Thursday, June 28, 2007

Belajar dari Ryszard Kapuscinski

Siti Nurrofiqoh
Catatan Sesi Kesepuluh, 26 Juni 2007


Ryszard Kapuscinski, dikenal dengan liputannya dari Afrika dan Amerika Latin pada tahun 1960-an, ketika dia menjadi satu-satunya koresponden Kantor Berita Polandia untuk "seluruh dunia." Kapuscinski, lahir di Pinsk, kini Belarusia dulu wilayah Polandia, pada 1932. Dia seorang  wartawan yang tak hanya melahirkan karya jurnalistik. Ia juga penulis fiksi dan menggubah puisi. Setelah belajar sejarah, pada 1954 dia mulau kerja sebagai wartawan kantor berita.

Mula-mula meliput masalah domestik. Sesudahnya, dia dikirim ke berbagai negara di seluruh dunia. Dia tak hanya mengirim berita pendek, namun mengumpulkan materi-materi itu dalam buku hariannya, dan memakainya sebagai materi buku-bukunya. Dia menulis dalam bahasa Polandia namun sebagian bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Dia sering diisukan akan menerima hadiah Nobel namun tak beruntung mendapatkannya hingga meninggal Februari lalu.

Buku pertamanya The Polish Bush. Lalu The Emperor, yang mengisahkan tentang jatuhnya Kaisar Haile Selassie di Ethiopia dan buku Shah of Shahs tentang Shah Reza Pahlevi dari Iran, yang jatuh pada saat revolusi 1979. The Soccer War menceritakan perang enam hari antara Honduras dan El Savador akibat pertandingan sepak bola antar tim kedua negara.

Melalui LCD,  Shah of Shahs karya Kapuscinski ditampilkan pada layar di pojok ruang kelas. Intronya: Here’s the oldest picture I’ve managed to obtain. A soldier, holding a chain in his right hand, and a man, at the end of the chain. The two gaze intently in to the lens ….

Kalimat-kalimat alinea pertama dibaca mas Andreas. Intro ini bercerita tentang foto. Foto pertama, seorang prajurit yang memegang rantai di tangan kanannya dan seorang lelaki di ujung rantai satunya. Dua orang ini memandang tegang di depan kamera.

Mas Andreas mengungkapkan trik baru dalam deskripsi. Kapuscinski menggunakan foto untuk deskripsi sekalian membuka laporannya tentang Reza Pahlevi. Ada foto pertama tentang kakeknya Pahlevi. Lalu ada foto kedua, yang juga diterangkan Kapuscinski panjang lebar, tentang ayahnya Pahlevi. Lalu foto ketiga. Karya ini terbit 1982 dan pada 1985 diterbitkan majalah The New Yorker.

Pada alinea tersebut tanda baca seperti koma dan strip banyak ditemukan. Menurut mas Andreas, itulah salah satu khas The New Yorker, suka menggunakan koma dan strip. Mas Andreas juga mengingatkan peserta agar dalam menemukan detil dan harus belajar untuk mengenali berbagai jenis senjata. Deskripsi fisik dari tokoh ayah dalam foto itu digambarkan Kapuscinski dalam menceritakan kekuatan seseorang yang begitu dahsyat, hingga bisa mematahkan besi tapal kuda dengan tangannya.

”Kenapa detil itu penting? Karena ketidakdetilan telah membuat sejarah-sejarah kita dimanipulasi. Soal sejarah Majapahit misalnya. Majapahit itu kan kecil, nggak sebesar yang digambarkan buku-buku pelajaran sejarah Indonesia. Juga tentang Musium Soekarno di Blitar, tak  ada yang menyebut kejelekannya, termasuk berapa banyak istrinya. Setelah banyak membaca, saya tahu ternyata musium itu isinya propaganda.”  kata Andreas.

Fokus dan detail, juga kedalaman dalam membuat tulisan, dikatakan Farah sebagai hal yang sulit. Farah mengisahkan perjalanan umrohnya, yang ditunaikannya belum lama ini. Selain menjalani acara ritualnya, Farah juga mengalami banyak hal yang disaksikannya. Banyak fakta-fakta serta kejadian yang menumpuk di pikiran dan membuat hatinya bergemuruh.

Rasanya ingin segera menuliskan, meski ia sadar bahwa saat itu tak mungkin bisa dilakukan. Menunda hingga kembali ke Jakarta, adalah satu-satunya pilihan. Ternyata sekembalinya dari tanah suci Mekah, semuanya blank. ”Saya bingung harus memulai dari mana? Banyak yang saya lihat dan saya foto, tapi kok malah nggak ada yang kepegang. Gimana untuk bisa fokus ya...? Istilah mengambil suatu gambar, ada batasan tapi bisa lebar, gimana...?”

Menurut Andreas, jika ingin menulis tentang perjalanan, harus membaca buku lebih dulu. Riset buku ini penting agar ketika kita jalan-jalan, kita bisa membandingkan cerita dari riset dengan keadaan di jalan.

Menurut pandangan Melly, tentang Shah of Shahs maupun The Soccer War, sepertinya si Kapuscinski langsung menuliskan ide-idenya. ”Seperti sebuah blog, meskipun pada waktu itu belum ada blog. Sepertinya, apa yang mau ditulis ya ditulis aja, gitu. Apa benar begitu ya?”

Senada dengan Melly, John juga penasaran dengan cara Kapuscinski menulis. ”Apakah itu kepiawaian sang editor atau dia sendiri? Kok rasanya seperti menulis dan langsung jadi. Apakah benar ini sekali jadi atau ada sistem edit? Tapi kurasa keduanya memang hebat,” kata John menyimpulkan.

Apapun itu, Kapuscinski memang layak diberi acungan jempol.

Kehebatan memang sering memberi inspirasi bagi siapapun. Dalam pembahasan karya ini, Selly juga penasaran untuk bisa membuat reportase atau tulisan yang bisa menghanyutkan atau menahan mata pembaca. ”Perlu seperti apa reportase kita agar bisa menghanyutkan pembaca mas?”

Untuk  menahan mata pembaca. Mas Andreas membuat oretan panjang pendek, turun naik, mirip seperti grafik di layar monitor ruang ICU rumah sakit. Dalam lekukan oretan yang turun naik itu, sebuah garis horisontal ada di tengahnya. Di garis horisontal itulah posisi mata pembaca. Mood bisa naik, turun, atau malah drop samasekali. Yang membuat mood meningkat biasanya soal sex, dialog atau humor. Sebaliknya yang membuat mood menjadi redup, bahkan anjlok, adalah data-data dan angka. Tempo pendek, akan menarik, dan menggugah. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang, tidak dinamis dan cenderung bikin nglangut dan bosen. ”Tarik...sett... tarik.. sett,” begitu mas Andreas menggambarkan.

Siti Nurrofiqoh kaki tangan Yayasan Pantau, yang khusus mengurus kelas Narasi, juga menjabat ketua umum Serikat Buruh Bangkit di Tangerang

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.