mau, saya pun melek dan langsung mandi.

Selepas mandi, saya menemukan Irwandi dan anggota rombongan di meja makan, bersiap untuk sarapan. Lhokseumawe salah satu basis terkuat GAM. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah pasar. Di situ Irwandi disambut warga yang umumnya pedagang dan nelayan.

Kampanye berlangsung di sebuah stadion sepak bola. Namun, di luar perkiraan, hanya sedikit orang yang hadir di sana. Sekitar 1.500 orang. Ternyata banyak warga yang salah lokasi karena tempat kampanye dipindahkan dari tempat sebelumnya, lapangan Hiraq, ke stadion tersebut.

Dalam kampanye sore itu, Irwandi menyatakan bahwa KPA yang sebelumnya secara institusional mendukung pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah atau H2O telah mencabut dukungannya. Memang di markas KPA di Banda Aceh, ketua KPA Muzakir Manaf bersama dengan Bachtiar Abdullah dan Sofyan Dawood telah melakukan konferensi pers di hari yang sama untuk menyampaikan pernyataan mengenai pencabutan dukungan terhadap H2O.

Saya pun sempat membaca salinan surat pernyataan yang ditandatangani oleh semua panglima wilayah GAM itu. Keceriaan jelas terpancar dari wajah tim sukses Irwandi dan tentunya juga Irwandi sendiri.

Saya pernah bertanya kepada Irwandi mengenai pernyataan mendukung H2O dari ketua KPA, yang mengikuti arahan Swedia dan mengapa ia sendiri tidak tunduk pada instruksi pemerintah GAM di luar negeri. “Saya ini tentara pemberontak. Saya tidak bisa mengikuti perintah bodoh,” sahutnya.


SEPERTI hari sebelumnya, hari ini saya juga dibangunkan oleh Isjkarudin dengan perintah sama: cepat bangun. Mandi dan makan pun harus cepat. Bagi Isjkarudin dan teman-temannya, kedisiplinan seperti ini hal biasa. Mereka biasa bergerak cepat sesuai tuntutan keadaan sebagai gerilyawan TNA, dulu.

Selepas makan, seorang perempuan paruh baya yang juga tinggal di rumah Irwandi berkata pada saya, “Ada kawan di depan.” Yang ia dimaksud adalah sesama rekan wartawan. Pagi itu di teras depan sudah menunggu tiga wartawan Al-Jazeera Internasional. Salah seorang dari mereka mengenalkan diri dengan nama Stephanie. Mereka akan mengikuti kampanye Irwandi di Matang, Bireuen, hari ini.

Kepada Stephanie, Irwandi mengeluhkan soal pemberitaan di sejumlah media lokal Aceh, termasuk di Serambi Indonesia. Berita di Serambi Indonesia, menurut Irwandi, terlihat memihak salah satu kandidat gubernur. “Berita mengenai H2O pasti ditulis besar-besar,” katanya.

Tetapi ketika ada berita menyangkut dirinya dan Nazar, contohnya tentang pencabutan dukungan terhadap H2O oleh KPA, hanya ditulis kecil saja. Irwandi kemudian memperlihatkan surat kabar Serambi Indonesia yang memuat berita tersebut. Panjang berita memang hanya satu kolom.

Sebelum menuju tempat kampanye, Irwandi dan rombongan pergi ke desa Lhong. Di desa ini sering terjadi kontak senjata saat konflik dulu.

“Saya jadi teringat masa-masa dahulu (konflik), di mana kita akan bertemu di persimpangan jalan dan bersama-sama pergi ke hutan dan gunung, ” kata Irwandi, ketika ia melihat orang-orang KPA yang menunggunya di persimpangan jalan memasuki desa Lhong.

Apakah ia pernah menembak musuh?

“Seringkali saya memutuskan untuk tidak menarik pelatuk untuk menyelamatkan nyawa mereka. Ketika jauh, mereka hanya seperti target, tetapi ketika mereka berada dekat, saya bisa melihat ke dalam bola matanya, dan mereka seperti saudara saya, juga manusia,” tuturnya.

Mobil memasuki desa. Jalan-jalan berbatu. Rumah-rumah sederhana.

Hampir semua warga yang berpapasan dengan rombongan kami tampak akrab dan kenal dekat dengan Irwandi. Dalam rombongan hari itu, turut serta adik bungsu Irwandi, Edi Suhaemi. Ia memperkenalkan diri sebagai adik bungsu Irwandi.
Edi bercerita bahwa keluarganya adalah keluarga abdi negara. Banyak anggota keluarganya yang bekerja di institusi pemerintah.

