Tuesday, January 25, 2022

Ketika keperluan material terasa sudah terpenuhi


SAYA pergi ke Plasa Senayan, dekat rumah, guna mengambil sesuatu dari sebuah toko dimana saya pesan hadiah buat isteri. Ternyata pesanan belum jadi. Mereka kekurangan karyawan. Mesin juga ada kerusakan. Saya kecewa tapi bisa mengerti dengan kesulitan tersebut. Saya putuskan cari barang lain. 

Pandemi memang bikin banyak sekali perusahaan, entah berapa ribu di seluruh Jakarta, besar, menengah dan kecil, mengurangi karyawan atau biaya pemeliharaan alat. Ada tailor kenamaan terpaksa rumahkan penjahit mereka. Ada belasan toko di Plasa Senayan --mungkin bangunan mall dengan harga sewa per meter persegi paling mahal di Indonesia, menurut Erfi Daniel, manajer Coffee Club di mall ini-- terpaksa tutup. 

Sambil jalan-jalan dalam mall, saya jadi berpikir memanjakan diri sendiri dengan beli sesuatu. Atau makan sesuatu? Hampir 90 menit saya jalan-jalan, lihat berbagai toko dan tempat makan, ternyata tak ada satu pun yang menarik perhatian saya. 

Entah kenapa, saya merasa berkecukupan. 

Saya merasa ingin makan di rumah saja. Lebih sehat dan hemat. Bukan berarti saya punya uang buat membeli arloji bermutu atau lukisan indah tapi kalau pun ada uang, saya merasa cukup menikmati lukisan-lukisan indah di museum. 

Saya tahu arloji dari Swiss jauh lebih bermutu daripada arloji Seiko dengan army strap yang sudah saya pakai lebih dari dua dekade. Rasanya Seiko juga baik. Kadang memang terlambat tapi tinggal putar sret ... sret ... sret ... sudah tepat lagi. 

Arloji Seiko ini baru beberapa tahun saya pakai buat mengganti arloji sejenis, yang saya beli di Singapura pada 1996 ketika saya bekerja sebagai koresponden buat harian The Nation (Bangkok). Tukang arloji Seiko menganjurkan saya ganti baru karena arloji lama terlalu sering service

Ada pameran lukisan dan patung di Plasa Senayan. Saya menikmati lukisan artis Belanda Johan Rudolf Bonnet (1895-1978). Ia gambar seorang lelaki Bali. Saya amati berkali-kali. Harganya Rp 900 juta. Kalau dibeli ia bisa jadi investasi yang menguntungkan. Saya tentu tak sanggup membeli lukisan semahal ini. 

Tapi buat apa juga? Saya merasa isteri dan kedua anak saya juga berkecukupan buat hidup layak, dari makan sampai pendidikan. Saya hanya perlu hidup sehat dengan mengurangi berat badan, makan lebih sehat, olahraga teratur. 

Ketika muda, saya pernah berpikir macam Soe Hok Gie (1942-1969), seorang cendekiawan publik dari Jakarta, yang menulis dalam buku hariannya bahwa orang yang mati muda seyogyanya lebih bahagia daripada mereka yang mati tua. Saya bukan tak punya gaya hidup tanpa resiko. 

Sebagai seorang aktivis sejak 1980an, saya sadar bahwa resiko jadi korban kekerasan cukup tinggi, dari badan cacat sampai kehilangan nyawa. Saya juga biasa hidup sederhana --kecuali beli buku mungkin. Hok Gie sendiri meninggal di puncak Gunung Semeru. Dia keracunan gas ketika menemani seorang kawan pendaki gunung yang terluka. 

