Saturday, February 10, 2007

Diskusi Kurikulum Sekolah Wartawan


Dear Jandy Luik di Surabaya,

Terima kasih banyak untuk kehormatan bagi saya membantu memberi masukan soal arah pendidikan jurnalisme di Universitas Kristen Petra. Saya ingin sekali bisa membantu --saya punya rumah di Surabaya-- namun sejak Februari ini, saya lagi konsentrasi menulis buku saya, From Sabang to Merauke: Debungking the Myth of Indonesian Nationalism. Buku ini sudah terlambat dari deadline. Pratiwi Setianto dari Ford Foundation sering minta saya memperhatikan deadline ini. Mudah-mudahan saya bisa selesai Juli nanti.

Namun sebagai gantinya, saya akan menulis surat agak panjang soal kritik saya terhadap pendidikan jurnalisme di Pulau Jawa. "Jurnalisme" berbeda dengan "komunikasi" karena jurnalisme memang lebih sempit dari komunikasi. Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tidak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Kritik saya --atau bisa juga dianggap sebagai "masukan"-- berkisar pada soal pendidikan jurnalisme.

Dasarnya, riset Thomas Hanitzsch dari Universitas Ilmenau, Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, serta meneliti pendidikan jurnalisme di Surabaya, Medan, Jakarta dan Jogja. Saya baca riset awalnya, Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses, yang diterbitkan jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung (2001).

Intinya, Hanitzsch mengatakan kurikulum pendidikan jurnalisme tak memadai, bahkan sama sekali tak cukup buat membuat lulusan sekolah bekerja sebagai wartawan. Mereka tak melatih kecakapan menulis mahasiswa (vital untuk industri media) maupun teknik-teknik baru dalam jurnalisme (misalnya, internet, news design, video, audio, film dan sebagainya). Ini belum lagi soal industri media yang dominan Jakarta, masih diracuni amplop, komersialisme, sensasionalisme dan aktivisme wartawan serta redakturnya.

Saya pernah menulis sedikit dengan acuan Hanitzsch dalam dua esai: Diskusi Pendidikan Jurnalisme di Jawa serta Masa Depan Wartawan Aceh.

Acuannya, saya kira Anda dan rekan-rekan di Petra bisa belajar dari kurikulum di Journalism School di Universitas Columbia (New York) atau School of Journalism and Media Studies di Rhodes University (Afrika Selatan).

Dalam dua situs itu, Anda bisa mempelajari bagaimana menyusun kurikulum untuk mahasiswa jurnalisme. Dari tingkat satu hingga tingkat empat. Ada juga yang program dua tahun untuk gelar master. Saya kebetulan agak kenal dengan kedua sekolah itu. Saya pernah bertemu dengan dosen-dosennya, pernah panel bersama dan diskusi bareng.

Praktisnya, menurut Peter du Toit dari Rhodes, tahun pertama sekitar 80-100 persen pelajaran umum yang penting untuk wartawan (sejarah, anthropologi, ekonomi, ilmu politik dan sejenisnya) serta dasar-dasar jurnalisme (saya rekomendasikan antaranya pakai buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel).

Tahun kedua, pelajaran khusus mulai masuk, misalnya riset internet, penulisan (piramida terbalik dan feature), blogging, pengenalan video, pengenalan audio, total sekitar 25-40 persen. Pelajaran umum masih ada.

Tahun ketiga, mulai ada pembagian antara broadcasting, print, news design dan fotografi. Mereka diberikan pengenalan yang lebih dalam sehingga bisa memilih mau masuk bidang mana. Total sudah tak ada pelajaran umum. Tahun
keempat adalah tahun spesialisasi, yang mau print ya belajar narasi serta proses printing, yang mau video ya belajar documentary dan seterusnya. Saya pernah jadi penterjemah du Toit ketika dia kasih ceramah di IAIN Ar Raniry.

Dari kacamata orang yang bekerja sebagai wartawan, saya kira, kebutuhan bisa menulis dalam bahasa Inggris juga sangat, sangat, sangat besar. Kalau Petra bisa melatih mahasiswanya menulis bahasa Inggris, saya kuatir, dalam 10-20 tahun ke depan, mayoritas wartawan internasional asal Indonesia akan keluaran Petra.

Entah di Reuters, Associated Press, BBC, CNN, al Jazeera, AFP, DPA, Bloomberg, New York Times dan lain-lain. Hari ini praktis tak ada wartawan asal Indonesia yang punya reputasi internasional. Padahal penghasilan dari media internasional jauh lebih besar dari media Jakarta. Gajinya, bisa sampai 10 kali lipat lebih besar.

Satu isu lagi adalah matakuliah yang disebut oleh mahasiswa Columbia sebagai "Reporting and Writing." Ini semacam ruang redaksi dimana mahasiswa praktek langsung dengan rapat redaksi, reportase dan penulisan. Ini adalah backbone sekolah jurnalisme.

Di Columbia, ia diadakan hingga tiga atau empat semester (khusus spesialis broadcasting disebut "R&W Jumbo"). Produknya, ya harian mahasiswa, radio mahasiswa atau TV mahasiswa. Petra juga perlu memikirkan bagaimana bikin matakuliah begini.

Singkatnya, kira-kira begitu pikiran saya. Saya tahu dari pengalaman pribadi mengajar tak tetap di Universitas Indonesia dan IAIN Ar Raniry, bahwa ide ini mungkin belum bisa dijalankan di Petra. Thomas Hanitzsch menulis hambatan dari apa yang disebut "kurikulum nasional" atau hambatan dari ketersediaan dosen. Mungkin ide ini akan dianggap ideal. Saya hanya mencoba menjawab secara jujur dari apa yang dianggap masalah pendidikan jurnalisme di Pulau Jawa.

Mudah-mudahan email ini membantu ide soal pendidikan di Universitas Kristen Petra. Saya pernah diterima sebagai mahasiswa teknik sipil Petra pada 1984 namun tak jadi masuk kesana karena takut dengan kota besar. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.