Adik Irwandi nomor dua adalah polisi. Edi sendiri jadi dosen di Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe. Oleh Edi saya diperkenalkan pada beberapa orang GAM di desa Lhong, termasuk mantan anggota polisi Takengon yang desersi dan melarikan sembilan pucuk senjata AK-45.

Kampanye di lapangan Blang Asan, Matang, dikunjungi sekitar 5.000 orang. Seperti kampanye sebelumnya (di Pidie dan Lhokseumawe), kampanye ini pun dibuka dengan lagu-lagu perjuangan Aceh dan GAM yang selalu dinyanyikan Sarjani bin Abdul Samad, yang akrab dipanggil Imum Jon.

Saya sendiri tertarik dengan syair lagu-lagu yang dinyanyikan Imum Jon, terutama lagu yang khusus diciptakan untuk kampanye Irwandi-Nazar. Lagu ini lucu dan mengundang gelak tawa siapa saja.

Beutoi hana salah…beutoi hana salah…betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Tanyoe aceh bek le meukleh sahoe jalan
Teungku Irwandi dan Nazar beutapeumeunang
Nyoe pasangan perjuangan perdamaian
Nyoe ureung droe koen ureung jak peu ureung droe GAM

Bak po tallah temue do’a uruoe malam
Nyoe lumboi nan beubeureukat tanyaoe meunang
Tamat keudroe aceh nyoe droe po piasan
Insya allah nyan ek leumoe jeut keu intan

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Geutanyoe koen ureung lap darah bak peudeung
Mita untong bak gop susah cok peuleuweung
Dalam uteun meutem susah meuteung payeung
Bak meutiyeup geuleugoeng yg raya umpeun

Watee rundeng ureung tanyoe geugloeng gaki
Hareum geu’ek ateuh perte atra RI
Independent tapeujuang nyan kajibrie
Pakoen pungo jinoe culok droe lam perte basi

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Meuploeh thoen ka janji-janji dijak ruah
Goep poh rimueng teuka jih jak laboe darah
Beutaturi rakan droe yg tem susah
Demi nanggroe demi bansa geu rhoe darah

Kasep dile dum tadeungoe janji-janji
Kapileh kee kubloe bajee sareng kupi
Buet kupeuget jalan kulhat langet kucet
Ban teupileh peng dipeugleh pasoe lam bhep

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi hai bang kaoy hana salah 2x
Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x


Terjemahannya:

Betul tidak salah… etul tidak salah.. .betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x

Kita orang Aceh jangan lagi terpisah-pisah, harus satu jalan
Teungku Irwandi dan Nazar harus kita menangkan
Ini adalah pasangan perdamaian
Ini orang kita sendiri (orang GAM) bukan orang-orang yang ngaku-ngaku GAM

Siang malam kita berdo'a pada Allah
Nomor enam (pasangan IRNA) semoga diberkati agar kita menang
Kita pegang sendiri pemerinta aceh
Insya allah taik lembu bisa jadi intan

Betul tidak salah.. .betul tidak salah.. .betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x

Kita bukan tukang lap darah di pedang
Cari keuntungan dari kesusahan orang cari peluang
Dalam hutan kami menderita dan merana
Ketika mengejar bangsat-bangsat yang rakus

Ketika rapat, orang kita bersikukuh
Haram bergabung dengan partai RI
Jalur independen yang kita perjuangkan dan sudah di beri
Kenapa sekarang kita malah bergabung dengan partai basi

Berpuluh-puluh tahun sudah janji2 diberikan
Orang yang membunuh harimau, dia yang berdarah
Harus kita kenal kawan sendiri yang mau susah
Demi negara dan demi bangsa rela darahnya tumpah

Sudah cukup dulu kita dengar janji-janji
Pilihlah aku biar kubeli baju saring kopi
Aku akan bekerja, jalan kubuat, langit akan aku cat
Setelah kita pilih, uang habis masuk ke kantong sendiri

Betul tidak salah.. .betul tidak salah.. .betul betul hai bang kaoy tidak salah 2x
Betul tidak salah... betul tidak salah... betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x


Nazar juga hadir dalam kampanye di Matang dan untuk kali pertama sang calon gubernur dan wakilnya hadir dalam sebuah kampanye bersama di luar Banda Aceh. Mereka memang mengagendakan kampanye keliling Aceh secara terpisah. Bagi-bagi tugas, istilahnya.

