Tuesday, April 09, 2019

Indonesia: Buku Baru soal Kekerasan Suku, Agama


Represi Pemerintah dan Kekerasan Komunal Sesudah Kemunduran Soeharto


(Jakarta) – Perubahan politik di Indonesia pasca-Soeharto memicu kekerasan etnis dan agama di seluruh negeri, menurut sebuah buku karya Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia, yang diterbitkan hari ini.


Buku setebal 280 halaman, Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia, diterbitkan oleh Monash University Publishing seminggu sebelum pemilihan umum pada 17 April 2019. Harsono lima tahun berkeliling Indonesia, mulai dari Sabang, paling barat hingga kota paling timur Merauke di Papua Barat, dari Pulau Miangas di utara, dekat perbatasan Filipina, hingga Pulau Ndana, dekat pantai Australia. Perjalanan tersebut membawanya ke lebih dari 90 lokasi, termasuk 41 kota kecil dan 11 pulau terpencil. Banyak dari lokasi tersebut merupakan lokasi kekerasan negara atau komunal.

“Indonesia bukan hanya negara terbesar di Asia Tenggara – tetapi juga negara dengan populasi mayoritas Muslim terpadat di dunia,” kata Nathan Hollier, direktur Monash University Publishing. “Kami berharap buku ini dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika sosial di negara yang sangat beragam, kompleks, dan penting ini.”


Pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998, setelah tiga dekade berkuasa, memicu perubahan politik di Indonesia yang memiliki ribuan suku serta bahasa, ratusan agama dan kepercayaan. Banyak kelompok etnis dan agama berusaha mencari keseimbangan baru (equilibrium), menuntut peranan lebih besar dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya di wilayah mereka. Beberapa dari golongan ini terlibat dalam konflik berdarah di wilayahnya.


Harsono menghabiskan waktu 15 tahun untuk meneliti dan menulis bukunya, yang mendokumentasikan bagaimana ras dan agama menjadi lazim dalam politik Indonesia. Ia memperkirakan setidaknya 90.000 orang terbunuh dalam sebagian besar kekerasan komunal dalam satu dekade setelah kepergian Soeharto.


Saat ini, impunitas masih menjadi masalah besar di Indonesia. Banyak politisi lokal dan nasional pada pemilihan umum mendatang, termasuk calon presiden, Prabowo Subianto, dan calon wakil presiden, Ma’ruf Amin, terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terkenal namun tidak pernah diadili.


“Ketika Andreas Harsono kembali dari Nieman Fellowship di Universitas Harvard pada tahun 2000, dia memperkenalkan penulisan narasi yang panjang dan mendalam di Indonesia, bicara soal liputan sastrawi,” kata Elaine Pearson, direktur Human Rights Watch Australia. “Pada tahun 2008, dia mulai bergabung dengan Human Rights Watch, melakukan penelitian tentang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Dia menggabungkan keterampilan liputan sastrawi dan riset hak asasi manusia dalam catatan perjalanan ini, memadukan kunjungannya ke banyak kuburan massal dengan analisis akademis.”


Human Rights Watch adalah organisasi internasional yang berkantor pusat di New York, bekerja di hampir 100 negara, mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang tak terbantahkan. Para peneliti mereka adalah pakar soal berbagai negara yang mereka liput dalam masalah hak asasi manusia. Beberapa dari mereka menerbitkan buku untuk merefleksikan tema dan peristiwa yang relevan secara lebih mendalam.


Monash University Publishing adalah perusahaan penerbitan dari universitas terbesar di Australia dengan empat kampus di Victoria (Clayton, Caulfield, Peninsula, dan Parkville), satu di Selangor (Malaysia), dan satu di Johannesburg (Afrika Selatan). Monash juga memiliki pusat pelatihan di Prato (Italia), akademi penelitian di Mumbai (India), dan kolaborasi dengan Universitas Tenggara di Suzhou (Tiongkok). Ia menerbitkan buku-buku tentang humaniora dan ilmu-ilmu sosial, yang mengkhususkan diri pada Asia serta sejarah, budaya, dan sastra Australia.


Buku ini dibagi menjadi tujuh bab dan sebuah epilog. Setiap bab berpusat pada sebuah pulau besar di Indonesia:


Sumatra: Militan Aceh melawan pemerintah Indonesia sejak tahun 1976. Banyak pulau seberang, seperti Sumatra, harus menyesuaikan diri dengan cara pandang dari Jawa jika ingin mendapat dukungan finansial dari pemerintah di Jakarta. Namun bencana tsunami tahun 2004 di Aceh dan Pulau Nias menghasilkan kesepakatan damai antara Gerakan Acheh Merdeka dan pemerintah Indonesia, mengakhiri konflik selama tiga dekade. Aceh lantas memperkenalkan syariah Islam, memperkenalkan bermacam peraturan daerah yang diskriminatif terhadap minoritas agama, gender dan orientasi seksual.


Kalimantan: Pada tahun 1997, militan Dayak membunuh orang Madura, yang berasal dari Pulau Madura. Pada tahun 1999, pembantaian yang lebih besar terjadi di daerah Sambas, Kalimantan Barat, di mana militan Melayu membunuh sekitar 3.500 pemukim Madura. Pada tahun 2001, kekerasan etnis yang mematikan tersebut menyebar ke Sampit di Kalimantan Tengah, ketika militan Dayak membunuh sekitar 2.500 warga Madura.


Sulawesi: Banyak orang Minahasa, termasuk dengan background militer, terlibat dalam gerakan bersenjata Permesta terhadap negara Indonesia pada 1950-an. Daerah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen ini berhasil menghindari kekerasan sektarian yang terjadi di provinsi tetangganya: Kepulauan Maluku dan sekitar Danau Poso di Sulawesi Tengah.


Jawa: Pulau terpadat di Indonesia namun juga merupakan arena di mana kelompok Islam dan nasionalis Indonesia saling berebut dasar filosofis negara ini sejak tahun 1920-an. Gagasan formalisasi Syariah Islam mulai berakar pada saat itu, yang mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan gender, serta menentang gagasan kebangsaan Indonesia. Setelah jatuhnya Soeharto, golongan Islam politik di Pulau Jawa menghidupkan kembali gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Mereka ingin mengubah Konstitusi untuk mewajibkan umat Islam mengikuti Syariah, mengusulkan larangan terhadap pemimpin non-Muslim di wilayah mayoritas Muslim, mengupayakan penegakan peraturan Syariah yang lebih luas, dan mendesak untuk mencalonkan kandidat yang bersimpati dengan golongan Islamis. Beberapa kelompok Islam ekstrimis menggunakan kekerasan untuk memajukan agenda mereka, termasuk pemboman di Jakarta dan Bali, pada tahun 2002 dan 2005, yang menewaskan ratusan orang.


Maluku: Kepulauan ini tempat terjadinya kekerasan paling berdarah di Indonesia pasca-Soeharto antara tahun 1999 dan 2005. Kekerasan terjadi di Ambon, Halmahera, Tidore, dan Ternate, yang melibatkan setidaknya 3.000 militan Muslim dari Jawa di bawah payung Laskar Jihad.


Sunda Kecil: Pulau-pulau ini terbentang dari Pulau Timor di timur hingga Pulau Bali, dekat Jawa. Mereka yang tinggal di kepulauan ini pernah mengalami kekerasan, terutama di Timor Timur, yang berada di bawah pendudukan Indonesia hingga referendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-bangsa pada bulan Mei 2002. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur mencatat setidaknya 102.800 kematian di bawah pendudukan Indonesia.


Papua Barat: Sejarah Papua Barat berpusat pada rasisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969. Perusahaan pertambangan Amerika, Freeport-McMoRan, telah lama berperan dalam mempengaruhi kondisi masyarakat adat di provinsi Papua dan Papua Barat.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.