Tuesday, January 22, 2019

Obituari Ging Ginanjar: Catatan Morse

Amsterdam

Ging, menulis tentang kamu itu susah. Jadi saya harus memilih. Satu dimensi dulu. Dimensi lain luar biasa fasetnya. Biar saya simpan, seperti banyak orang menyimpannya juga.

Ging Ginanjar ketika demontrasi protes pembredelan Detik, Editor dan Tempo depan Dewan Pers 1994.

Terima kasih Tita untuk mengingatkan bahwa ketika terjadi pembredelan tiga media: Detik Tempo, dan Editor, Ging harusnya masuk rumah sakit gara-gara paru-paru. Dadanya sudah di-scan, dan ada flek-flek yang butuh diobati. Saat itu kami baru saja selesai dengan hebohnya "Pesta Topeng Cirebon di TIM Jakarta." Kelelahan masih menggantung penuh.

Sementara sebulan sebelumnya bersama Taufik Wibowo, kami mencari rumah yang ‘pantas’, untuk dijadikan kantor biro Detik di Bandung. Pemimpin redaksi Detik Eros Djarot baru saja menyepakati keberadaan kantor biro. Bowo sudah merancang perkakas apa saja yang dibutuhkan, dan menerima  Maskur, saat itu masih berusia 18 tahun untuk menjadi tenaga office boy. Ging excited.

Kantor biro tak pernah terealisasi karena adanya pembredelan. Dibredelnya Detik --kedunguan luar biasa yang tidak dimaafkan-- membuat Ging mengabaikan kondisi paru-parunya. Juga kehilangan pekerjaan, tak adanya jaminan asuransi, dan utamanya kemarahan atas tindakan semena-mena tanpa prosedur hukum dari pemerintahan Presiden Soeharto lewat  Menteri Penerangan Harmoko.

Bersama Ahmad Taufik dan Lucky Rukminto --beberapa bulan sebelumnya bermaksud menghidupkan kembali FOWI (Forum Wartawan Independen) sebagai gerakan perlawanan terhadap  PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)-- kami mengundang sejumlah wartawan media lain, baik yang nasional maupun daerah. Rapat pertama dihadiri oleh banyak kawan, antaranya Happy Sulistiadi, Yamin Pua Upa, Aa Sudirman, Tjahya Gunawan , Rinny Srihartini, Taufik Wibowo dan Patty Usman.

Kami masih bingung dengan alamat redaksi, akhirnya diputuskan, kalau tidak salah, kamar kostnya Ahmad Taufik, Jl Juanda 372, Bandung. 

Waktu itu selain jadi pemimpin redaksi, penata lay-out, Ging pun jadi koordinator kampanye melawan pembredelan dan hak kebebasan berekspresi. Terbitlah Buletin Perdana FOWI pada Juli 1994. 

Saat bersamaan,  dilakukan serangkaian diskusi nyaris tanpa henti dari kampus ke kampus, dengan dibantu antaranya Eros Djarot, Goenawan Muhammad, Aristides Katoppo,  juga kawan-kawan Detik, Tempo dan media lain.

Bergelap-gelap dalam Terang, Berterang-terang dalam Gelap

Begitu banyak enerji kami rasakan dengan sambutan buletin FOWI perdana. Terutama enerji yang dihidupkan oleh kawan-kawan dari koran kampus: ITB, Unpad, Unpar, Unisba dan ASTI (sekarang STSI) Bandung. 

“Kalau mau merdeka sampai tulang-tulangnya, kita musti berani transparan,” kata Ging ketika kami merencanakan edisi kedua yang bakal terbit di bulan Kemerdekaan Agustus 1994. 

“Kita harus berterang-terang dalam gelap, dan bergelap-gelap dalam terang,” dengan senyumnya yang khas dan tidak pernah berganti baju atau mandi selama berhari-hari.

Kami yang duduk dalam rapat agak jengah. Paling tidak saya yang lahir di jaman Orde Baru, punya semacam kekuatiran untuk ‘main buka-bukaan’ kayak gitu. 

“Kantor  redaksi musti,” tambahnya lantang. 

Hmm. 

“Apakah juga transparansi bagi pembuat laporan ?” tanya saya.

“Yang pengangguran silahkan kalau mau, tapi yang masih bekerja repot atuhh, kami makan darimana nanti?”

Akhirnya diputuskan penerbitan berikutnya kantor redaksi dicantumkan terang benderang Jl Morse 12 Bandung. Saya tidak tahu persis, apakah ini dengan seijin Mas Eros atau tidak. Yang pasti Mas Eros, beberapa kali datang. Bahkan pernah dengan membawa satu truk rambutan untuk makan kami, dan beberapa celana jeans dari Jl Cihampelas supaya si Pemred dan para reporternya punya celana baru. Akhirnya disepakati, para penulis hanya mencantumkan inisial saja, misalnya saya hanya memakai LPC, atau Ahmad Taufik menjadi AT, dan seterusnya.