Dari komandan khusus saya, Isjkarudin, saya diberitahu bahwa besok rombongan akan pulang ke Banda Aceh. Ini kabar yang cukup menyenangkan. Artinya, saya bisa beristirahat dan mengambil beberapa pakaian bersih sebelum mengikuti perjalanan kampanye berikutnya. Maklumlah, saya hanya membawa dua helai baju dan sepotong celana yang saya pakai.


PAGI itu saya sudah bersiap untuk kembali ke Banda Aceh bersama rombongan. Namun ketika sarapan pagi selesai, Irwandi mendapat telepon dan setelah itu ia mengabarkan bahwa rombongan tidak jadi kembali ke Banda Aceh. Kami akan menuju Blangkejeren untuk kampanye esok hari. Musnahlah impian saya untuk bersantai barang sehari di Banda Aceh. Pakaian bersih lupakan saja.

Blangkejeren terletak di kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues. Untuk mencapainya kami harus ke Bener Meriah yang berjarak sekitar 101 kilometer dari Bireuen. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dalam dua jam.

Irwandi akan bertemu Nazar yang pada hari itu dijadwalkan berkampanye di Bener Meriah. Irwandi sendiri tidak ada jadwal kampanye hari itu. Baru keesokan harinya ia akan berkampanye di Blangkejeren.

Ternyata perjalanan menuju Blangkejeren memakan waktu lebih lama. Dari Takengon, kami harus menempuh jarak 156 kilometer. Tak cuma jauh, medannya pun sulit. Kami harus melalui barisan gunung yang berada di antara Takengon dan Blangkejeren.

Sebelum berangkat, Irwandi membeli beberapa sekop dan kapak.

“Untuk membersihkan tanah longsor,” katanya.

Perjalanan ke Blangkejeren sangat rawan akan tanah longsor, terutama ketika hujan turun. Hal ini membuat saya sedikit khawatir. Jalanan cukup sempit dan terjal. Lagi-lagi, Irwandi mengemudikan sendiri mobil yang membawa kami. Ketika saya menanyakan mengapa ia suka mengemudi sendiri, ia menjawab, “Saya tidak dapat mempercayakan nyawa saya di tangan seorang supir”.

Ia sebetulnya pantas jadi pembalap. Ia senang mengemudi kencang-kencang. Jantung saya seperti mau terbang dibuatnya.

“Ngeri liat Bang Wandi bawa mobil? Kami pun ngeri takut kalo Bang Wandi yang bawa,” kata Isjkarudin, sambil sedikit tertawa.

Kemampuan mengemudi Irwandi rupanya sudah tersohor di kalangan orang GAM, terutama para gerilyawan. Suatu hari seorang perwakilan Aceh Monitoring Mission, lembaga yang memantau pelaksanaan Perjanjian Helsinki di Aceh, ikut mobil Irwandi untuk bersama-sama ke rumahnya di Bireuen dari Banda Aceh. Di tengah perjalanan, orang ini minta diturunkan, saking takutnya. Ia memilih naik bus umum ketimbang ikut Irwandi.

Di perjalanan menuju Blangkejeren, saya pun makin percaya, mungkin bila ia tidak jadi gubernur, ia bisa jadi pembalap handal. Betapa tidak, dalam perjalanan tersebut ia dengan santainya dan mudahnya melewati jalan-jalan di barisan gunung yang berliku-liku, bahkan memasuki tikungan pun, kecepatan mobil tidak dikuranginya! Akibatnya mobil ngepot, seperti yang biasa disaksikan di reli-reli dunia!

Mobil melaju dengan alunan musik Bon Jovi, grup musik asal Amerika, yang distel agak keras. Saya terus-menerus khawatir. Jurang menganga di bawah kami.

Irwandi kemudian mengatakan kepada saya, kalau mengemudi pada malam hari sebenarnya lebih tidak menyeramkan. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab sambil bercanda, karena kalau malam hari katanya, jurang tidak kelihatan, hanya hitam saja, jadi tidak terlalu khawatir. Padahal, mungkin, jarak mobil dan jurang tinggal sentimeter saja. Alamak!

Semakin jauh mobil melaju, makin sedikit mobil yang ditemui di jalan. Tak berapa lama kami mulai melewati desa-desa kecil. Saya pun bingung, karena di tiap rumah ada gambar bendera merah putih, bendera kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Itu tanda kesetiaan pada RI (Republik Indonesia),” Irwandi menjawab keingintahuan saya, “Kalau tidak ada merah putih dianggap GAM, padahal dulu GAM juga ada yang tidur di rumah-rumah itu,” lanjutnya.