Kini tanpa terasa saya hampir umur 60 tahun. Mungkin wajar pada orang yang mulai berumur merasa berkecukupan. Mau ngopi bisa dengan mudah ke Starbucks. Mau belanja keperluan sehari-hari juga tidak repot. Mau liburan, perlu sedikit menabung, tapi bisa terpenuhi. Saya bahkan sering menerima hadiah. Entah dari organisasi dimana saya diminta ceramah. Entah dari relasi ketika hari raya. Mulai dari batik sampai kerajinan logam. Isteri dan anak-anak juga sering kasih hadiah. 

Masa pandemi ini juga banyak kawan saya memerlukan bantuan, dari jaga kesehatan diri sendiri atau keluarga sampai melanjutkan pendidikan. Ada yang harus operasi. Ada yang harus bayar kuliah. Ada yang kehabisan modal. Ini belum lagi mereka yang ditangkap polisi karena demonstrasi. Atau melahirkan ketika pasangannya ada dalam penjara. 

Saya banyak memberikan perhatian kepada tahanan politik dalam beberapa dekade ini. Mereka dipenjara karena menyatakan pendapat tanpa kekerasan. Saya berusaha menolong mereka bersama kawan-kawan lain, sebisa-bisanya. Ini juga membuat saya merasa bersalah bila membeli keperluan tersier --bukan primer maupun sekunder. Mereka lebih memerlukan daripada saya. Selalu usaha meluangkan sedikit uang saya, yang juga tak banyak, buat meringankan beban mereka. 

Ini belum lagi dua orang adik kandung saya, punya kondisi kejiwaan. Mereka masih ditopang, secara finansial, oleh orangtua, selama dua dekade ini. Namun saya selalu ingat akan mereka. Bolak-balik harus berobat, kadang masuk rumah sakit. Mereka memerlukan biaya --setidaknya buat transportasi dan makanan ekstra. Keduanya beruntung punya asuransi kesehatan dari negara Indonesia.

Bisa membantu kerabat dan kawan membuat saya merasa lebih manusiawi. Tidak lebih, tidak kurang. 

Mungkin saya terpengaruh Soe Hok Djin atau Arief Budiman (1941-2020), kakak Hok Gie, yang mengajar saya di Salatiga pada 1980an. Arief hidup nyaman, cukup namun selalu berusaha etis, tak berlebihan. Pakaian sederhana. Vespa, sepeda pancal dan mobil tua. Rumahnya kebanyakan terbuat dari bambu dan kayu, tanpa pagar, serba terbuka. Disain dari arsitek kenamaan Y.B. Mangunwijaya. Arief juga suka membantu orang. Arief menulis memo buat orang yang perlu rekomendasi. Dia juga ikut rekomendasi agar saya dapat beasiswa di Universitas Harvard. Dia mendidik orang dengan memberi contoh. Dia hidup secukupnya. 

Salah satu orang asing yang menarik perhatian saya beberapa tahun terakhir adalah Marie Kondo, seorang perempuan yang dijuluki the tidiest woman in the world. Dia seorang penulis Jepang, yang berpengaruh di dunia karena metodenya merapikan rumah. Netflix siarkan berbagai macam program dengan Marie Kondo. Dia juga muncul dalam acara The Late Show with Stephen Colbert. Ini sebuah acara televisi yang terkenal di New York. Marie Kondo bilang setiap benda yang kita miliki perlu disentuh dan ditanya apakah ia "spark joy" (memicu kesenangan). Marie Kondo membuat saya berpikir untuk tak memiliki terlalu banyak barang. 

Entahlah. Saya memutuskan pulang ke rumah, tanpa membeli apapun, sesudah dapat hadiah pengganti buat isteri. Tidak ngopi, tidak ngemil. Saya merasa lebih baik hidup dengan lebih sederhana. Sound spiritual? Saya tak bicara soal surga dan neraka lho. 

Ia setidaknya lebih sehat buat badan dan jiwa saya. Marie Kondo mengingatkan bahwa gaya hidup secukupnya juga lebih baik buat lingkungan hidup. 

Dalam mobil, sambil dengar musik Genesis, saya tiba-tiba merasa terbebas dari keperluan material. 



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.