Pasca Deklarasi Sirnagalih 7 Agustus 1994, buletin FOWI menjadi media resmi Aliansi Jurnalis Independen. Namanya diubah jadi Independen. Oh ya edisi kedua ini pun, mau dibikin keren dikit. Kami memperluas keterlibatan dalam penerbitan, dengan meminta kawan-kawan seniman menyumbangkan karya sebagai cover: Tisna Sanjaya dan Agus Suwage, antaranya. Jumlah halaman lebih tebal, dan tidak dalam bentuk foto kopian. Artinya butuh percetakan, dong.

Dengan urunan, dan hasil sumbangan sana-sini, kami mendapatkan percetakan setengah gratis dari kawan-kawan Yayasan Budaya Indonesia, Jl Purnawarman Bandung, tempat mangkal kami, sebelum pembredelan.  Kali ini akan dicetak sejumlah 1.000 eksemplar.

Lewat Tengah Malam, di Gang Gelap

Independen. Saya harus mencari sana-sini, ke percetakan-percetakan yang tersembunyi di gang-gang gelap. Dan harus mengantar dan mengambilnya, dengan bantuan banyak orang karena,  setelah lewat tengah malam. 

Setelah beberapa edisi, kami menjadi sulit mencari percetakan yang berani mencetak

Gusti. Sementara, pendapatan dari distrubusi tak pernah menutupi ongkos pencetakan.

“Kita kudu progresif, mendekati orang, menawarkan, kalau perlu memaksa bahwa ini penting buat kehidupan,” kata Ging. 

Iya deh, dan saya sebagai koordinator kaki seribu, alias ngerjain apa saja dah yang perlu, mulai puyeng. Kami bekerja harus siap  hulu jadi suku, suku jadi hulu (kepala jadi lutut, lutut jadi kepala). Bisa teu bisa, kudu bisa (bisa tak bisa harus bisa). 

Haduhh.

Seniman, jurnalis dan perlawanan

Buletin FOWI, yang kemudian secara perlahan berubah dalam tata perwajahan; awalnya beredar dari satu diskusi ke diskusi, atau di tiap pertunjukan, atau setiap pameran lukisan. 

Ada satu event kesenian di ITB (tolong dikasih info detil ya,Tita) dimana Titarubi membakar karyanya, dan momen itu terus terpateri dalam benak saya. 

Ging tampak berkaca-kaca. Hasil kerja keras Tita Rubiati yang berbulan-bulan itu hangus. Jadi abu dalam sekejab.

Akankah apa yang kami kerjakan bernasib serupa?

Saya menggenggam tangannya erat.

Tapi kami tidak sendirian. Tidak pernah sendirian. Setiap hari di Jl Morse, sekumpulan orang selalu ada dalam kebersamaan. Serangkaian event kesenian dibuat bersama sejumlah seniman, dari yang 'jeprut' sampai yang kontemporer. Hampir setiap hari Aa Sudirman, Dadang RHS, atau Aing Sinuki (si pembuat ilustrasi) kawan-kawan dari pers mahasiswa, antaranya  Wishnu Brata, Aday, Valens, Maria Donna, Henri Ismail, Goliono datang bergantian. Dan Maskur, tidak habis-habis menjerang air untuk kopi.

Tak jarang Rinny Srihartini, datang dengan makanan ransum –begitu kami menyebutnya, atau sumbangan dari Emak Inne, ibunda Ging. Pokoknya siapa saja yang punya uang …

Memasuki edisi November 1994, buletin Independen dicetak sebanyak 2.000 eksemplar. Staf  ‘kaki seribu’ makin banyak, mengutip Tita: “Setelah itu aku disibukkan dengan menjual "majalah" yang terdiri dari selembar A3 dilipat jadi ukuran A4, 4 halaman 'majalah' itu bernama FOWI (Forum Wartawan Indonesia - Bandung) dijual dengan harga Rp 1.000. Aku menjualnya dengan penawaran minimum Rp 1000,- tapi jika memberikan jumlah lebih maka akan mendapat prioritas edisi berikutnya. Suatu hari saat Sari Asih dan Hene pentas tari Bali, aku dan Ging berlomba: dalam 10 menit siapa yang mendapatkan uang lebih banyak dari menjual FOWI. Entah dia bener ikutan lomba atau enggak, yang pasti aku menang telak dari Ging.”

“Tapi semua orang boleh memperbanyak. Itu syaratnya. Heheuuu bae teu boga duit oge …,”kata Ging, cengegesan. Saya harus mengerjakan distribusi seluas mungkin. Dan begitu banyak insitiatif spontan menawarkan diri. Maaf, saya tak bisa menyebut satu persatu, staf kaki seribu ini. Begitu banyak, begitu berarti bak simphony. Yang satu tak pernah lebih penting dari yang lain.