Ia kemudian juga bercerita mengenai penggundulan hutan yang terlihat di jalan yang kami lewati.

“Lihat itu di atas, gundul begitu, hanya ada satu dua pohon saja,” katanya, kesal.

Saat istirahat sejenak di tengah perjalanan, ia kembali menunjuk bukit di atas kami yang gundul karena penebangan hutan besar-besaran. Ia juga menyebut Hak Penerbangan Hutan atau HPH sebagai biang keladi penggundulan hutan yang terjadi di sana. “Yah, Bob Hasan dan kawan-kawan sejenisnya,” katanya.

Bob Hasan pengusaha keturunan Tionghoa. Di masa kejayaan Orde Baru, ia sangat dekat dengan presiden Soeharto. Hal ini memudahkannya mendapat izin menebang hutan sesuka hati, sampai-sampai ia dijuluki Si Raja Hutan. Ketika Soeharto lengser jadi presiden, kroni-kroninya tak lagi punya pelindung, termasuk Bob Hasan. Ia terpaksa mendekam di penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, karena kasus korupsi pemetaan hutan yang dilakukannya di masa Soeharto.

DI desa bernama Kampung Owaq, kami kembali istirahat. Ketika itu hari sudah sore, hampir pukul empat. Kampung tersebut tampak lengang. Tidak ada aktivitas yang terlihat di jalan-jalan. Hanya seekor anjing saja yang melenggang di jalanan itu. Rombongan memanfaatkan waktu untuk melepas rasa lapar di warung yang ada. Irwandi berbincang-bincang dengan pemilik warung dan beberapa lelaki yang kebetulan sedang berkumpul di situ.

Tiba-tiba keheningan jalan pecah oleh suara laju rombongan mobil berkecepatan tinggi. Semakin dekat, diikuti bunyi klakson, seorang pria paruh baya menampakkan dirinya di jendela salah satu mobil itu. Ia sudah memasang senyum, meski mobil tersebut belum lagi berhenti.

Irwandi pun menyapanya dan berteriak memanggil-manggil nama pria tersebut. Ketika mobil berhenti, kedua lelaki ini berpelukan dan saling senyum.


Lelaki paruh baya itu ternyata Jenderal purnawirawan Djali Yusuf, yang juga mencalonkan diri jadi gubernur Aceh. Perbincangan menjadi agenda yang tidak dapat dielakkan, sedang pertemuan merupakan suatu kebetulan belaka. Djali Yusuf adalah mantan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, yang membawahi semua pasukan TNI yang ada di Aceh. Dulu kedua tokoh yang sama-sama mempunyai nama belakang Yusuf ini pernah terlibat dalam kontak senjata di Cot Trieng, yang lebih dikenal sebagai Pengepungan Cot Trieng.

Pada pengepungan tersebut banyak pasukan TNI yang tewas oleh gerilyawan GAM. Awal mulanya adalah ketika TNI mendapat kabar bahwa ada petinggi GAM di Cot Trieng. Petinggi itu dikabarkan sebagai Sofyan Dawood, juru bicara GAM. Djali Yusuf pun memerintahkan pasukannya untuk mengepung daerah tersebut. Namun kabar tersebut tidak benar dan malah TNI dikepung balik oleh gerilyawan GAM. Sampai sekarang TNI tidak mengakui “kekalahan” di Cot Trieng tersebut. Irwandi mengetahui kejadian itu dengan tepat, karena ia sendiri yang mengatur strategi di sana dan sengaja menyebarkan informasi bahwa ada petinggi GAM yang di situ. Saat itu ia menjabat penasihat intelijen militer GAM.

Djali Yusuf dan Irwandi berbicang-bincang dan bercanda dengan orang-orang yang ada di warung. “Kami ini sama-sama Yusuf. Bedanya yang ini Irwandi Yusuf, yang satunya lagi Djali Yusuf,” canda Djali, sambil merangkul bahu mantan musuhnya.

“Inilah indahnya damai, jadi bisa seperti ini. Di rombongan saya pun ada juga yang bekas TNA,” lanjut Djali.

Senyum tak pernah lepas dari wajah mereka berdua. Akhirnya waktu yang harus membuat masing-masing rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kami ke Blangkerejen dan rombongan Djali Yusuf kembali ke Banda Aceh.

