Friday, April 30, 2004

Sekarang Makin Banyak Fenomena "Media-lomania"

Bandung, Kompas - Kesenjangan antara realitas politik di media cetak dan elektronik dengan kenyataan politik sesungguhnya, belakangan ini makin banyak dimanfaatkan oleh penderita "media-lomania". Penderita penyakit pascakekuasaan itu dengan cerdas mengemas berbagai peristiwa sehingga ia bisa muncul di berbagai media.

Demikian dituturkan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Bimo Nugroho, seusai acara diskusi panel bertema "Media Politik atau Politik Media" yang diprakarsai Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Kamis (29/4). Hadir pula panelis Direktur Utama Radio Mora Bandung Monang Saragih, wartawan majalah Pantau Andreas Harsono, dan wartawan Koran Tempo Dian R Basuki.

"Saya melihat, belakangan ini semakin banyak penderita ’media-lomania’ yang tampil di berbagai media. Itu wajar karena saat ini media semakin bebas. Lagi pula, kini realitas politik media terpisah dengan realitas politik yang sesungguhnya," ujar Bimo.

Penderita penyakit "doyan" jadi narasumber itu, menurut Bimo, mudah terlihat pada politisi atau aktivis gerakan mahasiswa yang sudah lewat masanya dan ingin tetap berada di kancah politik. Kepandaian "media-lomania" membangun relasi dengan media dan membungkus peristiwa hingga sesuai selera wartawan, dinilainya akan semakin mengurangi pilihan.

"Dampak negatifnya tentu membuat media tidak punya banyak pilihan dan wartawan malas mencari narasumber di lapangan. Belum lagi, biasanya orang yang keranjingan dikutip itu sering memberi fasilitas seperti jumpa pers hingga amplop," ujarnya lagi.

Oleh sebab itu, Bimo menyarankan para praktisi media untuk lebih dulu melakukan riset sebelum terjun ke lapangan. Melalui persiapan, lanjutnya, praktisi media tidak akan terjebak pada kemasan bagus "media-lomania".

Dalam diskusi itu, Andreas menyatakan bahwa wartawan sebaiknya mengambil one way ticket tatkala ingin masuk ke dunia politik. Ketika wartawan terjun ke politik, ia harus mengundurkan diri dari media karena keduanya tak dapat berjalan beriringan.

"Wartawan bukan revolving door (pintu putar) yang bisa bolak-balik dari politik ke media dan sebaliknya. Cara pandang politikus dan wartawan terhadap informasi jelas beda," tegas Andreas. (K12)

No comments: