Saturday, December 27, 2014

Permintaan Papua kepada Jokowi


Delegasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia serta Konferensi Waligereja Indonesia di Istana Merdeka dengan Presiden Joko Widodo. Dari kiri ke kanan: Pendeta Benny Giay, Pendeta Bambang Widjaya, Pastor Benny Susetyo, Presiden Jokowi, Uskup Suharyo Hardjoatmodjo, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas, serta Pendeta Krise Gosal. ©Jaleswari Pramodhawardani

Dr. Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kingmi Papua dan mungkin intelektual dengan kesetiaan pada hati nurani paling dikenal di Papua, ikut dalam pertemuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dengan Presiden Jokowi pada malam menjelang keberangkatan Jokowi pertama kali ke Papua sebagai presiden.

Saya kebetulan bertemu dengan Benny Giay, seorang kawan lama saya, sehari sesudah dia bertemu Jokowi. Kami tentu bicara soal pertemuannya di Istana Merdeka. Dia relax sedang menunggu jadwal dokter. Saya memutuskan mencatat dan merekam kenangan Giay terhadap pertemuan semalam. Mumpung ingatannya masih segar. Saya kira catatan ini penting buat mengukur permintaan Benny Giay terhadap pemerintah Indonesia yang baru.

Benny Giay bilang dia mulai dengan memuji Jokowi karena berhasil "mencuri hati orang Papua." Dia mengingatkan Jokowi soal kunjungan para presiden pendahulunya: Abdurrahman Wahid (31 Desember 1999); Megawati Soekarnoputri (25-26 Desember 2002); dan Susilo Bambang Yudhoyono (26 Desember 2006). Mereka semua berjanji bikin penderitaan orang Papua berakhir. Namun mereka kurang beruntung, kurang setia, dalam memenuhi janji-janji tersebut.

Giay bicara soal pembantaian anak sekolah di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Dia minta Jokowi "buang suara." Dia juga minta Jokowi memenuhi janji kampanye buat menghentikan pembatasan buat wartawan internasional, lembaga donor, maupun utusan Perserikatan Bangsa-bangsa bisa masuk ke Papua guna memantau keadaan di Papua, terutama pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan maupun jalanya pemerintahan termasuk korupsi. Giay juga minta Jokowi membebaskan tahanan politik.

Benny Giay menekankan bahwa persoalan utama antara Jakarta dan Papua adalah ketiadaan (trust). ©Jaleswari Pramodhawardani

Buku Filep Karma buat Jokowi.
Delegasi juga melibatkan Pendeta Bambang Widjaya, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas serta Pendeta Krise Gosal dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Delegasi Konferensi Waligereja Indonesia diwakili Pastor Benny Susetyo serta Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo.

Benny Giay minta Jokowi membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) terhadap penembakan remaja Papua di Enarotali.

Khusus tahanan politik, Giay sebut ada setidaknya 55 tahanan politik Papua, termasuk Filep Karma, pegawai negeri yang dipenjara sejak 2004. Giay menyerahkan buku Karma berjudul, Seakan Kitorang Setengah Binatang, kepada Jokowi.

Giay minta Jokowi meluangkan waktu berkunjung ke penjara Abepura dan mengunjungi Filep Karma. Ia akan mempercepat proses pembebasan para tahanan politik.


Benny Giay juga sempat menulis di Facebook saya --menjawab komentar kawan saya, Partini dari Pontianak, yang seorang pendukung Jokowi dan menulis bahwa "Jokowi bukan pesulap"-- pada malam hari sesudah pertemuan tsb:

"pk jokowi brangkali seorg presiden terbaik yg d panggil sejarah utk mengurus tumpukan sampah yg d biarkan br tahun2 oleh presden2 nkri sbelumnya (kodam, kapolda, dll sebelumnya sejak 1960an hingga); artinya tdak semua org papua dewasa ini berpkir magis sperti mba tini; sehingga papua sedang butuhkan pesulap. memang ada unsur papua dewasa ini yg brpkir magis sedang butuh "pesulap": pimpinan gereja papua yg mndatangkan jokowi dan elit pmrintah karena mentalnya memang di bentuk masy dan pmerintah indonesia yg berpikir magis ditambah dengan badan penyiaran yg ikut berperan d situ slama bertahun2; di samping watak elit papua sendiri yg sangat hedonis.

Kelompok ini yg saya kira sealiran dan sekelas dngan kalangan indonesia yg sedang menunggu pesulap; shg utk prkuat Timnas hdapi AFC harap pesulap bwa pemain asing utk naturalisasi. Saya kira ada banyak indonesia yg lebih berakal sehat; yg bisa jadi mitra berdialog papua. Sulit utk kta berdialog dgn kalangan indonsia yg merasa diri klas yg berakal sehat smentara posiikan papua sbgai pihak yg sdang mnghabiskan wkt tunggu "pesulap" dri indonesia yg wataknya d gmbarkan pk mohktar lubis dlam bukunya brjudul 'manusia indonesia'
."

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.