Sebelum kembali mengemudikan mobilnya, Irwandi sempat bercanda lagi dengan pemilik warung, “Bedanya TNI sama TNA, TNA nyetir sendiri.”

Kami sampai di Blangkejeren pada pukul tujuh malam dan bermalam di sebuah losmen.


BLANGKEJEREN, 30 November 2006. Kampanye akan berlangsung di sebuah lapangan pacuan kuda, tidak jauh dari losmen tempat kami menginap. Pukul tiga sore.

Untuk kampanye, Irwandi mengajak dua orang pemuka agama setempat. Ini lantaran GAM kurang mempunyai pengaruh di sini, juga bahasa setempat yang berbeda dengan bahasa Aceh yang dipergunakan sehari-hari oleh rombongan Irwandi.
Pemandangan di sekitar lapangan sangat indah. Gunung-gunung tampak mengelilingi daerah ini.

Hanya sekitar 500 orang yang datang. Masalah bahasa pun terlihat ketika Irwandi menyampaikan orasinya dan untuk pertama kali pula ia harus menggunakan bahasa Indonesia dalam kampanye. Sorak-sorai penonton pun jarang terdengar, karena bahasa Indonesia penduduk setempat juga kurang lancar. Lagu-lagu perjuangan Aceh yang biasanya dinyanyikan oleh Imum Jon pun ditiadakan.

“Kami tidak laku di sana, karena orang tidak mengerti,” kata Imum Jon setelah kampanye.

Nagan Raya adalah target kampanye hari berikutnya.

Namun, tidur bukan hal mudah. Pada pukul satu pagi, Irwandi memasuki kamar yang saya tempati bersama dengan Isjkarudin.

“Ayo jalan,” perintahnya, singkat.

Perjalanan menuju Nagan Raya harus melalui Takengon dan jalan yang sama, yang kami tempuh saat datang ke Blangkejeren. Artinya, kami akan melakukan reli lagi melalui barisan gunung.

Irwandi mengemudi, Isjkarudin duduk di sampingnya dan saya di bangku belakang.

Sebelum berangkat, Irwandi menginstruksikan, “Ikat, ikat!” untuk memastikan semua sudah mengenakan sabuk pengaman. Seperti kebiasaannya, ia memutar kembali lagu-lagu Bon Jovi dan dengan santainya memacu kendaraan dengan kencang. Medan yang berat, terjal, ditambah kegelapan malam seperti tidak menyusahkannya sama sekali. Di tengah alunan lagu “Blood Money” Bon Jovi, saya pun terlelap.

Saya terbangun ketika mobil tiba-tiba berhenti. Ternyata hari masih gelap dan dari jendela di kiri-kanan mobil masih terlihat wujud daun-daun pepohonan dan jurang, penanda kami belum sampai tujuan.

Mobil kami mengalami masalah radiator lagi, hal yang terjadi sejak pertama kali rombongan akan memasuki Pidie di hari pertama kampanye. Namun kerusakan kali ini sepertinya lebih parah.

Kerusakan itu mengakibatkan radiator cepat kering. Untuk mengisi ulang air radiator, Irwandi menggunakan air mineral botol. Ketika air di botol habis, ia mengambil air dari mata air. Radiator yang bocor itu membuat rombongan harus berhenti setiap 20 menit hanya untuk mengecek radiator dan mengisinya kembali dengan air yang bisa didapat di sekitar dan itu berlangsung terus, berkali-kali, sampai akhirnya rombongan sampai di kota dingin Takengon pagi harinya.

Sesampai di Takengon, rombongan berhenti untuk sarapan pagi. Saya kagum pada stamina dan ketahanan tubuh orang-orang GAM ini. Bayangkan, tujuh jam menyetir non-stop dan saat ini mereka dapat bercanda dan makan dengan santainya, sedang saya sendiri masih mabuk dan mual akibat reli malam itu.

Irwandi meledek saya, “Kamu kan masih muda, saya yang sudah tua saja kuat.”

Kampanye di Nagan Raya dihadiri sekitar seribu orang. Hujan jadi salah satu faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah massa. Hujan yang makin deras membuat banyak orang meninggalkan tempat kampanye, meski ada juga yang tetap bertahan sambil hujan-hujanan. Hujan juga yang membuat waktu kampanye lebih cepat.

Hari itu kami bermalam di rumah anggota KPA setempat. Besok, 2 Desember 2006, kami berangkat ke Calang.


