Friday, August 26, 2011

Bias Wartawan terhadap Pluralisme


KEMARIN malam seorang rekan wartawan dari Aliansi Jurnalis Independen memberitahu saya agar baca mailing list ajisaja@yahoogroups.com. Ini list milik Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dia bilang ada beberapa diskusi soal survei Yayasan Pantau tentang Indonesia, Islam dan jurnalisme.

Lewat Facebook, saya juga baca beberapa komentar. Tentu orang kaget, minimal bertanya-tanya, ketika beberapa media memberitakan bahwa cukup banyak wartawan Indonesia punya pandangan fundamentalisme (Islam). Mereka ingin Ahmadiyah dilarang (64.3 persen), setuju fatwa Majelis Ulama Indonesia haramkan pluralisme (63.5), setuju majalah Playboy dilarang (63), setuju poligami (20.3), setuju hukum cambuk (20.2), setuju hukum syariah (37.6) dsb.

Usul saya sebaiknya orang yang ingin tahu, bacalah paper tersebut lebih dulu. Sayang ajisaja@yahoogroups.com tak mengizinkan orang kirim attachment dengan memory besar.

Paper tersebut, "The Mission of Indonesian Journalism: Balancing Democracy, Development, and Islamic Values," diterbitkan oleh International Journal of Press/Politics. Ia ditulis oleh Lawrence Pintak, dosen Washington State University dan mantan koresponden CBS di Jakarta, serta Budi Setiyono, pemimpin redaksi Historia serta sekretaris Yayasan Pantau. Paper tsb setebal 25 halaman. Ada summary bisa dibaca di situs web Press/Politics. Isteri Pintak orang Jawa asal Solo. Mereka tentu sering berada di Jakarta.

Lewat Facebook, Satrio Arismunandar, anggota Aliansi Jurnalis Independen, bertanya kenapa survei pada Juli-September 2009, "Kok baru didiskusikan sekarang (2 tahun kemudian)?"

Survei ini sebenarnya terbit resmi pada Desember 2010. Layaknya jurnal ilmiah, ia terlambat terbit, baru praktis terbit Februari 2011. Saya pribadi baru melihat dan membacanya April 2011.

Jurnal ilmiah memang perlu waktu lama karena ada peer-review. Naskah ini direview atau dinilai oleh beberapa akademisi yang dianggap punya karya ilmiah dalam bidang yang ditawarkan oleh Pintak-Budiyono. Salah satu reviewer adalah sejarahwan Janet Steele dari George Washington University, yang menulis buku Wars' Within soal majalah Tempo. Reviewer biasanya tak diberitahukan kepada penulis. Saya tahu soal kesertaan Janet Steele karena Steele cerita pada saya Juli lalu.

Survei dilakukan oleh 32 surveyor pimpinan Imam Shofwan dari Pantau. Ia dilakukan di 16 provinsi (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi). Responden semua dari media mainstream. Artinya, mereka dari media besar, baik cetak, televisi, dotcom maupun radio, yang mapan. Total responden 600 orang.

Kenapa baru didiskusikan bulan Agustus?

Sederhana sekali. Karena undangan dari AJI dan LBH Pers kepada Buset memang datang bulan Agustus. Buset berhalangan hadir (ada urusan pribadi), juga Imam Shofwan (urusan Lapindo), dan mereka mengusulkan saya untuk pengganti. Saya sebenarnya tak terlibat dalam survei namun mereka memandang saya cukup mengerti soal pekerjaan ini. Saya juga ketua Yayasan Pantau.

Paper ini baru akan diseminarkan bulan Oktober di Universitas Columbia, New York. Imam Shofwan akan berangkat ke New York.

Saya usul paper ini dibaca dulu agar diskusi berlangsung lebih dalam. Ini adalah survei pertama soal bias wartawan di Indonesia. Ia berguna untuk memahami perkembangan jurnalisme di Indonesia sejak pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998. Terima kasih.

No comments: