Monday, November 13, 2006

Private Investigator


Selasa siang lalu, saya mewawancarai seorang business leader. Kami makan di Plasa Senayan sambil wawancara untuk bahan buku Collateral Damage. Buku ini akan diterbitkan International Consorsium of Investigative Journalists tentang perubahan militer Amerika sesudah 9/11. Saya menulis khusus soal Indonesia.

Intinya, kami mencari tahu bagaimana kerja sama militer Amerika dan Indonesia berubah sejak 9/11. Saya mengumpulkan dokumen, wawancara lebih dari 70 orang, termasuk menerbitkan satu laporan singkat tentang kerja sama Gus Dur Foundation dengan Badan Intelijen Negara. Saya pergi ke Papua dan Aceh. Pekerjaan ini berjalan sejak Maret lalu dan rencananya terbit awal tahun depan.

Wawancara berjalan baik. Saya terangkan prosedur dan motivasi kerja saya. Dia memberikan banyak informasi penting. Saya berikan kartu nama dimana tercantum alamat Yayasan Pantau dan blog pribadi. Saya kenal tokoh ini ketika saya jadi reporter kurcaci di Phnom Penh 1993.

Malamnya, dia menelepon dan mengajak ketemuan. Intinya, dia mengatakan baca laporan saya di blog. Saya ditawarinya bikin investigasi untuk perusahaannya. Ia lagi mempelajari kemungkinan membeli saham sebuah perusahaan dan sedang menyelidiki seorang kompetitornya. Belakangan saya tahu nilai saham yang ditawarkan mendekati satu milyar dollar.

Saya menolak karena saya cukup sibuk hingga tahun depan. Saya harus menyelesaikan buku ini maupun buku saya pribadi.

Dia menjawab saya bisa mempekerjakan asisten asal saya yang melakukan "quality control." Laporan dalam bahasa Inggris. Dia juga minta nama dan perusahaannya tak disebutkan dalam kerja ini. Ini harus confidential.

Saya jawab biaya liputan saya cukup mahal. Saya biasa menarik bayaran minimal $5,000 per naskah plus biaya perjalanan, riset, beli buku dan sebagainya. Dia bilang biaya itu masih termasuk dalam jangkauannya. Dia ingin tahu siapa kompetitornya itu? Siapa teman-temannya? Siapa lawan-lawannya? Dimana si kompetitor menyimpan uangnya? Dia tahunya hanya berhubungan dengan saya.

Mulailah bimbang. Saya perlu uang buat persiapan pernikahan Januari depan. Calon isteri maupun saya tak punya tabungan. Saya mulanya berharap ada honor $5000 dari New York masuk ke rekening saat Lebaran. Ternyata ada masalah, dia belum membayar dengan macam-macam alasan "... because all funds to and from RI are closely monitored by various agencies such as NSA et al."

Saya minta waktu semalam buat mengambil keputusan. Saya bicara dengan calon isteri saya, Sapariah, serta empat rekan Yayasan Pantau.

Satu rekan bilang di Jakarta memang ada kebutuhan "business investigator" dan tak ada lembaga yang menawarkan jasa ini. Tapi rekan ini menilai Pantau bukan tempat yang cocok. Misi Pantau terkait melulu dengan jurnalisme. Dia bilang tawarkan saja ke media atau wartawan lain.

Saya tahu majalah The Economist punya "Intelligence Unit" yang menyediakan jasa beginian. Wall Street Journal khusus bikin mailing list tentang bisnis di Tiongkok. Industri pelanggannya tentu harus bayar cukup mahal.

Sapariah bilang teknik kerja investigator tak beda dengan kewartawanan: riset, wawancara, analisis, penulisan, mungkin juga foto dan grafik. Tak sulit untuk menemukan biodata si kompetitor. Saya membongkar perpustakaan dan menemukan sebuah buku terkait orang yang dimaksud. Saya merasa tertantang untuk membongkar si kompetitor misterius itu. Siapa penyandang dananya? Politikus yang backing dia?

Namun saya ragu-ragu. Rabu pagi Sapariah kirim SMS, minta saya tak menerima tawaran itu. Ini bisa mengaburkan kerja antara wartawan dan "private investigator." Bila ia melibatkan Pantau maka "... berkat nila setitik rusak susu sebelanga." Rekan-rekan Pantau senada dengan Sapariah.

Bagaimana seorang wartawan menerangkan kepada sumber-sumbernya bila ia menerima pekerjaan ini? Masakan harus memakai nama medianya? Artinya dia berbohong bukan? Padahal menyebut langsung nama si "employer" tak bisa dilakukan karena ada kesepakatan "confidentiality"?

Saya kira, kalau seorang wartawan sudah janji "confidential," ya benar-benar "confidential" ala Bob Woodward dan Deep Throat alias Mark Felt. Woodward menolak bilang nama Felt selama 33 hingga Felt sendiri membukanya sendiri Mei 2005. Felt adalah wakil direktur FBI yang membantu Woodward dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate.

Intinya, ini bukan pekerjaan wartawan. Esensi jurnalisme, maupun "private investigation," adalah verifikasi. Namun jurnalisme meminta praktisinya bekerja dengan transparan dalam metode maupun motivasi. Seorang wartawan harus jujur mengatakan dia bekerja untuk siapa. Seorang "private investigator," sebaliknya, sering harus melindungi identitas kliennya.

Rekan-rekan saya tahu kesulitan keuangan saya namun bilang saya sebaiknya tak menerima tawaran itu. Ini soal prinsip. Kesulitan keuangan justru ujian untuk prinsip kita.

Rabu siang, "business leader" ini bertemu saya lagi di Starbucks. Saya menyatakan sopan bahwa saya tertarik tantangannya namun etika kerja jurnalisme membuat saya tak bisa melakukannya. Jurnalisme mengabdi pada kepentingan masyarakat luas. "Private investigation" melayani klien semata, walau secara tak langsung, juga akan melayani masyarakat luas --lewat kesempatan kerja, pertambahan nilai modal dan sebagainya.

Dia juga berharap saya masih mau mempertimbangkan tawarannya. Namun dia memahami pertimbangan saya. Saya kira kami saling menghormati posisi masing-masing. Saya ingin tetap menjaga hubungan saya sebagai wartawan dengan nara sumbernya daripada mengubahnya menjadi hubungan employer-employee. Dia juga suka dengan wartawan yang tak tergoda dengan tawaran non-jurnalisme.

"Business leader" ini minta saya merekomendasikan nama lain. Aduh berat rasanya. Kalau saya selaku wartawan tak boleh melakukannya, saya juga tak boleh merekomendasikan wartawan lain melakukannya bukan?

Rabu malam, saya merasa sudah melewati satu tarikan lagi dalam karir kewartawanan saya. Saya dulu mengambil kesimpulan wartawan yang baik sebaiknya tak punya karir sebagai politikus (masuk partai atau birokrasi pemerintahan nasional maupun internasional).

Saya juga sejak muda menolak tawaran jadi "speech writer," "public relation officer" atau "communication consultant." Saya anggap wartawan yang sudah keluar dari media --kerja di NGO, partai politik, birokrasi, atau perusahaan public relations-- sudah bukan wartawan lagi, walau mereka, tentu saja, masih menulis, bahkan banyak yang bagus. Tapi interest dan sudut pandangnya --atau persepsi publik terhadap sudut pandang mereka-- sudah berubah. Saya hormat pada mereka namun saya kira mereka lebih sulit bikin reportase yang mendalam, bila berkenaan dengan orang-orang yang mereka layani.

Kini saya mencapai kesimpulan wartawan sebaiknya juga tak terlibat ""private investigations." Saya kira tarikan jadi investigator ini bakal muncul makin sering di Jakarta dan tempat lain. Tapi pergumulan Selasa-Rabu lalu memberi kesempatan bagi saya berpikir dan menarik kesimpulan pekerjaan ini bertentangan dengan kewartawanan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.