PERJALANAN ke Calang, ternyata tidak kalah sulit dibanding rute ke Blangkejeren. Bukan karena medan yang berat, melainkan karena banjir memutus jalan satu-satunya dari Meulaboh ke Calang. Di Kuala Bhee mobil terpaksa berhenti gara-gara banjir menutupi jalan sepanjang 50 meter. Sebuah truk Colt terbalik setelah nekad melaluinya.

Melihat jalan satu-satunya menuju tempat kampanye terputus, saya mengira kampanye hari itu akan dibatalkan. Ternyata tidak. Naik mobil tak bisa, naik truk terbalik, maka para mantan tentara GAM itu pun memutuskan naik sampan untuk melalui banjir. Sampan untuk menyeberangi banjir hanya dapat memuat tiga orang, termasuk pangayuhnya.

Irwandi sudah menyeberang lebih dulu. Saya agak ngeri, meski banjir tersebut saya perkirakan cuma setinggi pinggul orang dewasa. Sampan tidak stabil dan sering goyah. Kalau sampai sampan terbalik, maka semua kamera dan hasil foto saya akan hilang semua.

Di ujung jembatan sudah menunggu dua buah mobil yang akan membawa rombongan kami ke tempat kampanye. Sekitar tiga jam perjalanan lagi harus ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan.

Di Calang sudah berkumpul sekitar 10.000 orang yang berkerumun di sekeliling podium yang didirikan secara sederhana oleh KPA setempat. Orang-orang yang datang itu kebanyakan berasal dari barak dan tempat pengungsian yang letaknya dekat situ.

Calang adalah daerah pesisir barat Aceh yang paling parah terkena tsunami. Rumah dan bangunan yang layak masih jarang terlihat, meski bencana sudah dua tahun berlalu. Rumah-rumah warga lebih tepat disebut gubuk.

Wartawan tak terlihat di tempat kampanye Irwandi. Selama ini kampanyenya memang kurang mendapat liputan wartawan.
Irwandi mengenakan pakaian tradisional Aceh lengkap. Ia bersiap-siap pidato, yang isinya tak jauh beda dengan kampanye di kota-kota sebelumnya. Pendidikan gratis mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pelayanan kesehatan dasar gratis. Sambil bercanda ia mendefinisikan arti kata “dasar” itu. “Dalam arti bukan kosmetik. Kalau mancungin hidung yah tidak gratis,” katanya, yang disambut tawa riuh massa.

Ia juga berorasi tentang kemerdekaan. Tetapi “kemerdekaan yang ingin kita capai bukan lagi kemerdekaan secara teritorial, tetapi kemerdekaan secara hakiki,” ucapnya.

Merdeka secara hakiki, menurut Irwandi, adalah bangsa Aceh dapat bebas dan makmur di segala segi. Kemerdekaan itu meliputi kebebasan mengatur kehidupan beragama, ekonomi, dan budaya, yang saat ini ia rasa belum tercapai.

Setelah kampanye, rombongan bersiap kembali ke Meulaboh. Namun, saat berjalan melintasi kantor polisi Aceh Jaya yang letaknya berdekatan dengan tempat kampanye tadi, seorang polisi keluar dan tiba-tiba tersenyum dan memanggil serta menjabat tangan Irwandi.

“Ayo-ayo diabadikan. Ini peristiwa bersejarah,” ujar seseorang pada saya.

Irwandi beserta beberapa anak buahnya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Rupanya polisi tadi adalah kepala polisi kabupaten Aceh Jaya (namanya saya lupa).

Ruang 3x10 meter persegi itu nyaman dan sejuk karena udara dari pendingin ruang. Polisi tersebut menyilahkan kami duduk di sebuah sofa yang ada di ujung ruang, dekat pintu.

Ia sangat ramah kepada kami khususnya pada Irwandi, seperti layaknya sahabat lama. Padahal sebelum Perjanjian Helsinki ditandatangani, Irwandi sempat ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara sampai tsunami pada akhir 2004 itu membebaskannya dari penjara.

“Dia ini guru saya,” kata kepala polisi itu, sambil melihat kepada Irwandi. Entah apa maksudnya. Mungkin serius. Mungkin bercanda.

Mereka berbicara dalam bahasa Aceh setelah itu. Kepala polisi bercerita tentang bagaimana ia bisa selamat saat tsunami menghantam Calang dan banyak anggota polisi yang meninggal waktu itu.

Saya heran saya melihat dua pihak, yang satu GAM dan yang satunya lagi polisi, bisa duduk dan berdialog dengan santai. Mungkin benar kata Djali Yusuf ketika bertemu Irwandi, “Inilah indahnya damai.”