Pada suatu kali, kami memutuskan untuk langsung turun langsung, alias mengecer di simpang jalan. Saya ingat Nunung Kusmiati dan Euis Balebat, yang setelah menyebarkan di Simpang Kosambi, Bandung, menjual dari satu angkutan kota ke angkutan lain. Mereka datang dengan tergopoh-gopoh dan  bersungut-sungut. “Kang Ging tidak kira-kira, kami tadi dikejar-kejar orang gila yang biasa nongkrong di situ.”

Ging terbahak-bahak. “Wah jarang-jarang kalian dikejar-kejar orang gila kan heuheeuu. Kejar balik atuh, terus dikeleketek.” Sinting. Tapi untuk mengobati kepanikan, malam itu dia mentraktir Nung supaya lain kali bisa lari sama cepatnya.

Oleh kenekadan staf kaki seribu ini, dengan janji setiap orang adalah paling tidak adalah distributor;  Independen tersebar bukan hanya di kalangan tertentu. Beberapa supir angkot, kerap datang untuk membawa Independen sebelum nge-tem cari penumpang. Tak jarang, pagi-pagi sekali seorang tukang sayur mengetuk pintu untuk menawarkan diri mendistribusi Independen.

Eh, tahun itu kita tak punya segala kemudahan teknologi komunikasi macam internet sekarang. Jadi ketika ada laporan masuk dari Jakarta, kami harus menggunakan fax. Karena Ging kalau sudah duduk di depan komputer, susah berdiri lagi; saya atau Maskur yang diminta mengambil fax di kantor Telkom di Jl Tamblong.

Karena uang kami tak cukup untuk membayar ongkos fax, akhirnya kami membayarnya dengan Independen. Dan saya percaya, si pegawai Telkom bagian fax itu, tidak membacanya sendirian.

“Biarkan dia tersesat di jalan lurus,” seloroh Ging si Almukarom.

Independen di Kaleng Biskuit Khong Guan

Ketika tengah mengepak Independen (sekarang harus dimasukan ke dalam doos, karena pesanannya sudah banyak) yang harus dikirim ke Bali, Pontianak, Yogyakarta, dan Surabaya, kami mendapatkan kunjungan pater-pater dari Larantuka, Pulau Flores. 

Ging sedikit basa-basilah dengan para pater, “Pakai apa pater ke sini?”

Dengan Bahasa Indonesia logat Flores, si Pater menjawab, “Kami tak punya cukup, Bapak. Kami berjalanlah ke sini.”

Saya tidak tahu, pikiran Ging ada dimana waktu itu. Dengan selorohnya dia menjawab, “Bagus itu, Bapak. Kaki memang buat berjalan, biar sehat.”

Setelah cerita ngalor-ngidul, si Pater ingin membawa Independen ke beberapa kota yang ingin ia singgahi, namun dengan syarat ‘tidak kelihatan.’ Saya dan Maskur, agak bingung dengan permintaan ini. Akhirnya, karena kami punya beberapa kaleng bekas biskuit Khong Guan, kami gulung majalah-majalah itu dan dimasukan ke dalamnya. 

Para pater ke luar melengang dengan wajah puas. 

“Kalian pakai kaleng Khong Guan? Itu mereka jadi kayak pedagang kelontong. Tanya ke toko sebelah kagak ada barang seperti ay punya,” kata Ging, kembali duduk di meja komputernya.

Pernah juga suatu hari, kami didatangi intel yang menyamar jadi mahasiswa. Segera bisa kami baui dari sikap dan isi bicaranya. Saya tidak ingat lagi, siapa-siapa saja yang ada di Morse kala itu. Tapi Ging mengatakan, biarlah itu jadi urusannya.

“Jadi Bapak mau kenal pemred-nya ?” kata Ging. 

“Dia lagi tugas ke luar kota. Bapak tunggu saja, sembari ngopi dan baca-baca. Silahkan Pak,” tambahnya lagi sambil menyodorkan Independen. Si intel duduk menunggu, dan tidak pilihan selain membaca dan ngopi. 

“Silakan, silakan Pak. Juga kalau Bapak mau fotocopy, mungkin buat teman-teman Bapak yang tertarik”

Tidak hampir sejam, si intel pergi dengan membawa beberapa eksemplar. 

Ging tertawa lebar. “Rasain lo, kena racun,” sergahnya.

Jika sudah bekerja, seperti cerita Titarubi, Ging bisa melakukan tanpa jeda. Selain lupa makan, juga lupa tidur. Dan inilah hasilnya: Suatu hari ketika tengah berjalan ke ruangan lain Ging menabrak tembok, sampai tubuhnya terhuyung. 

Dan komentarnya?

“Siapa yang meletakkan tembok di sini ?”

(Ya, Ging, jadi ‘ tembok-tembok’ itu yang musti diruntuhkan, kita jangan bergeser).

No comments: