Sunday, November 09, 2014

Soal kolom agama di KTP


Tjahjo Kumolo bersama rekannya.
BAGAIMANA melihat ide Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa kolom agama dalam KTP bisa dikosongkan? Ada yang setuju, ada yang tak setuju. Ada media yang memberitakan dengan salah sehingga timbul komentar yang tak perlu.

Mulanya, saya kira, harus dilihat dari UU tentang Administrasi Kependudukan tahun 2006. Tepatnya pasal 64 soal kolom agama tersebut:

(1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

(2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Artinya, bagi orang yang agama atau kepercayaannya tak termasuk satu dari enam agama yang diakui pemerintah Indonesia --sesuai dengan Penetapan Presiden Soekarno pada 1965: Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu-- dia tetap boleh menyatakan agama atau keyakinannya dalam database kependudukan. Namun ia tak tercantum dalam KTP. Secara teknik, apa yang tercantum dalam kolom agama berupa tanda "-" (strip).

Di Indonesia, ada lebih dari 400 agama di luar keenam agama tsb. Ini mulai dari agama lokal, misalnya Kejawen, Sunda Wiwidan, Parmalim sampai Kaharingan, maupun agama impor macam Taoisme, Shinto dan sebagainya. Mereka berhak dapat KTP dengan agama dicatat dalam database kependudukan namun tak tercantum dalam KTP.

Dewi Kanti Setianingsih beragama Sunda Wiwidan. Sesuai UU Administrasi Kependudukan, agama tersebut dicatat dalam database kependudukan namun tak dicantumkan dalam KTP
Prakteknya, saya sering menemukan pegawai negeri tak mau menjalankan ketentuan UU Administrasi Kependudukan. Orang Kaharingan dan sebagainya sering dipaksa memilih satu dari enam agama resmi tsb.

Ini bukan saja soal KTP. Ia juga soal akte pernikahan maupun akte kelahiran. Mereka tak bisa mencatatkan pernikahan mereka sehingga anak yang lahir dianggap anak haram. Akte kelahiran anak-anak mereka hanya ada nama ibu --tanpa nama ayah.

Ia adalah diskriminasi terhadap para pemeluk agama-agama kecil di luar enam agama tersebut. Saya kira UU Administrasi Kependudukan belum ideal dengan memperbolehkan semua agama dicantumkan dalam KTP tapi setidaknya ia memberi ruang kepada agama-agama kecil dicatat dalam database kependudukan.

Tjahjo Kumolo tak keluar dari ketentunan hukum ketika dia bicara bahwa warga Indonesia, apapun agamanya, harus dilayani dengan KTP.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.