Banjir rupanya belum surut benar di Kuala Bhee, tapi kali ini sampan sudah tidak ada dan truk besar jadi alat penyeberangan kami. Irwandi duduk di depan, sementara saya dan yang lain naik di bak truk. Dari serpihan kayu dan pasir di bak, saya pikir truk ini biasa digunakan untuk mengangkut pasir atau kayu.

“Baru pertama kali datang ke Aceh, semua sudah dijelajahi, utara, barat, timur sudah habis, sampan pun sudah, naik truk sudah, tinggal naik kuda saja yang belum!” Seorang anggota rombongan menyindir saya.
Kami tiba di sebuah rumah untuk bermalam pada pukul 00.30.


MEULABOH, 3 Desember 2006. Di lapangan Teuku Umar sudah berkumpul sekitar 12.000 orang. Sekali lagi liputan media sangat minim untuk Irwandi. Hanya seorang koresponden media cetak asing serta media elektronik yang mewawancarai Irwandi sehabis kampanye.

Minimnya perhatian media terhadap Irwandi disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah keputusan Irwandi dan Nazar untuk maju secara independen tanpa kendaraan politik berupa partai politik. Banyak orang menyangsikan kesiapan dan apalagi, kemenangan mereka.

Banyak orang yang menduga pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah (H2O) yang maju dengan dukungan Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) atau Malik Raden yang didukung oleh Partai besar Jakarta, Golongan Karya, lebih punya peluang besar untuk menang.

Dengan adanya dukungan dari partai, tentu saja dana sudah pasti tersedia untuk keperluan kampanye para calon. Humam-Hasbi sendiri dikabarkan menghabiskan lebih dari Rp 20 miliar untuk kampanye ini. Setidaknya jumlah poster dan spanduk kampanye terbanyak berasal dari pasangan tersebut.

Bagaimana dengan Irwandi? Ia mengatakan hanya menghabiskan kurang dari Rp 500 juta untuk kampanyenya. Dari mana sumber dananya? “Saya mencari dari teman-teman pendukung saya. Yah, ada dapat sedikit-sedikit, sesama miskin,” jawabnya, tanpa menyebut secara rinci siapa teman-temannya itu.

Irwandi memilih jalur independen, karena ia menganggap tidak ada partai politik yang mampu membawa aspirasi rakyat Aceh, dan partai lokal yang sedianya akan dibentuk oleh KPA, juga belum terbentuk. Setelah maghrib, kami menuju Bireuen dan bermalam lagi di rumah Irwandi.


DARI Bireuen kami menuju Lhokseumawe. Irwandi akan berkampanye lagi di Lhokseumawe. Banyak mobil datang mengangkut orang-orang yang ingin menonton kampanye di lapangan Hiraq. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, bahkan ada anak-anak. Poster Irwandi-Nazar dipajang di mobil-mobil itu. Beberapa warga memakai ikat kepala bertuliskan “Irwandi-Nazar”. Saya memotret antusiasme massa, beberapa kali.

“Banyak dari mereka yang tak akan dapat memilih (dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada),” ujar salah seorang simpatisan. Banyak yang belum memiliki kartu tanda penduduk atau KTP. Orang berjubel. Lapangan sepak bola yang luas itu tidak dapat menampung keseluruhan massa, yang diperkirakan berjumlah 20.000 orang.

Tiba-tiba dua orang simpatisan GAM mengibarkan bendera bulan bintang, bendera GAM. Tim sukses Irwandi panik. Mereka minta bendera itu disimpan. Namun, wartawan dan fotografer justru ingin bendera tetap dikibarkan. Mereka ingin menghasilkan tulisan dan foto yang sensasional.


RELI malam akan terulang lagi. Rombongan kampanye akan menuju Tapak Tuan, Aceh Selatan, yang berjarak 220 kilometer dari Bireuen atau sekitar 12 jam perjalanan. Berangkat pukul satu malam, tiba di tujuan pukul satu siang.

Tapak Tuan mempunyai potensi yang amat besar untuk sektor wisata. Di satu sisi berdiri gunung megah, di sisi lain membentang pantai indah. Namun jalan menuju kota ini cukup sulit. Jalan sempit dan hanya bisa dilalui satu mobil. Di terminal bus Lhok Tapak Tuan, podium sudah nampak berdiri walaupun sederhana dan pengeras suara pun sudah siap dipakai. Semua itu dikerjakan orang-orang KPA setempat. Meski secara institusi KPA tidak mendukung calon mana pun, bahkan pernah mengeluarkan pernyataan mendukung H2O, tetapi orang-orang di dalamnya yang kebanyakan mantan gerilyawan GAM mendukung Irwandi Yusuf, sesama angkatan muda GAM.

