Wednesday, January 05, 2022

Masukan buat Menteri Koordinator Mahfud MD soal diskriminasi dan intoleransi agama

Lima anggota Tim Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan bertemu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD tadi pagi di kantornya. Tujuannya, menyampaikan masukan soal diskriminasi, intimidasi dan kekerasan terhadap minoritas agama, termasuk anggota Ahmadiyah. Pertemuan berjalan 30 menit. Empat orang, termasuk saya, pakai 12 menit buat sampaikan masukan.


Pak Mahfud dan jajaran yang kami hormati,

Terima kasih menyediakan waktu. Kami datang dari empat organisasi. Setara Institute satu dari tujuh organisasi yang gugat PNPS 1965, bersama empat individu, pada 2009. Kontras, organisasi hak asasi manusia. Jemaah Ahmadiyah Indonesia, perkumpulan yang anggotanya sering jadi korban intimidasi dan kekerasan. Saya sendiri dari Human Rights Watch.

Kami datang untuk minta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, agar lakukan evaluasi terhadap puluhan peraturan yang jadi turunan PNPS 1965 serta merencanakan langkah-langkah buat mencabut PNPS 1965. Di seluruh Indonesia, ada ratusan peraturan tingkat daerah yang diskriminatif. Mereka termasuk soal Ahmadiyah. Mereka bisa dicabut Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan mencatat setidaknya 421 peraturan.

Secara statistik, kita melihat bahwa perundungan, intimidasi, serta kekerasan terhadap minoritas agama naik sejak Bakorpakem dipindahkan dari Kementerian Agama ke Kejaksaan Agung pada 2004. Selama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara 2004-2014, ada 125 orang dipenjara dengan PNPS 1965. Bandingkan dengan empat dekade sebelumnya. Presiden Soekarno bikin PNPS pada Januari 1965. Hanya ada 10 orang dipenjara sampai 2004. Kenaikannya naik 1.250 persen per dasawarsa. Ia tak menunjukkan penurunan hingga sekarang. Secara statistik, kita melihat kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat sejak pemerintahan Yudhoyono membuat SKB anti-Ahmadiyah pada 2008.

Pada 2014, Pew Research Center mengeluarkan penelitian global soal peraturan blasphemy dan apostasy. Ada 26 persen dari 198 negara masih punya blasphemy law, termasuk Indonesia, serta 13 persen punya apostasy law. Pew Center menyebut, “Apostasy and blasphemy may seem to many like artifacts of history. But in dozens of countries around the world, laws against apostasy and blasphemy remain on the books and often are enforced.”

Celakanya, pemerintah kini sedang mempersiapkan apostasy law dalam RUU KUHP. Kami minta pasal apostasy tersebut dihapus. Ia akan jadi kemunduran besar, sekali lagi, dalam sejarah bangsa-negara Indonesia.

Langkah yang benar adalah menghapus blasphemy law –bukan tetap mempertahankannya dalam RUU KUHP apalagi menambahkan apostasy law.

Kami sadar mencabut PNPS 1965 perlu modal politik besar. Kami usul agar dibuat diskusi, pendidikan publik dan rencana menuju Indonesia tanpa blasphemy law.

Bila pemerintahan Presiden Joko Widodo menganggap belum mampu mengeluarkan modal politik buat hapus PNPS 1965 (termasuk SKB anti-Ahmadiyah dan SKB anti-Millah Abraham), minimal lakukan moratorium. Ia juga perlu diiringi dengan perubahan Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 soal rumah ibadah.

Kami bisa menggalang berbagai organisasi masyarakat menyerukan moratorium. Ini yang dilakukan banyak negara Eropa. Kalau pun dipakai, blasphemy law digunakan untuk melindungi minoritas. Denmark, misalnya, pernah mengadili seseorang karena membakar Quran.

Saya kira, terlepas dari peliknya urusan agama dan kepercayaan dari Aceh sampai Papua, dari Miangas sampai Rote, kita semua harus berpegang pada janji-janji kemerdekaan Agustus 1945 dimana para pendiri bangsa ini sepakat menjamin kesetaraan warga negara. Kami mohon hindari ambil langkah yang akan makin menjauhkan negara-bangsa ini dari UUD 1945. Terima kasih.


Andreas Harsono

Human Rights Watch

No comments: