Wednesday, August 17, 2016

Nasionalisme dan Pluralisme


Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Kampus Mubarak bersama berbagai organisasi keagamaan, dari Islam sampai Kristen, dari Buddha sampai aliran kepercayaan. 

Nasionalisme adalah rasa memiliki yang bisa naik dan bisa turun. Ia bukan barang mati.

Kekecewaan terhadap Indonesia --terutama diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan kerusakan lingkungan hidup-- bisa mengurangi rasa memiliki tsb.

Harapan akan perubahan. Pemimpin yang tulus dan berani. Penegakan hukum dengan adil. Mereka akan meningkatkan rasa memiliki terhadap Indonesia.
Nasionalisme adalah ideologi modern. Ia pasangan dari pluralisme.

Logikanya?

Tak ada bangsa yang homogen, yang etnik, yang agama, yang kelasnya, sama semua. Maka diciptakanlah "masyarakat khayalan" dimana pluralisme ditata dengan dasar kesetaraan: hak dan kewajiban sama. Semua warga dari masyarakat ini setara di mata hukum.

Nasionalisme tak mengenal mayoritas dan minoritas. Nasionalisme tak mengenal penduduk asli atau pendatang. Dia yang Jawa setara dgn dia yang Papua. Dia yang Sunni setara dgn dia yang Ahmadiyah. Dia yang heterosexual setara dgn dia yang gay atau lesbian. Dia yang lelaki, tentu saja, setara dgn perempuan.

Perayaan Kemerdekaan Indonesia di paroki Katholik Santa Clara di Bekasi. Mereka akhirnya mendapat izin mendirikan bangunan gereja sesudah mencoba selama 16 tahun. Mereka merayakan dengan sebuah misa dimana anggotanya pakai berbagai pakaian tradisional
GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia merayakan Kemerdekaan Indonesia dengan ibadah bersama di sebuah sudut Monumen Nasional. Mereka bikin ibadah di lapangan sejak pemerintah daerah Bogor dan Bekasi menolak menghormati keputusan Mahkamah Agung memberikan izin bangunan gereja. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.