Irwandi berusia 46 tahun, paling muda di antara tujuh calon gubernur lainnya. Calon wakilnya, Nazar, bahkan lebih muda. Usia Nazar 33 tahun. Jika terpilih, Nazar akan jadi wakil gubernur termuda di Indonesia.

Massa sudah berkumpul. Sekitar 12.000 orang. Kampanye berlangsung seperti yang sudah-sudah. Pidato. Lagu-lagu.
Besok adalah kampanye puncak dan akan diadakan di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Artinya, dibutuhkan 14 jam perjalanan dari Tapak Tuan.

Saya makin kagum terhadap stamina Irwandi. Kalau dihitung-hitung, sudah 50 jam kami habiskan di jalan raya dan lebih dari setengahnya Irwandi yang mengemudi.


KAMPANYE di Blang Padang hanya dihadiri sekitar 3.000 orang. Tak ada lagu perjuangan yang dinyanyikan Imum Jon. Tapi kali ini liputan media amat besar. Mungkin karena kampanye berlangsung di Banda Aceh dan wartawan tak harus bersusah payah mencapai lokasi kampanye.

Fotografer sibuk memotret. Wartawan sibuk mencatat. Sofyan Dawood, juru bicara KPA, ikut hadir dan memberikan orasi. Irwandi pernah menyebut Sofyan sebagai ketua tim kampanyenya.

Saya tak mengikuti kampanye Irwandi yang terakhir di Sabang, Pulau Weh. Tubuh saya tak kuat. Tulang-tulang terasa mau patah.

Kami baru bertemu lagi pada hari pencoblosan, 11 Desember 2006. Irwandi mengenakan setelan hitam-hitam. Ia tersenyum menyambut wartawan yang sudah menunggu di halaman kantor KPA di Lamdingin, Banda Aceh. Senyum tegang, senyum khas politisi, bukan senyum yang biasa saya lihat saat kami reli.

Seorang wartawan bertanya tentang kansnya dalam pemilihan ini. Ia menjawab bahwa ia yakin akan menang dalam satu putaran saja. Ketika si wartawan menanyakan alasan di balik keyakinan itu, ia menjawab bahwa ia tidak punya dana untuk putaran kedua.

Bagaimana kalau kalah? “Jika saya kalah, saya akan jadi loser saja,” ucapnya santai, lalu menegaskan kembali bahwa ia akan menang.

Pada pukul tujuh malam di Swiss Bel-Hotel, Banda Aceh, diadakan pengumuman hasil quick count pencoblosan hari itu. Penyelenggaranya adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil resmi akan dikeluarkan Komisi Independen Pemilihan (KIP), tapi penghitungan ala LSI pun cukup akurat. Ia pernah digunakan di pemilihan presiden yang lalu.

Denny Jauhar Ali, ketua LSI, menyatakan Irwandi memperoleh 39,7 persen suara. Itu artinya 14 persen lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk menang pemilihan secara langsung dalam satu putaran.

Setelah mendengar pengumuman tersebut, saya memutuskan pergi ke kantor KPA di Lamdingin dengan becak.

Kantor itu tampak lengang. Tak ada kerumunan wartawan yang terlihat di ruang depan. Ternyata Irwandi sedang berada di ruangannya dan melayani wawancara dengan media asing. Saat wawancara selesai, saya langsung menemui dan menyalaminya.

“Saya menang kan karena kamu ikut kampanye saya,” selorohnya, diikuti derai tawa.

Kemenangan ini jadi kejutan bagi banyak orang.“Salah satu hal yang orang lain tidak tahu adalah jaringan. Saya memiliki jaringan, yang walaupun compang-camping tetapi masih rapi sampai ke bawah,” katanya.

Garis komando itulah yang ia maksud. Para panglima sagoe yang tersebar di seluruh pelosok Aceh adalah mereka yang menyokong dan jadi ujung tombak kemenangannya. Tetapi perjalanan untuk membawa Aceh pada kemerdekaan yang hakiki itu masih panjang. Dan ia menyadari itu. ***


Rony Zakaria adalah kontributor sindikasi Pantau di Jakarta, bekerja sebagai fotografer paruh waktu.

1 comment:

Anonymous said...

saya dukung aceh [merdeka]! hehehe.